Kelelahan menyelimuti sekujur tubuh
tiga pemuda tampan itu. Rasa haus karena perjalanan jauh Madinah-Makkah pun
mencekik kerongkongan leher mereka. Dengan suara parau, yang tertua di antara
mereka, yakni Imam Al-Hasan Bin Ali Radhiya-Llahu ‘Anhu memberanikan
diri untuk mendekati tenda/kemah yang berada di tengah padang pasir itu. Dengan
suaranya yang sudah tercekat, beliau berkata:
“Assalamualaikum...adakah pemilik
tenda ini di dalam?”
“Iya, saya ada di dalam. Ada apakah
gerangan wahai orang asing?”, jawab suara yang ada di dalam.
“Kami adalah pengembara dari Quraish
yang sedang melakukan perjalanan menuju ke kota suci Makkah, tetapi kami
kehabisan bekal di tengah jalan. Berilah kami barang seteguk dua teguk air
saja. Kami mohon, sudilah kiranya anda menolong kami. Kami minta barang seteguk
dua teguk air saja, untuk sekedar membasahi kerongkongan kami yang sudah kering
dan sangat mencekik ini...!”, jelas Al-Husain.
“Maafkan aku wahai anak muda. Aku
tidak memiliki sisa air untuk minum. Kalau kalian mau, di luar sana ada seekor
kambing. Silahkan perah susunya, dan kalau kau dan teman-temanmu lapar, maka
sembelihlah kambing itu untuk makan kalian”
Mendengar
jawaban yang penuh dengan keikhlasan itu, Al-Hasan tercengang di liputi
perasaan haru. Ternyata masih ada orang seikhlas itu, padahal dia baru saja
bertemu dan tidak mengenalnya sama sekali. Akhirnya mereka bertiga—Al-Hasan,
Al-Husain dan Abdullah Bin Ja’far Radhiya-Llahu ‘Anhum—pun memerah air
susu kambing tersebut, lalu menyembelihnya untuk mereka makan. Setelah mereka
bertiga makan sekadar kebutuhan yang di perlukan, mereka pun berpamitan untuk
melanjutkan kembali perjalanan mereka ke tanah suci Makkah. Sebelum pergi,
Al-Hasan berkata kepada pemilik tenda tadi yang ternyata adalah seorang nenek
tua nan renta:
“Nek...Insya Allah, suatu saat nanti,
saat kami telah di beri keluasana rizqi oleh Allah, pasti kami akan membalas
kebaikan nenek yang luar biasa ini”.
Setelah
berkata demikian, Al-Hasan dan kedua saudaranya pun berlalu melanjutkan
perjalanan, meninggalkan sang nenek sendirian. Setelah beberapa waktu dari
kepergian ketiga pemuda Quraish tersebut, datanglah suami si nenek tadi. Ia
bertanya-tanya, di mana kambing yang merupakan harta berharga satu-satunya yang
mereka miliki. Si nenek menceritakan semua kedatangan tamu asing orang Quraish
tadi dan semua kejadian hari itu kepada suaminya. Demi mendengar cerita si
nenek yang lugu itu, sang suami naik pitam. Dengan penuh amarah dan dada
terbakar, si suami membentak-bentak istrinya sambil berkata:
“Bagaimana kau ini sebenarnya. Kambing
yang merupakan harta berharga kita satu-satunya ini ini, engkau biarkan di
sembelih untuk memberi makan orang-orang yang tidak kita kenal. Lalu engkau
berkata padaku, kalau mereka adalah orang-orang Quraish. Sungguh aneh dirimu ini”
Tahun
demi tahun berlalu. Tak terasa, nenek dan kakek sudah semakin tua nan renta. Si
kakek sudah tidak mampu lagi untuk bekerja keras seperti dulu lagi, begitu juga
dengan si nenek yang tentunya fisiknya pun semakin lemah. Padang sahara
nampaknya sulit untuk bersahabat dengan mereka berdua. Air jernih yang sangat
sulit di dapat, angin kencang yang bisa menyerang setiap waktu dan masih banyak
hal-hal lain yang menjadikan mereka terpaksa harus meninggalkan tempat singgah
mereka, untuk keluar mengais rizqi guna menyambung kehidupan mereka. Mereka pun
akhirnya memutuskan untuk mencoba mengadu nasib di kota metropolitan pada waktu
yang menjadi pusat pemerintahan Islam, yakni Madinah Al-Munawwarah. Dengan
tertatih-tatih, mereka berdua berjalan menyusuri lorong-lorong kota Madinah.
Tiba-tiba ada suara asing yang memanggil si nenek tua:
“Nenek kenal saya?”, tanya seorang
pemuda dari arah sampingnya.
“Tidak, saya tidak mengenal anda.
Siapakah kau ini wahai anak muda?”, si nenek balik bertanya dengan wajah penuh
tanda tanya keheranan.
“Saya adalah salah satu dari ketiga
pemuda Quraish yang dulu pernah nenek bantu saat di tengah gurun sahara menuju
ke Makkah”, jawab di pemuda.
“Ah, tiga pemuda Quraish? Saya tidak
ingat apa-apa dan saya tidak mengenal anda wahai anak muda”, jawab si nenek
dengan nada kekhawatiran.
“Ya sudah. Kalau nenek tidak mengenal
saya, tetapi saya mengenal nenek. Mari ikut saya ke rumah”.
Akhirnya
kedua kakek-nenek tua tadi mengikuti pemuda yang ternyata adalah Imam Al-Hasan
bin Ali. Sampai di sana, Al-Hasan menjamu mereka berdua dengan makanan yang
lezat nan enak. Lalu saat kedua kakek-nenek itu hendak pulang, Al-Hasan
memberikan hadiah kepada mereka berupa
1000 Dinar dan 1000 ekor kambing. Lalu imam Al-Hasan menyuruh pembantunya untuk
mengantarkan kedua kakek-nenek itu ke rumah adik beliau, yakni Imam Al-Husain.
Setelah sampai di rumah al-Husain, beliau bertanya kepada pembantu kakaknya
yang mengantar kedua kakek-nenek itu:
“Berapakah yang diberikan oleh abangku
kepada mereka berdua?”
“1000 dinar dan 1000 ekor kambing
wahai Tuanku”
Mendengar
hal itu, al-Husain pun memberikan hadian yang kadarnya sama dengan apa yang
telah di berikan oleh sang kakak sebelumnya. Lalu al-Husain menyuruh pembantu
tadi untuk mengantarkan si kakek-nenek menuju ke rumah Abdullah Bin Ja’far.
Sesampainya di sana, Ibnu Ja’far bertanya kepada si pembantu:
“Apa sajakah sesuatu yang diberikan
oleh Al-Hasan dan Al-Husain?”
“Masing-masing dari beliau berdua
memberikan 1000 dinar dan 1000 ekor kambing, tuan”, jawab si pembantu.
“Demi Allah...andaikan engkau tadi
mengantarkan beliau berdua ini kepadaku terlebih dahulu, niscaya tidak akan
memberatkan Al-Hasan dan Al-Husain”.
Lalu
Ibnu Ja’far memberikan 2000 dinar dan 2000 ekor kambing. Ya, kedua kakek-nenek
itu datang ke Madinah dalam kondisi miskin papa, tidak punya apa-apa. Bahkan
tarian kematian karena lapar yang menakutkan sudah bergelayutan di pelupuk mata
mereka. Tetapi, ketakutan mereka seketika berubah menjadi kebahagiaan. Mereka
pulang sebagai orang yang kaya, berkat kedermawanan Ahlu-l-Bait Rasulu-Llah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam. []
0 komentar