“Bintang…Ummi nggak
setuju pokoknya kalau kamu seneng sama Badrun”, terang Ummi.
“Memangnya
kenapa Mi? Kak Badrun juga santri, ngajinya juga pinter, bahkan banyak
teman-temannya yang bilang dia sering mendapatkan prestasi waktu di Pondok dulu”,
sanggah Bintan.
“Memang
dia santri…memang dia pinter ngajinya, tetapi dia tidak Kufu dengan
kita. Bagaimanapun ayahmu adalah seorang Kiai pemangku sebuah masjid agung di
desa kita ini. Disamping itu, beliau adalah seorang Mudir madrasah
diniyah terbesar di kecamatan Sayung ini.
Sedang Badrun, dia hanyalah anak seorang tukang becak yang tidak jelas asal
usul keturunannya. Yang jelas dia tidak se-Kufu denganmu Bintan”
“Tapi
Ummi…”
“Tidak
ada tapi-tapian…pokoknya Ummi tidak setuju. Titik”
Tak
terasa bulir-bulir air bening nan hangat mulai merembes membasahi kedua mata
indah gadis cantik itu. Dialah Bintan Nailur Rohma, seorang gadis desa yang ayu
tanpa polesan. Cantik tanpa manik-manik. Kecantikan batinnya tidak kalah dengan
kecantikan lahiriyahnya. Dan itu tidak aneh, karena memang ia adalah putri
semata wayang seorang Kiai pemangku masjid dan madrasah yang sangat terkenal di
desa Kalisari, bahkan satu kecamatan Sayung pun mengenal ayahandanya ini. Siapa
sih yang tidak mengenal Kiai Haji Amanullah Sajjad? Seorang Kiai sepuh dengan
ke-aliman yang tidak perlu diragukan lagi. Kedudukannya sebagai imam dan guru besar
masjid Nurul Hasanain semakin mengukuhkan kealimannya, disamping juga ada
beberapa puluh santri putri yang menetap dibilik-bilik pesantren kecil yang
baru saja dibangun oleh beliau di belakang rumahnya. Dan Bintan tentunya hidup
dalam lingkungan santri yang sangat kental.
Bintan
adalah seorang gadis yang cerdas lagi penurut. Kecerdasannya terbukti dengan keberhasilannya
menghapalkan Al-Qur’an sebanyak 30 juz yang hanya ditempuh dalam waktu kurang
lebih 1,5 tahun saja di pesantren Betengan, Demak. Kecerdasannya ini semakin
melengkapi kecantikan fisiknya yang selama ini banyak menjadi buah bibir
dikampung halamannya. Ia merupakan gadis yang penurut, ia tidak pernah menolak
perintah orang tuanya, apalagi membantahnya. Karena memang kedua orang tuanya
mendidik anak gadis satu-satunya ini dengan akhlak islami yang indah dan
menyejukkan hati. Karenanya tak heran jika ia menjadi anak yang keinginannya
selalu dituruti oleh kedua orang tuanya.
Banyak
para Kiai maupun para Aghniya’[1]
di desa kalisari yang sudah mengutarakan niatnya untuk meminang Bintan untuk
putra-putra mereka. Bagi para kiai, tentunya mereka ingin menjalin hubungan
shilaturrahim dengan keluarga kiai sepuh yang terkenal alim tersebut, disamping
tentunya mereka mengharap keberkahan pada pernikahan ini. Sedang para Aghniya’
pun tidak mau kalah, karena setelah mendapatkan kenikmatan harta yang
melimpah, mereka juga ingin menjadi orang yang terpandang di desanya, salah
satunya adalah dengan berbesanan dengan salah satu tokoh masyarakat. Namun, Kiai
Aman—begitulah panggilan akrab KH. Amanullah Sajjad—selalu saja mengatakan
bahwa putrinya masih terlampau kecil, biarlah dia menyelesaikan pendidikannya
terlebih dahulu.
Benarkah
Bintan—putri Kiai Aman—masih kecil? Sebenarnya tidak juga, karena umur Bintan sudah
19 tahun. Dan itu sangat layak sekali untuk menikah. Lalu kenapa Kiai Aman mengatakan
demikian? Itu tak lain tak bukan adalah siasat penolakan secara halus dari
seorang Kiai yang sangat mengerti Toto Kromo dan Andab Ashor[2].
Sebenarnya Kiai Aman sudah menginginkan sekali kalau putri semata wayangnya ini
segera menikah, tapi beliau sendiri belum menemukan sosok suami yang pas buat
putrinya itu. Bagaimana dengan Badrun? Sebetulnya Kiai Aman cocok dengan Badrun,
hanya saja setelah beliau mendengar omelan istrinya pada putrinya tadi, beliau
pun hanya diam saja. Tidak mampu berkata
apa-apa.
********
Bentakan Umminya
barusan bagaikan petir di siang bolong yang menyambar setiap persendian tubuh
indah Bintan. Kemelut mendung yang gelap menyelemuti hatinya yang sedang galau
di pagi itu tak juga kunjung menyingkap. Keceriaan burung-burung yang bernyanyi
dengan riang dan melompat dari satu dahan ke dahan pohon yang lain pun tidak bisa menghibur hatinya yang sedang sedih.
“Kenapa Ummi memarahiku
sampai demikian? Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Masak Cuma ngobrol
sebentar ama Kak Badrun saja langsung dimarahi”, begitulah pikir Bintan.
