Malam itu,
seperti biasanya, Sarang—sebuah kota kecil diperbatasan Jateng dan Jatim yang
diatas tanahnya telah bercokol bangunan-bangunan Pesantren yang
bermacam-macam—seakan tidak pernah lengang dari hiruk pikuk aktivitas para
santri. Denyut nadi kehidupan Sarang adalah denyut nadi ilmu yang mengiringi
hembusan nafas para santri. Jikalau globalisasi mengajari anak-anak muda
sekarang untuk rela berdesak-desakan guna melihat para artis idolanya. Maka Sarang
mengajari anak-anaknya untuk bercengkrama dan bermesraan dengan Al-Bukhori,
An-Nawawi, Ibnu Malik dan para sarjana Islam lainnya. Masing-masing dari mereka
nampak asyik nan khusyu’ mendengarkan uraian petuah sang idola.
Diujung
mushola sana, ada beberapa santri yang duduk bergerombol dengan wajah
berbunga-bunga, karena dituntun oleh Al-Bukhori untuk menyusuri sisi-sisi
kehidupan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam yang indah nan menawan
itu. Sedang di sudut yang lain aku temukan sekelompok santri yang asyik
berdiskusi dan ngaji dengan Zakariya Al-Anshori, sang mestro
epistemology fiqh islam itu. Sementara, di pelataran ndalem Mbah Kiai, berduyun-duyun
santri berkumpul ingin mereguk kesejukan Ihya’ Ulumiddin, mereka berebut untuk
mencium tangan Al-Ghozali yang penuh wibawa. Ibnu Malik pun nampaknya tak mau
kalah dengan yang lain, dengan cermat dan penuh perhatian, beliau menggandeng
tangan anak-anak santri itu untuk menyusuri lorong-lorong bahasa Arab yang
begitu beragam, unik dan penuh dengan senam otak.
Aku sendiri
bagaimana? Ah aku sendiri tak mau kalah dengan teman-temanku. Aku sudah
bersiap-siap untuk mengikuti pengajian Gus Wafi seperti biasanya. Namun, ada
hal yang mengganjal dihatiku. Ya, karena sebenarnya pengajian Abu Jamroh yang
biasa diampu oleh Gus Wafi sudah khatam, dan sekarang ini diganti dengan
pengajian kitab baru. Tetapi, yang aneh adalah judul kitab baru tersebut, masak
judul kitab “Hakadza Fal Nad’u Ilal Islam” (beginilah hendaknya kita
mengajak kepada Islam). Dan lebih aneh lagi kawan, adalah penulisnya. Di depan
nama beliau tercantum sebuah gelar yang rasa-rasanya masih nampak asing dan
aneh ditelinga kami, yaitu gelar Doktor. Mungkin bagi sebagian teman, gelar itu
nampak familier dan biasa-biasa saja, akan tetapi bagiku—seorang santri kecil
yang kuper nan Ndeso ini—gelar itu nampak aneh dan menggelikan.
Bagaimana tidak? Telingaku sudah terlanjur terbiasa mendengarkan “Qola-S-Syaikh”,
“Qola-L-Imam” dan semisalnya. Lalu apakah sekarang aku harus mendengar “Qola
Doktor”. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri, merasa geli dengan pikiran
luguku yang terbang mengawang-awang.
“Ehm”,
suara dehem Gus Wafi membuyarkan semua lamunanku yang nakal itu. Dengan pelan,
hati-hati dan penuh perasaan, Gus Wafi menguraikan setiap kata dari buku karya El-Buthi
tersebut. Ah menarik sekali uraian El-Buthi ini saat dipadu dengan penjelasan
Gus Wafi yang tak kalah mencengangkan pula. Malam itu, Gus Wafi menjelaskan
bahwa antara Dakwah dan Ifta’ ada perbedaannya, Karena da’wah
adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang (Da’i) agar orang lain bisa
mengenal Islam dengan nyaman. Sementara Ifta’ hanyalah memberikan
jawaban terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada seorang mufti. Lalu Gus Wafi dawuhan—seraya
menjelaskan isi kitab di atas:
“El-Buthi
mengisahkan bahwa suatu hari beliau ditanya oleh seorang gadis—yang sedang
gandrung dengan hijab, hanya saja ia belum bisa untuk menutup semua
rambutnya—:”Apakah benar Allah tidak menerima semua amal ibdahku jika aku belum
menggunakan hijab dengan sempurna?”. Maka dengan penuh kasih sayang Al-Buthi menjawab:
“Percayalah wahai saudariku. Saat allah menuntun dirimu untuk menempuh jalan
iman, maka sebenarnya Ia menghendakimu untuk menjadi orang yang baik. Dan di
saat Allah memberimu kekuatan untuk menjalankan salah satu aturan agamanya, maka
Dia tidak akan mengurangi sama sekali pahalamu, selama engkau melakukannya
karena ridha Allah semata. Semakin
engkau mendekat kepada-Nya, maka Dia pun semakin mendekat kepadamu dengan
petunjuk, pahala dan ridha-Nya.Dengan
jawaban seperti tertera dalam kitab, sebenarnya El-Buthi sedang berperan
sebagai seorang Da’i, bukan sebagai mufti. Akan tetapi, jawaban da’wah beliau
pun sama sekali tidak mengebiri aturan syariat yang mengharuskan seorang wanita
berhijab”,
Uraian yang sangat menarik nan apik dan sekaligus baru bagiku
itulah yang pertama kali mengantarkan perkenalanku dengan pemikiran Doktor
El-Buthi. Semenjak itu aku merasa nyaman dan asyik untuk bercengkrama dengan
beliau, walaupun itu hanya melalui beberapa karya-karya beliau. Rasa rindu dan
dahaga ilmiah yang meluap-luap dalam jiwa mendorongku untuk lebih dalam lagi
mengenal, berinteraksi dan bahkan kalaupun mungkin untuk bersua dengan beliau,
dan aku jujur saja bahwa perasaan ini terus mengusik hati kecilku, hingga
akhirnya takdir Allah menuntun kaki ini untuk berdiri di salah satu tanah Syam,
sebuah dataran yang masih serumpun dengan kediaman beliau. Rasa-rasanya ingin
sekali bersua dengan beliau. Namun, lagi-lagi takdir berkata lain. Kerakusan
dan nafsu kekuasaan yang sudah menutupi mata hati seseorang telah menimbulkan
konflik berkepanjangan di Syiria—negara dimana El-Buthi tinggal—yang sampai
sekarang pun tak kunjung usai. Dan konflik yang keji dan tidak
berprikemanusiaan itu pulalah yang pada akhirnya mengantarkan El-Buthi dan
cucunya menuju ke-syahid-an dirinya. Beliau di bunuh saat mengajar di Masjid
Al-Iman oleh tangan-tangan yang selalu dahaga akan lumuran darah anak manusia
yang tak berdosa. Tangan-tangan manusia yang mengaku paling beriman, walaupun
sebenarnya nilai keimanan enggan untuk bersentuhan dengan hati dan jiwa mereka.
