Sering kali muncul
pertanyaan;
"Kenapa huruf
alif pada kata "Bismi" dari ayat (بسم الله الرحمن الرحيم) di buang? Sementara alif tersebut tidak di buang pada "Bismi"
dari ayat (اقرأ
باسم ربك)"
Berkenaan
dengan pertanyaan tersebut, Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi memberikan dua
alternatif jawaban:
Pertama;
bahwa kalimat (بسم الله)
lebih sering digunakan dan dibaca dalam berbagai macam kondisi, selama tidak
dalam kondisi yang bertentangan dengan syariat. Oleh karenanya, untuk tujuan
meringankan "Takhfif", alif dari kata "Bismi"
itu di buang. Hal ini tentunya sangat berbeda jauh dengan kata "Bismi"
pada ayat (باسم
ربك) yang tidak
sering di baca oleh seseorang.
Kedua;
sebenarnya, alif didatangkan adalah sebagai perantara agar kalimat "Ismu"
itu bisa dibaca. Berbeda jika tidak ada alif, maka kita akan memulai bacaan
dari huruf "Sin" yang di sukun. Dan tentunya sudah tidak asing
bagi kita, bahwa orang Arab tidak bisa memulai sebuah dengan Huruf yang mati.
Nah, saat didatangkan huruf "Ba'", maka secara otomatis fungsi
dari alif tersebut tergantikan. Sehingga tidak aneh, jikalau kemudian alif dibuang.
Tetapi,
pasti anda masih bertanya-tanya; “Kan huruf "Ba'" juga di
datangkan pada ayat (باسم ربك)
dan menggantikan posisi alif, lalu kenapa alif tidak dibuang di sini? Jawabnya
adalah karena "Ba'" dalam ayat tersebut walaupun secara fungsi
verbal/pengucapan bisa menggantikan alif, tetapi dalam fungsi pemberian makna, Ba'
pada ayat tersebut tidak bisa menggantikan. Sebab andaikan huruf "Ba'"
pada ayat (باسم
ربك) di buang, maka
maknanya pun akan tetap sama saja. Tidak ada bedanya—secara makna nahwi umum—saat
anda membaca (اقرأ باسم ربك) dan (اقرأ اسم ربك).
Walaupun tentunya secara nilai sastrawi, tentunya akan tetap muncul makna yang
lebih.
Hal
ini akan berbeda sama sekali jika—misalnya—kita membuang huruf "Ba'"
pada pada ayat (بسم الله),
sebab pasti maknanya akan rusak dan kacau balau. Nah, oleh sebab itulah kenapa
kemudian Ar-Razi mengatakan bahwa huruf "Ba'" dalam surat
al-'Alaq itu belum bisa menggantikan posisi alif.
Oke.
Sebelum menutup kajian sederhana ini, ada sebuah uraian menarik yang ditampilkan
oleh Ar-Razi. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya huruf "Ba' Jarr"
merupakan huruf dengan karakteristik rendah. Terbukti dari Syakl-nya
saja, ia di baca Kasroh. Tetapi, dengan sebab karakter rendah diri ini pulalah
ia memperoleh kemuliaan. Ya, ia rela untuk selalu ber-Khidmah dengan menjadikan
dirinya sebagai penyangga Lafadl Allah. Maka sebab khidmahnya inilah
Allah mengangkat derajat huruf Jarr tersebut. Yakni dengan menjadikan ia selalu
di sebut-sebut bersama-sama dengan nama Allah yang Mulia itu. Nah, hendaknya
hati manusia pun belajar dari huruf Ba' ini pula, sifat rendah hati,
tawadhu' dan tidak merasa sombong dengan merasa paling baik atau pun paling
benar-lah, yang pada akhirnya akan menjadikan seorang itu memperoleh kemuliaan 'IndaLlah.
Bagaimanakah
caranya agar sifat Tawahu' dan rendah hati ini bisa menghiasi diri seseorang?
Lagi-lagi kita harus belajar kepada kepada Huruf Ba’. Bagaimana? Tidak
ada cara lain untuk mencapai sifat-sifat terpuji itu kecuali dengan selalu
mengaitkan, menautkan dan menyambungkan hati manusia dengan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, sebagaimana huruf Ba' yang selalu bersambung dan terikat dengan
"IsmuLlah". Sebab dengan demikian, semua kesombongan,
kecongkakan, keegoisan dan ke-Fir'aun-an diri kita akan sirna dan hancur lebur
di terpa oleh keagungan (Jalal) Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mungkin inilah yang di maksud dengan Hikmah Ibnu AthaiLlah RohimahuLlah
yang berbunyi:
معصية أورثت ذلاواتقارا خير من طاعة
أورثت عزا واستكبارا
"Kemaksiatan (dan berbagai kejelekan yang
merendahkan diri lainnya) yang menyebabkan seseorang merasa rendah dan selalu
butuh (kepada Allah) itu lebih baik dari sebuah kebaikan yang menyebabkan
perasaan mulia dan sombong"
Pangkal
dari segala kesombongan dan kecongkakak seorang manusia adalah menguatnya
ke-AKU-an (Ananiyah) dalam diri orang tersebut. Bahkan seorang Fir’aun
pun sampai berani mengaku sebagai Tuhan, tak lain dan tak bukan adalah sebab
menguatnya sifat ke-Aku-an ini dalam dirinya. Sampai di sini, saya teringat
penjelasan menarik dari Gurunda KH. Ahmad Bahauddin Nur Salim dalam salah satu
pengajian Tafsir asuhannya. Kurang lebih beliau mengatakan:
“Semua
wirid dan dzikir yang di ajarkan oleh baginda Nabi mempunyai tujuan satu, yakni
untuk melumat dan menghancurkan ke-AKU-an manusia. Coba perhatikan semua
Shighot/Lafadz dzikir yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad. Yang ada “SubhanaLlah,
AlhamduliLlah, Allahu Akbar”. Semua dengan mengghilangkan kata “aku”. Tidak
ada Kanjeng Nabi mengajarkan “Sabbatu-Llah” “Hamidtu-Llah” atau “Ukabbiru-Llah”.
Kecuali jikalau wirid tersebut itu menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan
kesalahan, maka sebagai bentuk pengakuan (i’tirof) seseorang di haruskan
menyebutkan dirinya sendiri. Semisal saat dia melakukan kesalahan, maka dia
akan membaca istighfar dengan mewiridkan “AstaghfiruLlah” yang bermakna
aku meminta ampunan pada Allah”.
Semoga
Allah selalu menuntun kita untuk meniti jalan menjadi hamba yang bisa seperti Ba’
Huruf Jarr ini, sehingga ujungnya kita bisa meraih ridha dan
cinta-Nya. Bukankah kita semua mengharapkan begitu adanya? []
سبحانك
اللهم وبحمدك أشهد أن لاإله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
0 komentar