Ya, hanya
seonggok bantal gulinglah yang akhirnya menemani tangisnya di pagi hari yang
sejuk itu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu di ketuk dari luar: “tok…tok…Assalamualaikum
Bintan”.
“Waalaikum
Salam…masuk saja! Pintu tidak ku kunci”, perintahnya.
Cklek…pintu
dibuka, lalu masuklah seorang gadis dengan dandanan ala santri yang anggun nan
menawan. Balutan baju berwarna putih dengan pernak pernik hiasan gambar bunga
mawar dan stelan kerudung ungu kemarah-merahan semakin menambah keanggunan
gadis tersebut, yang ternyata adalah Husna, teman Bintan di pondok Betengan dulu
yang kebetulan rumahnya satu desa dengannya.
“Ooo…kamu Na.
kok tumben kamu main ke sini Na. ada apakah gerangan?”, sapa Bintan sambil
mengusap bekas-bekas air mata yang tadi mengaliri kedua pipinya yang merah
merona.
“Ya masak nggak
boleh kangen sama Ning[3]
Bintan ini…loh ning, ada apa kok kelihatan sembab matanya? Habis nangis yaa…?”,
selidik Husna sambil mesam mesem.
“Enggak kok…nggak
apa-apa, tadi Cuma kelilipan debu saja”
“Ah…aku nggak
percaya. Pasti gara-gara Kak Badrun ini. Hayo ngaku saja…! Nggak usah malu-malu
sama aku”,
“Ehmmm…aku
bingung Na”
“Bingung kenapa?”
“Tadi Ummi memarahiku
habis-habisan. Dikiranya aku pacaran sama Kak Badrun, padahal aku nggak pacaran.
Dan Ummi tidak setuju. Katanya nggak kufu lah…dia anak tukang becak lah.
Padahal Kak Badrun itu santri yang mumpuni lho…”
“Mumpuni sih
mumpuni Tan…Alim sih alim Tan. Tapi ya gitu, kamu tahu sendiri kan. Dia sekarang
ini hanya seorang tukang becak. Setelah bapaknya Kak Badrun meninggal, dia
menggantikan posisi bapaknya menjadi tukang becak juga. Biasanya dia mencari pelanggan disekitar pasar Nggenuk sana.
Aku kira kok bener tuh apa kata Ummimu”
“Tapi cinta kan
tidak mengenal materi Na. dalam ajaran kitab kuning yang kita pelajari selama
ini pun, materi tidaklah menjadi pertimbangan utama kan”
“Ah itu kan
hanya teori…kenyataannya?”
Bintan hanya
terdiam memandangi wajah Husna yang duduk di depannya. Memang sebagai seorang
gadis yang sedari kecil hidup di pesantren dan tidak pernah berkumpul dengan kerasnya
kehidupan diluar bilik-bilik pesantren, Bintan bisa dikatakan kurang pengalaman
dengan dunia luar, bahkan bisa dikatakan ia sama sekali tidak punya pengalaman
tentang dunia di luar dinding pesantren.
“Tan…banyak
tetanggaku yang bercerai setelah menikah selama dua tahun atau lebih. Dulu-dulunya
mereka mendewa-dewakan cinta seperti dirimu. Tapi pada akhirnya, materi pun
yang berbicara. Kebanyakan perceraian mereka ya karena minimnya materi yang
menunjang hidup mereka”
Bintan pun
terdiam kembali saat mendengar masukan teman sepondoknya tadi. Diambilnya nafas
dalam-dalam, lalu dikeluarkan lagi.
“Benar juga apa
yang dikatakan Husna—gumamnya dalam hati. Tapi, bukankah banyak juga artis yang
kawin cerai-kawin cerai? Padahal materi yang mereka miliki bisa dikatakan lebih
dari cukup”, sekali lagi dia mendesah.
“Tan…mendingan kamu
sama Gus Amiq putra Kiai Ubaidillah itu saja. Jelas-jelas secara nasab dia
lebih unggul dari Kak Badrun. Dan secara keilmuan pun, Gus Amiq tentunya juga
lebih unggul, Dia itu S1 dari universitas Karachi, Pakistan lo. Disamping dia
juga ganteng dan ayahnya seorang Kiai plus saudagar kaya di desa kita ini”
“Ah ada-ada
saja kau ini Husna..”
“Atau kalau
nggak ya itu sama Kak Iqbal saja. Putra tunggal Dokter Kamil yang kaya raya
itu. Sebentar lagi Kak Iqbal juga akan di wisuda menjadi dokter kok. Dan kalau
kamu menikah dengannya, kamu nggak usah susah-susah mikir kalau sakit. Tinggal di
suntik selesai deh…hehehe”, diiringi tawa riang Husna.
Mendengar gurauan
dan ledekan Husna tersebut, Bintan jadi ikut tersenyum ria. Kedatangan temannya
ini sedikit mengobati rasa dongkol yang bersarang dihatinya karena di marahi
ibunya tadi. Sedikit demi sedikit rona-rona kesedihan mulai memudar dari wajah ayu
Bintan. Mereka berdua ngobrol nglantur kesana kemari sepanjang pagi itu, hingga
tak di duga-duga, Adzan Dhuhur sudah berkumandang dari corong menara masjid di
samping rumah Bintan. Pertanda mereka harus bergegas menuju ke masjid dan
menghentikan gurauannya di pagi itu.
0 komentar