Ah, kalau mengingat peristiwa itu,
sesak nafas dan dadaku menahan amarah yang naik ke ubun-ubun. Aku tak habis
pikir, apa yang ada dipikiran mereka? Apa yang ada dibenak mereka? Tega-teganya
mereka membunuh seorang ulama yang telah memberikan sumbangsih besar terhadap
Khazanah dan Peradaban Islam. Bukankah El-Buthi merupakan salah satu ulama yang
berhasil melahirkan banyak karya ilmiah dan buku? Dan kenyataannya, memang
buku-buku karya El-Buthi pun sampai sekarang masih relevan untuk dijadikan
rujukan bagi umat islam diseluruh penjuru dunia, terlebih lagi adalah
masyarakat tradisionalis Indonesia. Karena memang beliau adalah salah satu
prototype ulama yang mampu mengkrompomikan pemikiran tradisional dan modern,
sehingga keduanya bisa berjalan seimbang dan sangat harmonis, tanpa harus
mengesampingkan salah satu ataupun mengebiri yang lain.
Jujur saja, aku sendiri mengakui
bahwa sampai sekarang ini aku masih merasakan sentuhan lembut tangan El-Buthi.
Dengan tak jemu-jemunya, beliau masih saja menuntun perjalananku dalam meniti
sebuah jalan menuju peradaban Islam yang indah nan menawan. Ya, beliau memang
tidak menuntunku secara langsung, akan tetapi peniggalan-peninggalan beliau
yang berupa buku-buku dan karya ilmiah seakan sebuah rambu-rambu yang harus
ditempuh oleh setiap orang yang hendak menghidupkan kembali api peradaban yang
sempat redup oleh kebodohan umat islam itu sendiri. Aku jadi teringat akan
ungkapan Muhammad Abduh “Al-Islam Mahjubun Bil Muslimin”, Islam ini
terhalangi kemajuannya oleh umat Islam itu sendiri.
Dalam suasana kehidupan anak bangsa
yang kian carut marut seperti sekarang ini, aku merasa El-Buthi kembali datang
menghampiriku. Dengan sentuhan lembut dan kata-katanya yang halus, seakan
beliau menyapa diriku:
“Wahai
anak muda, ada apa gerangan dengan dirimu? Kenapa wajahmu nampak sedih dan
kebingunan, seakan beban berat sedang melanda jiwamu?”
“Memang
tuan guru, aku sedang bingung. Aku melihat bangsa ini adalah bangsa dengan
pemeluk islam terbesar di dunia. Namun aku melihat peradaban islam kian lama
kian redup di dalamnya. Lentera-lentera tauhid berguguran satu persatu. Aku
bingung, apa yang harus aku lakukan?”, jawabku mengiba.
Dengan
senyum yang tersungging manis, beliau menasehatiku seraya berkata:
“Ini,
bacalah bukuku Manhaju-L-Hadhoroh Al-Insaniyah Fil Qur’an. Niscaya akan
kau temukan air segar yang mengobati dahaga dan kebingunganmu sekarang”.
Aku
tersentak dari lamunanku, antara sadar dan tidak. Lalu aku pun bergegas membuka
buku yang beliau berikan tadi. Dan memang, El-Buthi—melalui karyanya Manhaju-L-Hadhoroh
Al-Insaniyah Fil Qur’an—telah membuat rambu-rambu dan kerangka yang sangat
jelas tentang bagaimana seharusnya seseorang itu mulai membangun peradaban
Islam yang sesuai dengan Manhaj Al-Qur’an. Dalam buku tersebut, El-Buthi
menyatakan bahwa peradaban adalah buah dari bersinerginya unsur manusia,
kehidupan dan alam semesta. Dari definisi yang demikian ini, beliau lalu
menyimpulkan bahwa elemen dasar dari sebuah peradaban adalah ketiga unsur
tersebut di atas tadi, yakni manusia, kehidupan (umur) dan alam semesta. Baru
kemudian beliau mempunyai kesimpulan bahwa peradaban Islam adalah terjadinya
keharmonisan interaksi antara ketiga elemen tadi yang berdasarkan tuntunan
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.
El-Buthi kembali tersenyum dan
berkata kepadaku:
“Wahai
anak muda, manusia adalah elemen peradaban yang paling pokok dan vital. Karena
manusia adalah elemen peradaban yang aktif. Dialah yang pada dasarnya mampu
untuk melakukan perubahan di dunia ini. sedang yang lain—yaitu kehidupan dan
alam semesta—adalah dua elemen yang hanya pasif saja. Sebab itu, jikalau engkau
hendak membangun sebuah peradaban, maka bangunlah terlebih dahulu manusianya”.
“Lalu
bagaimanakah caranya agar aku ini bisa membangun manusia tuan guru? Bukankah
manusia memang sudah ada fitrahnya masing-masing?”, kembali aku bertanya.
“Baca
lagi Al-Qur’an anak muda. Kaji, renungi dan pahami kembali, bagaimanakah
Al-Qur’an berbicara tentang tugas-tugas makhluk yang bernama manusia ini.
Bukankah Al-Qur’an menyatakan bahwa: “Dia telah menciptakanmu—wahai
manusia—dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya”[1].
Dan dalam ayat lain, Al-Qur’an pun menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika
Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku ingin
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”[2].
Bukankah sudah sangat jelas sekali apa dan bagaimana tugas seorang manusia itu
wahai anak muda?”, jelas beliau.
“Tetapi
tuan guru, sekarang ini banyak manusia yang karena merasa bahwa dirinya sebagai
kholifah, lalu ia merasa berhak untuk bertindak sewenang-wenangnya. Ia merasa
berhak untuk mengeksloitasi alam semena-menanya. Ia merasa berhak untuk
menyiksa orang lain sekeji-kejinya. Bahkan yang aku herankan tuan guru, ada
sebagian manusia yang dengan entengnya menuduh saudaranya yang seiman sebagai
ahli neraka. Seakan dia tuhan saja tuan
guru”, keluhku pada beliau.
Kembali
beliau tersenyum dan berkata:
“Anakku…Sebenarnya
manusia seperti mereka ini sangatlah kasihan sekali. Mereka adalah
manusia-manusia yang lupa akan jati dirinya sendiri sebagai manusia. Mereka
hanya mengambil sebagian ayat-ayat Al-Qur’an saja, tetapi meninggalkan yang
lain. Bukankah Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa: “Dia telah menciptakan
manusia dari mani (yang tak berharga)”[3].
Lalu: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia
diciptakan dari air yang terpancar”[4].
Jadi jelas sudah bahwa manusia adalah makhluk yang hina dina, lalu kenapa masih
ada juga yang merasa paling berkuasa? Masih merasa paling kuat atau bahkan
masih ada juga yang merasa sebagai tuhan? Ke-khalifah-an manusia bukanlah untuk
menindas yang lainnya, akan tetapi lebih untuk membangun peradaban dimuka bumi
ini”
Memang
benar yang dikatakan El-Buthi, dan dalam buku Manhaju-L-Hadhoroh
Al-Insaniyah Fil Qur’an saya menemukan apa yang baru saja beliau katakan
tadi. Hanya saja saya sedikit mengalami kebingungan. Bagaimana tidak? Dalam
satu kesempatan Al-Qur’an menyatakan bahwa karakter dasar dan tugas manusia
adalah sebagai kholifah serta pionir penggerak peradaban kemanusiaan di muka
bumi ini. Namun disisi lain, Al-Qur’an pun menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang hina dina dan tidak bernilai apa-apa. Lalu mana sebenarnya yang
benar?
Seakan
menangkap gurat-gurat kebingungan diwajahku, El-Buthi kembali berkata:
“Kau
bingung ya? Seakan kedua penjelasanku tadi bertentangan ya? Memang
kebingunganmu itu adalah hal yang wajar bagi mereka yang baru memulai memahami
Al-Qur’an. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mulia, tapi sekaligus hina
juga. Kedua karakteristik yang nampak bertentangan inilah dasar fitrah dalam
diri manusia. Nah, Islam datang dengan ajaran yang membimbing manusia untuk
mengharmoniskan kedua karakteristik yang bertentangan ini, anakku”.
“Lalu
dengan apakah Islam mengharmoniskan keduanya tuan guru?”
“Dengan
Tauhid…ya, Tauhid Islam adalah satu solusi yang mampu mengharmoniskan keduanya”
“Apa
maksudnya tuan guru? Sudilah kiranya tuan guru memaparkan lebih jelas lagi. Biar
manusia-manusia seperti saya ini bisa memahami dengan mudah”
“Ketahuilah wahai anakku…saat manusia tidak
ber-Tauhid, maka dia akan terjatuh dalam kubangan perasaan Superior dan
perasaan Inferior. Manusia yang jiwanya telah terjangkiti virus superioritas akan
merasa paling benar, paling kuat, paling berkuasa, berhak menjajah yang lain dan
tidak aneh jika ujung-ujungnya ia pun akan merasa sebagai Tuhan. Sedangkan
manusia yang virus inferioritas telah menjangkiti seluruh jiwanya akan kehilangan
semangat dalam menghadapi hidup ini. Ia merasa bahwa dirinya lemah, hina dina,
tak punya daya dan kuasa apapun. Hingga pada akhirnya, perasaan yang demikian
itu akan menjerumuskannya pada kondisi terjajah, baik secara mental, pandangan
hidup, ekonomi dan bahkan budaya. Bahkan tidak sedikit yang menganggap dirinya
tak ubahnya hewan”, jelas beliua.
“Saya
masih kurang paham dengan penjelasan anda tersebut tuan guru. Apa hubungannya
sifat superioritas dan inferioritas dengan Tauhid Islam?”, tanyaku.
“Memang,
kalau kau hanya sekilas saja mendengar penjelasanku tadi, kau tidak akan bisa menemukan
benang merah diantara keduanya. Tapi coba kau renungi dan perhatikan lagi, dari
manakah munculnya anggapan seorang makhluk bahwa dirinya adalah Tuhan? Kenapa
pula ada seseorang yang rela untuk dijajah dan dihinakan? Setelah itu kau baru
akan tahu wahai anak muda bahwa Tauhid-lah yang bisa mengobati dan memberikan
solusi pada dua penyakit kronis kemanusiaan tersebut di atas. Tauhid yang
terdapat dalam jiwa seseorang akan mendudukkan manusia dalam posisinya sebagai
manusia. Tauhid akan menyadarkan manusia bahwa sehebat dan sekuat apapun
dirinya, pada dasarnya kehebatan dan kekuatan itu hanyalah pemberian dari Allah
sebagai tuhan-Nya, bukan muncul dari dalam dirinya sendiri. Tauhid juga akan
menyadarkan manusia bahwa dirinya tidak boleh menghamba dan menghinakan dirinya
di depan sesama makhluk. Ia hanya diperbolehkan menghamba dan menghinakan
dirinya di depan Allah sebagai tuhannya. Tauhid pulalah yang pada akhirnya akan
membawa seseorang pada sikap antipati pada yang namanya penjajahan, karena
bagaimanapun, penjajahan adalah salah satu bentuk penghambaan makhluk terhadap
makhluk yang lain. Tauhid pulalah yang bisa mengharmoniskan karakteristik
kemuliaan dan kehinaan yang terdapat dalam diri manusia sekaligus, sehingga ia
benar-benar menjadi manusia seutuhnya, bukan tuhan dan bukan pula hewan. Paham
anakku…?!”, Tanya beliau.
Sebenarnya
aku sudah bisa memahami semua penjelasan dari tuan guru, El-Buthi, tersebut di
atas. Namun masih ada sebuah pertanyaan yang mengganjal di hatiku. Tetapi aku
ragu untuk mengutarakannya kepada beliau. Aku takut kalau-kalau pertanyaanku
ini dianggap hanya merupakan tuduhan belaka, tak lebih. Akan tetapi, sebenarnya
pertanyaan inilah yang paling sesuai dengan kondisi dunia sekarang ini. Ah aku
bingung.
“Bagaimana
anakku. Ada yang masih tidak kau pahami? Atau masih ada yang mengganjal di
hatimu? Katakan saja..tidak usah malu atau takut padaku..!”
Pertanyaan
tuan guru ini membuyarkan lamunanku, dengan nada yang terputus aku pun
bertanya:
“Mungkin
pada masa-masa dahulu memang ada beberapa manusia yang mengaku sebagai Tuhan,
akan tetapi apakah di era modern sekarang ini masih ada manusia yang
mengaku-aku sebagai tuhan tuan guru?? Kok kelihatannya saya tidak pernah
menemukan orang yang mengatakan demikian”
“Ehmm,
anak muda…memang dalam dunia modern ini kita tidak akan menemukan orang-orang
yang secara langsung dan terang-terangan mengaku sebagai Tuhan, akan tetapi
kalau engkau perhatikan prilaku dan polah tingkah serta kepongahan manusia
sekarang, niscaya kau akan temukan mereka tak ubahnya Fir’aun-Fir’aun dan
Namrud-Namrud abad melinium. Banyak diluar sana sesosok manusia-manusia yang
karena kekayaannya memperbudak manusia yang lain. Tak sedikit pula diluar sana
manusia-manusia yang karena kekuasaanya menindas manusia yang lain. Bahkan tak
jarang kita temukan manusia-manusia yang hanya karena berbeda pandangan politik
saja, mereka berani untuk menganggap manusia lain sebagai ahli neraka. Pada
dasarnya Manusia-manusia modern ini banyak yang menasbihkan dirinya sebagai
tuhan anakku. Al-Qur’an sebenarnya telah memberikan sebuah contoh dan gambaran
nyata sebuah pola kehidupan masyarakat yang penuh kelaliman dan tirani, yaitu
pola kehidupan masyarakat yang jauh dari cahaya Tauhid. Coba pahami dan
renungilah apa yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an ini: Sesungguhnya
Fira'un telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya
berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak
laki-laki mereka, dan membiarkan kaum wanita mereka hidup (untuk diperbudak).
Sesungguhnya Fira'un termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”[5].
Benar
juga apa yang dikatakan oleh tuan guru tadi, dunia sekarang ini memang semakin
edan dan tidak karuan. Banyak orang-orang atau Negara-negara Adikuasa yang menjajah
manusia dan bangsa lainnya dengan berkedok pembebasan dari tirani, penggulingan
seorang diktator, penyebaran demokrasi dan tetek bengek lainnya. Padahal
ujung-ujungnya, mereka hanyalah ingin meraup keuntungan duniawi dan mengeksploitasi
hasil alam negara jajahannya, tidak ada yang lain. Merekalah sebenarnya
Fir’aun-Fir’aun abad modern ini. Tapi kenapa pula solusi Tauhid-lah yang
diberikan oleh Allah untuk menangani masalah yang sedemikian komplek ini?
Bukankah masalah yang dihadapi bangsa-bangsa berkembang sekarang ini bukan
hanya permasalahan keagamaan saja, bahkan lebih komplek dari itu semua. Ada
masalah ekonomi, masalah politik, pendidikan, sosial dan bertumpuk-tumpuk
masalah lainnya.
“Tuan
guru, kenapa pula Allah memberikan solusi berupa Tauhid? Bukankah masalah yang
kita hadapi sekarang ini lebih komplek dan global lagi? Ada masalah ekonomi,
politik, pendidikan dan lainnya”, tanyaku setelah pikiranku buntu untuk
memahami penjelasan beliau tadi di atas.
“Benar
yang kau katakan wahai anak muda…akan tetapi mampukah sebuah bangsa itu mandiri
dalam ekonomi, politik, pemerintahan, budaya dan pendidikan sedang dia sendiri
masih terjajah?”, selidik tuan guru.
“Tentu
saja tidak mampu tuan guru”, jawabku dengan polos.
“Nah,
karena itulah kemerdekaan sebuah bangsa adalah syarat mutlak bagi kemandirian
dirinya dalam menentukan sebuah sikap dan kebijakan. Dan Tauhid Islam-lah yang
mampu mendorong dan menimbulkan semangat dalam diri setiap bangsa untuk meraih
kemerdekaannya. Coba kita renungi ayat berikut ini wahai anak muda: “Lalu
mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata, Demi
kekuasaan Fira'un, sesungguhnya kami benar-benar akan menang”[6].
Dalam ayat tersebut Allah menggambarkan bagaimana sikap congkak, rasa bangga
dan kepongahan menutupi kerendahan dan kehinaan mereka. Aku mengatakan
rendahan, karena sebenarnya mereka rela untuk tunduk kepada seorang manusia
picik, kejam, rakus dan lalim seperti Fir’aun ini. Mereka mengabaikan bisikan
batinnya yang suci. Kenapa? Ya karena hati mereka lemah. Mereka punya kekuatan
dalam dirinya, namun perasaan inferior telah membelenggu kekuatan itu. Mereka menggantungkan
segala sesuatunya kepada manusia seperti mereka, dan semua itu membawa dampak terselubunginya
jiwa mereka dengan mental rendahan yang rela untuk tunduk dan dijajah oleh
Fir’aun. Tapi coba sekarang bandingkan kondisi mereka saat cahaya iman telah
memenuhi hati mereka. Al-Qur’an menggambarkan bagaimana ancaman Fir’aun kepada
mereka saat mengetahui bahwa mereka beriman: “Fira'un berkata, Apakah kamu
telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian?
Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian.
Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kakimu sekalian dengan bersilang
secara bertimbal balik, menyalibmu sekalian pada pangkal pohon kurma”[7].
Tapi karena iman dan tauhid telah menguatkan mereka, maka dengan tegas mereka
berani menantang Fir’aun dengan mengatakan: “Mereka berkata, Demi Tuhan yang
telah menciptakan kami, kami sekali-kali tidak akan mengutamakanmu atas
bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami; maka
putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat
memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja”[8].
Betapa dahsyatnya cahaya Tauhid ini. Ia telah merubah manusia-manusia yang
lemah dan tidak memiliki kekuatan apapun, menjadi manusia kuat dan punya
prinsip kuat. Jadi, ajarkanlah tauhid kepada bangsamu wahai anakku…niscaya
mereka akan menjadi bangsa yang maju, mandiri dan siap dengan
tantangan-tantangan yang mereka hadapi!”
“Oke…sekarang
aku sudah paham tuan guru. Kalau boleh aku menyimpulkan kenapa manusia harus
ber-Tauhid adalah karena dengan Tauhid seorang manusia akan menjadi manusia
seutuhnya. Ia akan mengerti tentang kehambaan dirinya di depan kekuasaan Allah
yang tak terbatas. Sehinga dengan Tauhid ini pulalah kita akan menghilangkan
penjajahan—dengan berbagai macam bentuk dan modelnya—di muka bumi ini. Karena
pada dasarnya, penjajahan adalah penghambaan manusia kepada manusia yang lain,
dan itu sangat di larang oleh Islam. Dan dengan Tauhid ini pulalah seorang
manusia tidak akan pernah mau untuk diperhamba oleh makhluk lainnya. Dia tidak
akan rela untuk di jajah, dikuasai dan direndahkan oleh manusia lainnya. Karena
dia hanya akan mau untuk diper- hamba, dihinakan dan direndahkan oleh sang
penciptanya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’la. Jadi Tauhid inilah kunci
yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia untuk menjadi manusia seutuhnya”.
“Ya
benar sekali kesimpulanmu itu wahai anakku. Dan begitulah sebenarnya Al-Qur’an
mengajarkan kepada kita bagaimana membangun peradaban Islami dan peradaban
kemanusiaan, yaitu dengan membangun manusianya terlebih dahulu. Dari sini
pulalah Al-Qur’an memberikan sebuah ide
tentang terwujudnya sebuah universitas kemanusiaan di muka bumi ini”.
“Baiklah
tuan guru, lalu bagaimana dengan dua elemen peradaban yang lain? Pembahasan kita
kali ini kan baru yang pertama, yaitu manusia”, tanyaku kemudian.
Bukannya
menjawab pertanyaanku, tuan guru malah memberi isyarat padaku dengan senyuman
dan lirikan, agar aku membaca buku Manhaju-L-Hadhoroh Al-Insaniyah Fil
Qur’an kembali. Aku pun kembali melihat buku yang ada ditanganku, setelah
beberapa saat yang lalu pandanganku fokus kepada tuan guru. tetapi saat aku
mengalihkan pandanganku ke arah tuan guru, beliau sudah tidak aku temukan
kembali didepanku. Aneh, apakah aku sedang bermimpi atau memang roh tuan guru
tadi sedang menjengukku ke sini. Aku cuwewet pipiku sendiri ingin
membuktikan bahwa aku tidak tidur, dan memang rasa kenyal masih aku rasakan.
Jadi aku tidak tidur, lalu siapakah sebenarnya orang didepanku yang memaparkan
semua penjelasan tadi kepadaku. Apakah perasaanku benar, bahwa itu tadi adalah
roh tuan guru yang memang mengunjungiku ke sini. Memang beliau telah wafat
beberapa tahun yang lalu karena pembunuhan yang dilakukan oleh kaum ekstrimis
kepada beliau. Wallahu A’lam, aku tak tahu, yang jelas beberapa pertanyaanku
sudah terjawab. Dan semoga besok beliau datang lagi untuk berdiskusi denganku.
**********
Sang surya sudah mulai beranjak dari
peraduannya, dengan diiringi senyumnya yang menawan kepada semua penghuni alam
semesta ini. Sedikit demi sedikit kehangatannya pun menyapa makhluk hidup yang
selalu menunggu sapaan hangatnya itu. Burung-burung berterbangan kesana kemari,
seolah mereka anak-anak manusia yang sedang berkejar-kejaran main petak umpet
dibalik semak-semak pepohonan yang hijau nan rindang. Angin pun tak mau kalah,
ia meniupkan kenyamanan dan kesejukan
dengan memanjakan wajah setiap orang yang sedang berteduh dibawah dedaunan
pohon-pohon tersebut. Wajahku yang masih diliputi rasa kantuk pun tak luput
dari belaian lembut angin semilir tadi. Rasa kantuk pun semakin menjadi-jadi
menyerangku, padahal di depanku suara bising anak-anak yang sedang Muhafadzoh
Shorof terdengar sangat keras sekali. Apalagi mereka mengiringinya dengan
tabuhan gendang-gendang kecil yang semakin menambah kerasnya suara mereka ini.
Ah, akupun beranjak mencari tempat
lain yang menghindarkanku dari kebisingan suara gendang tak beraturan itu. Aku
pun terduduk di sebuah sofa diruang tamu Pak Dhe—tempat biasanya aku
kongkow-kongkow bersama Pak Dhe serta teman-teman lainnya. Kuambil buku
pemberian tuan guru El-Buthi kembali. Aku buka perlahan-lahan sub bab kedua
dengan sebuah tema menarik yang berjudul: Ma Hiyal Hayah Al-Insaniyah Fil
Qur’an, yang kurang lebih bermakna “Apakah Sebenarnya Esensi Kehidupan
Manusia Menurut Al-Qur’an”.
Pada
mulanya, El-Buthi memberikan sebuah gambaran bahwasanya hidup bagi manusia
adalah salah satu hal pokok yang paling penting. Setiap manusia akan melakukan
apapun dan bahkan berusaha mati-matian guna menjaga keberlangsungan hidupnya.
Kehidupan bagi manusia adalah sebuah modal pokok untuk menunaikan tugasnya
sebagai Kholifah yang bergerak dalam memakmurkan kehidupan dunia ini. Namun apa
sebenarnya arti dari hidup itu sendiri dalam Al-Qur’an?? Sebagaimana El-Buthi
sendiri paparkan dalam sub bab tersebut di atas.
Kehidupan
dalam Al-Qura’n—menurut El-Buthi—bermakna umur yang diberikan Allah Subhanahu
Wa Ta’la sang pencipta kepada setiap makhluk hidup yang bernyawa. Dalam
diri seorang manusia, misalnya, umur bagaikan kedua mata yang sangat penting
sekali baginya. Atau bahkan lebih penting dari kedua bola mata. Seorang manusia
yang tidak memiliki mata atau pandangan matanya berkurang, maka sebuah cacat
telah menimpa dirinya dan tentunya kehidupannya pun akan terasa kurang
sempurna. Saat membaca penjelasan El-Buthi yang sedemikian itu, aku jadi
teringat sebuah ungkapan mutiara yang keluar dari samudra hikmah sang maestro
Sufi, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari dalam mutiara Hikam-nya. Beliau berkata:
“Setiap hak yang ada dalam waktu tertentu bisa untuk di Qodho’i. Akan
tetapi haknya waktu itu sendiri tidaklah bisa untuk di Qodho’I (jika
telah terlewatkan)”.
“Memang
begitulah anak muda…Mutiara hikam itu keluar dari Misykat Al-Qur’an yang
sangat jernih nan bening”
Ah
aku terkaget-kaget dengan suara yang tiba-tiba itu, suara tuan guru yang penuh
wibawa dan tanpa terduga-duga sebelumnya itu membuyarkan lamunanku. Beliau
nampak duduk manis disebuah kursi kayu yang berhadap-hadapan denganku.
“Lalu
bagaimanakah Al-Qur’an memberikan tuntunan berkenaan dengan kehidupan dan umur
ini wahai tuan guru?”
“Baiklah
anakku…cobalah kau baca dan renungi ayat berikut ini: “Ketahuilah bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang
banyaknya harta dan anak”[9].
Perhatian dan renungi dengan seksama. Dalam ayat tersebut di atas, Allah
memberikan sebuah testimoni yang jelas bahwa dunia ini hanya permainan,
perhiasan dan sesuatu yang melalaikan. Lalu Al-Qur’an memberikan sebuah
ilustrasi menarik tentang kehidupan dunia ini, Allah menyatakan bahwa kehidupan
ini bagaikan: hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur”[10].
Barulah kemudian Al-Qur’an menutup ayat tersebut dengan sebuah kaidah yang unik
nan menarik bahwa: “Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu”. Dari satu ayat ini saja, kita bisa mengetahui dan
mengambil sebuah kesimpulan bahwa kehidupan dunia (umur) tidak lain dan tak
bukan hanyalah sesuatu yang tidak berharga. Ia hanyalah sebuah anak tangga yang
akan menghantarkan manusia menuju ke sebuah kehidupan yang kekal dan abadi,
yaitu kehidupan akhirat yang merupakan kehidupan sejati”.
“Kalau
benar demikian seperti yang anda sampaikan tuan guru, lalu apa gunanya kita
hidup di dunia ini? Kenapa pula Allah masih memberikan hidup kepada sebagian
makhluknya? Bukankah akan lebih baik jikalau semuanya di matikan saja?”,
sanggahku dengan perasaan tidak setuju atas argumentasi tuan guru tadi.
“Eit…kau
jangan terburu-buru untuk menyimpulkan terlebih dahulu anak muda. “Al-‘Ajalatu
Minas Syaithan”, terburu-buru datangnya adalah dari syaitan. Memang,
kalau kita hanya sekilas melihat ayat di atas saja, maka yang terbersit dalam
masing-masing benak kita adalah apa yang kamu sampaikan tadi. Akan tetapi coba
perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an lain yang membicarakan tentang kehidupan
manusia. Dalam salah satu ayat disebutkan: “Barang siapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. Dalam
ayat lain: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah menghidupkan
manusia semuanya”. Dari dua ayat Al-Qur’an ini saja, kita bisa
mengetahui dengan jelas bahwa Al-Qur’an memandang kehidupan manusia sebagai hal
yang sangat berharga. Sungguh mulia dan indah ajaran Islam ini, ajaran yang
sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan ditengah meredupnya dasar-dasar
kemanusiaan dalam kehidupan umat manusia saat ini”.
“Wah…wah…kejadian
yang pertama terulang kembali tampaknya tuan guru?”
“Apa
maksudmu anakku?”
“Ya
jelas, pertama tadi tuan guru memberikan pemaparan bahwa Al-Qur’an menganggap
kehidupan manusia di dunia ini adalah sesuatu tidak bernilai apa-apa. Bahkan
kehidupan dunia ini hanyalah tipuan belaka. Tapi tiba-tiba setelah itu anda
memberikan penjelasan susulan yang berbalik 180 % dari penjelasan awal. Yakni
bahwa kehidupan manusia di dunia ini sangatlah berharga. Bukankah ini suatu hal
yang paradox? Lalu apakah Al-Qur’an itu bertentangan antara satu ayat dan yang
lain? Kalau pun bertentangan lalu ayat manakah yang benar? Dan kalaupun tidak,
lalu bagaimana dengan ayat tersebut di atas tadi?”
“Kak…Muhafadzohnya
sudah, boleh kita maen ping pong?”
Sebuah
pertanyaan dari anak-anak yang membuyarkan konsentrasiku: “Ya sudah, sana
maen-maenlah. Asal jangan berantem sama yang lain ya”, kataku.
“Iya
kak”, jawabnya.
Aku
mencari-cari sosok El-Buthi yang tadi duduk di depanku, tapi sayang tidak aku
temukan, entah hilang kemana sosok beliau yang misterius ini. Mataku kembali
memelototi buku yang ada di pangkuanku. Dalam buku tersebut memang dipaparkan
bahwa dua ayat tersebut di atas bagaikan dua sayap burung merpati. Jikalau
salah satu patah, maka keberadaan yang lainnya pun tidak akan memberikan arti
apa-apa. Aku teringat sebuah kaidah yang sering disebutkan oleh para pakar fiqh
yang berbunyi: “Al-I’mal Aula Minal Ihmal” yang berarti menggunakan
sebuah teks adalah lebih baik dari pada meninggalkannya. Jadi dua teks
Al-Qur’an di atas haruslah digunakan semua, tidak boleh ada yang ditinggalkan
atau ditanggalkan salah satu. Namun bagaimanakah tatacara menggunakan keduanya,
sedang sangat nampak sekali kontradiktif antara keduanya?
“Yang
kau pikirkan itu memang benar anak muda. Kedua teks Al-Qur’an tentang kehidupan
di atas harus sama-sama digunakan. Jangan ditinggalkan salah satu untuk
kemudian menggunakan yang lain. Keseimbangan dalam memahami dan mengaplikasikan
ayat al-Qur’an inilah yang menjadikan kita sebagai ummat moderat (Wasathan).
Satu ayat Al-Qur’an tidak mungkin kontradiktif dengan yang lain, bahkan pasti
saling menguatkan antara satu ayat dan yang lain. Karena Al-Qur’an sendiri
telah menjelaskan: “Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. Jadi tidak
mungkin ayat Al-Qur’an satu bertentangan dengan yang lain”.
“Lalu
bagaimana dengan penjelasan ayat-ayat di atas yang nampak sekali bertentangan
tuan guru?”, tanyaku.
“Ya
harus dikompromikan”
“Caranya?”
“Ya
dengan memahami secara moderat serta proporsional, bahwa memang kehidupan di
dunia diciptakan oleh Allah bukanlah merupakan satu-satunya kehidupan bagi
manusia. Toh walaupun demikian, seorang manusia harus berinteraksi dengan
kehidupannya sesuai dengan tuntunan Allah, karena hidup adalah amanah. Kehidupan
dunia merupakan rangkaian perjalanan kita menuju ke sebuah kehidupan yang lebih
kekal dan abadi, yaitu kehidupan di akherat. Al-Qur’an menyebut kehidupan dunia
ini sebagai sesuatu yang tidak bernilai agar manusia tidak tertipu dan merasa
nyaman, hingga akhirnya merasa betah di dunia ini. Padahal ibarat rumah,
kehidupan dunia adalah rumah kontrakan. Manakah yang akan anda perbaiki
terlebih dahulu, rumah kontrakanmu atau rumahmu sendiri? Tentunya rumah kita
sendiri. Al-Qur’an pun memberikan aturan yang jelas bagaimana manusia menempuh
bahtera kehidupan ini dengan benar. Manusia-manusia yang mampu melihat,
berfikir dan bertindak sesuai dengan resep-resep Al-Qur’an inilah yang disebut
dengan Rijalul Hadhoroh[11]”.
“Siapakah
Rijalul Hadhoroh itu wahai tuan guru?”
“Mereka
adalah orang-orang yang Al-Qur’an sudah menyelimuti jiwa mereka dengan cahaya
ilahiah. Al-Qur’an sudah menuntun perjalanan hidupnya dengan cahaya hidayah,
sehingga mereka mampu melihat segala sesuatu sesuai dengan realitas yang ada.
Mereka tidak tertipu oleh fatamorgana dunia yang semu, sehingga mereka
benar-benar tahu, kapan mereka harus memelihara hidupnya dan kapan harus
mengorbankannya. Manusia-manusia seperti inilah yang telah mampu menegakkan
panji-panji peradaban Islam dengan kokoh berabad-abad yang lalu. Coba saja
perhatikan Kholid Ibnul Walid, seorang sahabat Nabi yang ucapannya sampai kini
masih dicatat dengan tinta emas sejarah. Dengan lantang beliau berkata kepada
pasukan Romawi dan Persia: “Sungguh saya telah datang kepada kalian dengan
kaum yang mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan”. Sungguh
ungkapan yang luar biasa nan singkat, padat dan penuh makna. Inilah ungkapan
seseorang yang telah mengetahui nilai kehidupan dan kematian secara benar.
Cobalah berkenalan dengan Khonsa’. Seorang wanita yang bersyukur saat mendengar
syahidnya keempat putranya, dengan hebatnya ia berkata: “Alhamdulillah.
Sungguh Allah telah memuliakan diriku dengan kematian mereka. Dan saya berharap
agar Allah mengumpulkan diriku dengan mereka nanti di tempat yang dipenuhi
rahmat-Nya”. Cahaya iman telah menyeka bulir-bulir kesedihan dari kedua
pelupuk matanya. Gurat-gurat kepiluan pun nampak enggan untuk bersua dengan wajahnya
dan bahkan tak setetes pun air mata yang membasahi kedua pipinya. Merekalah Rijalul
Hadhoroh yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah dulu, lalu kita?”.
“Tuan
guru, aku cenderung melihat manusia modern sekarang ini terbelah menjadi dua
kutub yang berlawanan. Satu kutub dihuni oleh manusia-manusia serakah dengan
menghalalkan segala cara untuk mengeruk dan mengeksploitasi dunia sesuka
mereka. Sedang kutub yang lain dihuni oleh orang-orang yanhg cenderung putus
asa dalam kehidupannya, bahkan tak jarang mereka melakukan bunuh diri. Padahal
sebagian besar dari mereka adalah orang-orang terpelajar yang cerdik cendekia. Kira-kira
apakah semua ini ada hubungannya dengan persepsi mereka dalam memahami hidup?”
“Benar
apa yang kau katakan anakku. Manusia yang salah persepsi dalam memahami hidup,
maka sesungguhnya dia sedang menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kehancuran.
Dua model manusia yang kau sebutkan tadi adalah contoh nyatanya. Manusia dengan
model pertama adalah manusia-manusia yang menganggap kehidupan hanya ada di
dunia ini saja, setelah kematian tidak akan ada kehidupan lagi. Karena hidup di
dunia adalah satu-satunya kehidupan, maka mereka tidak mau dan tidak rela
menjadi orang yang susah dalam kehidupannya ini. Akhirnya mereka mengerahkan
segala daya dan upaya guna meraih kepuasan dan kenikmatan hidup
sebanyak-banyaknya. Mereka tidak perduli apakah usaha mereka itu merugikan yang
lain atau tidak, bahkan mereka tidak perduli lagi saat yang mereka lakukan itu
harus dibayar dengan menumpahkan darah ratusan atau bahkan darah ribuan
manusia. Peperangan yang terjadi diberbagai belahan dunia saat ini, tak lain
dan tak bukan adalah karena adanya manusia-manusia model pertama ini.
Sedang
manusia model kedua ada beragam bentuknya. Sebagian dari mereka sudah tidak
punya harapan terhadap kehidupan dunia ini, sebab kemiskinan yang mencekik
leher mereka, penyakit yang menimpa mereka ataupun karena cobaan lainnya. Ada
sebagian dari mereka yang putus asa untuk mereguk setetes embun ketenangan dari
kehidupan dunia ini, setelah ia mencari-cari kesana kemari. Akhirnya tidak
sedikit dari mereka yang memilih kematian dari pada kehidupan yang penuh
polesan ini. Padahal, setetes iman yang telah mencampuri kedalaman kalbu
seorang anak manusia, akan mengalirkan beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu
kekuatan kepada setiap sendi dan otot ditubuhnya. Sehingga orang-orang yang
dicerahkan oleh cahaya iman ini akan menjelma sebagai orang-orang yang kuat
serta tangguh dalam menghadapi hidup. Renungilah sebuah mutiara Hikmah yang
telah dipedarkan oleh sang Maestro Sufi: “Jikalau Dia telah membuka sebuah
cara untuk berkenalan denganmu, maka saat itu jangnlah kau hiraukan amalmu yang
sedikit. Karena tidaklah Dia membuka cara itu kecuali memang Dia hendak berkenalan
denganmu”. Seorang mukmin sejati adalah mereka yang menganggap segala
musibah yang menimpanya sebagai jalan yang dibuka oleh Allah untuk berkenalan
dengannya, Karenanya ia tidak pernah merasa susah maupun gelisah saat sedang
tertimpa musibah, apalagi sampai putus asa dan bunuh diri”.
“Walhasil, umur, waktu dan kesempatan yang
diberikan oleh Allah kepada kita harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan
aturan dan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah. Begitukah tuan guru?”
“Ya,
benar sekali anakku”
“Lalu
bagaimanakah Al-Qur’an membimbing manusia dalam berinteraksi dengan alam
semesta yang ada disekitarnya tuan guru? Bukankah kemarin—dan dalam buku ini
pula—tuan guru menyatakan bahwa alam semesta ini merupakan salah satu unsur
dari peradaban?”
“Begini
anakku, sebagaimana yang telah lalu-lalu, dalam hal ini pun Al-Qur’an mempuyai
cara dan karakteristik yang sama. Dalam satu kesempatan, Al-Qur’an secara tegas
menyatakan bahwa alam semesta ini adalah fatamorgana yang hampa, khayalan yang
hanya lewat saja atau bahkan sebuah bayangan yang seakan tak nyata wujudnya. Al-Qur’an
menyatakan: “Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan
orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara,
kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahanam”. Dalam ayat lain disebutkan:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan (dan
nilai) yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan”. Tetapi dalam ayat lain, Al-Qur’an
menghardik manusia yang enggan memanfaatkan dunia dan isinya yang telah
disediakan bagi mereka. Disebutkan: “Katakanlah, Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik? Katakanlah, Semua itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia ini, khusus
(untuk mereka saja) di hari kiamat”.
Dari
beberapa penjelasan ayat suci Al-Qur’an di atas, kita bisa mengambil satu
kesimpulan bahwa alam semesta beserta segala isinya yang ada ini diciptakan
oleh Allah memang diperuntukkan bagi manusia. Allah menundukkan bumi yang
begitu kerasnya untuk manusia, sehingga dengan nyaman dan santainya manusia
bisa berjalan di atas muka bumi tersebut. Allah menundukkan langit yang
terbentang luas dari ufuk barat ke ufuk timur bagi manusia, sehingga dengan
mudahnya pesawat terbang bisa menembus celah-celah langit tanpa aral bahaya di
depannya. Coba bayangkan, bagaimana jadinya andaikan gempa bumi menjadi
pemandangan yang menghampiri manusia setiap hari, niscaya manusia tidak akan
bisa berjalan dengan nyaman di muka bumi ini. Bagaimana pula jikalau langit
selalu menurunkan hujannya atau mengirimkan sambaran petirnya, pastinya pesawat
terbang tidak akan mudah untuk menembus ufuk-ufuk langit. Sungguh Allah Maha
Bijaksana dan Maha Penyayang”.
“Kalau
demikian, berarti sebenarnya segala macam ilmu yang berhubungan dengan alam
semesta pun di anjurkan oleh Islam tuan guru? Tidak hanya ilmu agama saja”
“Ya,
tidak ada dikotomi ilmu dalam Islam. Yang ada adalah hirearki keilmuan dalam
Islam. Tentunya ilmu yang menuntun manusia untuk mengenal tuhannya haruslah didahulukan
dari ilmu mengajak manusia mengenal alam semesta. Sebab saat manusia mengenal
tuhannya, maka secara otomatis dia akan mengenal dirinya sendiri. Dia akan
mengenal kemanusiaannya, dan sampai akhirnya dia akan mengenal bagaimana
berinteraksi dengan alam semesta. Sebagaimana telah aku jelaskan dimuka tadi.
Dulu banyak kita temukan seorang pakar ilmu agama yang juga pandai dalam ilmu
lainnya. Sebut saja Ibnu Rusyd Al-Hafid, disamping seorang Faqih dengan karya
monumental Bidayatu-L-Mujtahid sebagai masterpiecnya, beliau juga
mempunyai karya lain dalam bidang kedokteran. Begitu juga Al-Ghazali, selain
ilmu tasawwuf yang menjadi andalannya, ilmu Psikologis pun nampak mewarnai
karya agungnya, Ihya’ Ulumiddin. Al-Imam Ja’far As-Shodiq, cucu baginda
Nabi ini tidak hanya berperan sebagai orang yang Zuhud, Faqih dan Wira’i saja,
namun beliau juga seorang yang pakar dalam bidang kimia. Hal itu terbukti
dengan sebuah riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Kholliqon dalam buku Wafayatu-L-A’yan
bahwasanya seorang Jabir Bin Hayyan belajar ilmu alam, kimia dan astronomi
kepada Imam Ja’far ini. Dan masih banyak yang lainnya. Tetapi yang perlu kita
camkan, sehebat apapun ilmu yang mereka miliki, semua itu mereka persembahkan
demi kebangkitan peradaban Islam”.
“Namun
kenyataan yang kita lihat sekarang ini terbalik tuan guru. Saat seseorang sudah
pandai dalam ilmu agama, seakan-akan ia enggan untuk mempelajari ilmu sains.
Begitu juga sebaliknya, saat orang-orang sudah berkecimpung dalam bidang sains,
niscaya ia enggan untuk mendalami ilmu agama. Seakan ada dikotomi antara ilmu
agama dan sains. Kenapa hal ini bisa terjadi?”
“Inilah
salah satu benih-benih borok yang pada akhirnya menyebabakan kemunduran
paradaban Islam. Semestinya, istilah ‘Alim tidak hanya ditujukan
bagi mereka yang pandai dalam ilmu agama saja. Tetapi juga bagi mereka yang
pandai ilmu sains. Orang yang pandai ilmu agama, jangan berhenti disitu saja,
tetapi hendaknya dia juga belajar ilmu sains. Begitu juga sebaliknya, orang
yang pandai ilmu sains, semestinya tidak merasa puas dengan apa yang dia
ketahui. Seharusnya dia juga belajar ilmu agama. Sehingga dua kekuatan ini—ilmu
agama dan ilmu sains—bisa bersatu dan memunculkan kekuatan dahsyat guna
menghidupkan kembali api peradaban yang hari-hari ini masih nampak redup.
Anakku,
coba saja renungkan ayat berikut ini: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. Mungkin sebagian orang
mempunyai anggapan bahwa yang dimaksud dengan ulama di sini adalah mereka yang
hanya pandai dalam bidang ilmu agama saja. Padahal kalau mereka mau membaca
ayat sebelumnya, niscaya mereka akan menemukan pemaknaan yang sangat jauh
berbeda dari anggapannya tersebut. Ayat sebelumnya adalah: “Tidakkah kamu
melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami keluarkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya (dari dalam bumi).
Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka
macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warna (dan jenis)nya”. Dalam ayat yang kedua ini, Allah mengajak
manusia untuk melihat, merenungi dan tentunya mengkaji semua hal yang berkaitan
dengan alam semesta ini. Mulai dari hujan, gunung, tanah, dunia binatang serta
yang lainnya, hingga akhirnya semua itu mengantarkan mereka untuk meng-Esa-kan
Allah. Kata-kata “Alam Taro” yang berarti “Tidakkah kamu melihat”
tentunya tidak hanya penglihatan secara kasat mata saja, akan tetapi lebih dari
itu semua adalah kajian ilmiah guna menggali semua rahasia alam semesta ini. Nah,
orang yang mampu menemukan ke-Esa-an Allah melalui berbagai ciptaannya inilah
yang kemudian disebut ulama oleh Al-Qur’an”.
“Kalau
Islam mempunyai konsep peradaban yang sedemikian hebatnya, lalu kenapa sekarang
ini umat Islam masih nyaman terlelap dalam tidur panjangnya? Kenapa pula,
mereka tidak segera menghidupkan kembali api peradaban yang sampai sekarang
masih redup?”
“Ada
banyak problematika yang menjangkiti umat Islam sekarang ini, sehingga mereka
belum bisa—atau sebenarnya malas—bangun dari tidur panjangnya. Salah satunya
adalah khayalan Negara Islam yang karena sangat massif sekali, sehingga hal ini
seringnya melalaikan umat Islam dari tugas yang lebih wajib, yakni mengajarkan
Tauhid Islam dengan benar, sehingga umat islam benar-benar memahami agamanya
secara komprehensif. Dalam pandangan Al-Qur’an, kemunculan masyarakat dengan
berbagai tata tertibnya yang bersifat Islami, merupakan sebuah janji yang
diberikan oleh Allah kepada umat manusia. Memunculkan masyarakat yang Islami, bukanlah
sebuah tuntutan dan kewajiban, tetapi yang wajib adalah menumbuhkan
manusia-manusia yang mempunyai fikroh yang Islami, maka dengan sendirinya
akan terbentuk sebuah masyarakat yang Islami pula. Begitu juga Negara islam,
bukanlah merupakan sebuah kewajiban agama. Akan tetapi itu merupakan janji yang
diberikan oleh Allah kepada sekelompok manusia yang maindsetnya sudah Islami.
Nah, dakwah untuk lebih mengembalikan posisi manusia sebagai manusia sejatinya
inilah yang menjadi kewajiban bagi setiap orang Islam”.
“Kalau
demikian, berarti apa yang selama ini dilakukan oleh orang-orang Islam yang
berkoar-koar mengangkat sepanduk Negara Islam adalah salah tuan guru?”
“Ya
dalam pandanganku itu salah. Karena gerakan yang demikian adalah sebuah
tindakan yang terbalik. Secara nalar saja, dalam alam raya modern yang
mendewa-dewakan demokrasi sekarang ini, konsep dakwah untuk menuntun manusia
menjadi manusia yang Islami sangatlah bisa kita rasakan. Saat setiap
masing-masing manusia menjadi Islami, maka secara otomatis mereka pun tidak
akan memilih pemimpin kecuali dengan kreteria-kreteria yang Islami pula.
Kalaupun yang dicalonkan tidak sesuai dengan kreteria-kreteria ilmu yang mereka
ketahui selama ini, niscaya mereka akan memilih yang terbaik diantara yang
terjelek”.
“Lalu
apa yang harus kita lakukan sekarang tuan guru”
Sambil
berjalan, beliau berkata: “Ajaklah manusia untuk menjadi manusia seutuhnya
dengan Tauhid Peradaban”. Tiba-tiba beliau menghilang dari hadapanku dan pergi [].
[1]
Surat hud. Ayat ke-61.
[2]
Surat al-baqoroh ayat ke-30.
[3]
Surat an-nahl ayat ke-4.
[4]
Surat al-insan ayat ke-2.
[5]
Surat al-qoshosh ayat ke-4.
[6]
Surat as-syu’aro’ ayat ke-44.
[7]
Surat thaha ayat ke-71. Disebutkan juga dalam surat as-syu’aro ayat ke-49.
[8]
Surat thaha ayat ke-72.
[9]
Surat al-hadid ayat ke-20.
[10] Surat
al-hadid ayat ke-20.
[11] Kata
Rijalu-L-Hadhoroh merupakan sebuah istilah yang bias gender. Walaupun
kata “Rijal” sendiri sebenarnya merupakan bentuk plural dari kata “Rajul”
yang mempunyai kesan lebih berpihak
kepada kaum lelaki. Namun ternyata beberapa redaksi teks Al-Qur’an maupun
As-Sunnah memberikan gambaran kepada kita bahwa kata “Rijal”/ “Rajul” bukanlah
kata yang terkhusus bagi kaum lelaki saja. Semisal ayat ke-46 dari surat
al-a’rof yang berbunyi: “Wa ‘Alal A’rofi Rijal”. Seorang pakar tafsir,
Muhammad Thohir Ibnu ‘Asyur, menjelaskan bahwa penyebutkan kata “Rijal” tidak
berarti menunjukkan bahwa Ahlul A’rof hanyalah para lelaki saja, karena
penyebutan “Rijal” hanyalah untuk Taghlib (umumnya saja) saja.
Disamping juga ada riwayat yang menjelaskan bahwa ada sebagian kaum perempuan
yang masuk dalam kreteria Ahlul A’rof. Sedang dalam As-Sunnah kita sering diingatkan
oleh sebuah hadis dalam Shohih Bukhori yang menyatakan: “La Hasada Illa Fis
Natain. Rajulun Atahullahu Maalan Fa Sullitho ‘Ala Halkatihi. Wa Rajulun
Atahullahul Hikmata Fahuwa Yaqdhi Biha”. Kata “Rajul” yang terulang
sebanyak 2 kali dalam hadis tersebut tentunya tidaklah terkhusus bagi kaum
lelaki saja, karena tentunya wanita-wanita seperti Sayyidah Khodijah sebagai
saudagar kaya yang mewakafkan seluruh hartanya guna dakwah islam masuk dalam
kategori hadis di atas. Begitu juga
wanita seperti Sayyidah ‘Aisyah dan Sayyidah Fatimah yang sangat mumpuni dalam bidang keilmuan pun
tentunya masuk dalam kategori bagian hadis yang kedua. Walhasil, lebih tepatnya
jika kata “Rijal” atau “Rajul” dimaknai dengan para ‘pendakar’ yang memang
mumpuni dalam bidangnya masing-masing, tanpa ada dikotomi gender. Wallahu
A’lam.
0 komentar