Advertise 728x90

NGAJI AHADAN 1

Written By Unknown on Saturday, April 2, 2016 | 9:49 PM



Sering kali muncul pertanyaan;
"Kenapa huruf alif pada kata "Bismi" dari ayat (بسم الله الرحمن الرحيم) di buang? Sementara alif tersebut tidak di buang pada "Bismi" dari ayat (اقرأ باسم ربك)"
Berkenaan dengan pertanyaan tersebut, Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi memberikan dua alternatif jawaban:
Pertama; bahwa kalimat (بسم الله) lebih sering digunakan dan dibaca dalam berbagai macam kondisi, selama tidak dalam kondisi yang bertentangan dengan syariat. Oleh karenanya, untuk tujuan meringankan "Takhfif", alif dari kata "Bismi" itu di buang. Hal ini tentunya sangat berbeda jauh dengan kata "Bismi" pada ayat (باسم ربك) yang tidak sering di baca oleh seseorang.
Kedua; sebenarnya, alif didatangkan adalah sebagai perantara agar kalimat "Ismu" itu bisa dibaca. Berbeda jika tidak ada alif, maka kita akan memulai bacaan dari huruf "Sin" yang di sukun. Dan tentunya sudah tidak asing bagi kita, bahwa orang Arab tidak bisa memulai sebuah dengan Huruf yang mati. Nah, saat didatangkan huruf "Ba'", maka secara otomatis fungsi dari alif tersebut tergantikan. Sehingga tidak aneh, jikalau kemudian alif dibuang.
Tetapi, pasti anda masih bertanya-tanya; “Kan huruf "Ba'" juga di datangkan pada ayat (باسم ربك) dan menggantikan posisi alif, lalu kenapa alif tidak dibuang di sini? Jawabnya adalah karena "Ba'" dalam ayat tersebut walaupun secara fungsi verbal/pengucapan bisa menggantikan alif, tetapi dalam fungsi pemberian makna, Ba' pada ayat tersebut tidak bisa menggantikan. Sebab andaikan huruf "Ba'" pada ayat (باسم ربك) di buang, maka maknanya pun akan tetap sama saja. Tidak ada bedanya—secara makna nahwi umum—saat anda membaca (اقرأ باسم ربك) dan (اقرأ اسم ربك). Walaupun tentunya secara nilai sastrawi, tentunya akan tetap muncul makna yang lebih.
Hal ini akan berbeda sama sekali jika—misalnya—kita membuang huruf "Ba'" pada pada ayat (بسم الله), sebab pasti maknanya akan rusak dan kacau balau. Nah, oleh sebab itulah kenapa kemudian Ar-Razi mengatakan bahwa huruf "Ba'" dalam surat al-'Alaq itu belum bisa menggantikan posisi alif.
Oke. Sebelum menutup kajian sederhana ini, ada sebuah uraian menarik yang ditampilkan oleh Ar-Razi. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya huruf "Ba' Jarr" merupakan huruf dengan karakteristik rendah. Terbukti dari Syakl-nya saja, ia di baca Kasroh. Tetapi, dengan sebab karakter rendah diri ini pulalah ia memperoleh kemuliaan. Ya, ia rela untuk selalu ber-Khidmah dengan menjadikan dirinya sebagai penyangga Lafadl Allah. Maka sebab khidmahnya inilah Allah mengangkat derajat huruf Jarr tersebut. Yakni dengan menjadikan ia selalu di sebut-sebut bersama-sama dengan nama Allah yang Mulia itu. Nah, hendaknya hati manusia pun belajar dari huruf Ba' ini pula, sifat rendah hati, tawadhu' dan tidak merasa sombong dengan merasa paling baik atau pun paling benar-lah, yang pada akhirnya akan menjadikan seorang itu memperoleh kemuliaan 'IndaLlah.
Bagaimanakah caranya agar sifat Tawahu' dan rendah hati ini bisa menghiasi diri seseorang? Lagi-lagi kita harus belajar kepada kepada Huruf Ba’. Bagaimana? Tidak ada cara lain untuk mencapai sifat-sifat terpuji itu kecuali dengan selalu mengaitkan, menautkan dan menyambungkan hati manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana huruf Ba' yang selalu bersambung dan terikat dengan "IsmuLlah". Sebab dengan demikian, semua kesombongan, kecongkakan, keegoisan dan ke-Fir'aun-an diri kita akan sirna dan hancur lebur di terpa oleh keagungan (Jalal) Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mungkin inilah yang di maksud dengan Hikmah Ibnu AthaiLlah RohimahuLlah yang berbunyi:

 معصية أورثت ذلاواتقارا خير من طاعة أورثت عزا واستكبارا 

"Kemaksiatan (dan berbagai kejelekan yang merendahkan diri lainnya) yang menyebabkan seseorang merasa rendah dan selalu butuh (kepada Allah) itu lebih baik dari sebuah kebaikan yang menyebabkan perasaan mulia dan sombong"

Pangkal dari segala kesombongan dan kecongkakak seorang manusia adalah menguatnya ke-AKU-an (Ananiyah) dalam diri orang tersebut. Bahkan seorang Fir’aun pun sampai berani mengaku sebagai Tuhan, tak lain dan tak bukan adalah sebab menguatnya sifat ke-Aku-an ini dalam dirinya. Sampai di sini, saya teringat penjelasan menarik dari Gurunda KH. Ahmad Bahauddin Nur Salim dalam salah satu pengajian Tafsir asuhannya. Kurang lebih beliau mengatakan: 

Semua wirid dan dzikir yang di ajarkan oleh baginda Nabi mempunyai tujuan satu, yakni untuk melumat dan menghancurkan ke-AKU-an manusia. Coba perhatikan semua Shighot/Lafadz dzikir yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad. Yang ada “SubhanaLlah, AlhamduliLlah, Allahu Akbar”. Semua dengan mengghilangkan kata “aku”. Tidak ada Kanjeng Nabi mengajarkan “Sabbatu-Llah” “Hamidtu-Llah” atau “Ukabbiru-Llah”. Kecuali jikalau wirid tersebut itu menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan kesalahan, maka sebagai bentuk pengakuan (i’tirof) seseorang di haruskan menyebutkan dirinya sendiri. Semisal saat dia melakukan kesalahan, maka dia akan membaca istighfar dengan mewiridkan “AstaghfiruLlah” yang bermakna aku meminta ampunan pada Allah”

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk meniti jalan menjadi hamba yang bisa seperti Ba’ Huruf Jarr ini, sehingga ujungnya kita bisa meraih ridha dan cinta-Nya. Bukankah kita semua mengharapkan begitu adanya? []

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لاإله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger