Advertise 728x90

Tauhid Peradaban; Mega Proyek Peradaban El-Buthi

Written By Unknown on Tuesday, September 29, 2015 | 10:14 AM



Malam itu, seperti biasanya, Sarang—sebuah kota kecil diperbatasan Jateng dan Jatim yang diatas tanahnya telah bercokol bangunan-bangunan Pesantren yang bermacam-macam—seakan tidak pernah lengang dari hiruk pikuk aktivitas para santri. Denyut nadi kehidupan Sarang adalah denyut nadi ilmu yang mengiringi hembusan nafas para santri. Jikalau globalisasi mengajari anak-anak muda sekarang untuk rela berdesak-desakan guna melihat para artis idolanya. Maka Sarang mengajari anak-anaknya untuk bercengkrama dan bermesraan dengan Al-Bukhori, An-Nawawi, Ibnu Malik dan para sarjana Islam lainnya. Masing-masing dari mereka nampak asyik nan khusyu’ mendengarkan uraian petuah sang idola.
Diujung mushola sana, ada beberapa santri yang duduk bergerombol dengan wajah berbunga-bunga, karena dituntun oleh Al-Bukhori untuk menyusuri sisi-sisi kehidupan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam yang indah nan menawan itu. Sedang di sudut yang lain aku temukan sekelompok santri yang asyik berdiskusi dan ngaji dengan Zakariya Al-Anshori, sang mestro epistemology fiqh islam itu. Sementara, di pelataran ndalem Mbah Kiai, berduyun-duyun santri berkumpul ingin mereguk kesejukan Ihya’ Ulumiddin, mereka berebut untuk mencium tangan Al-Ghozali yang penuh wibawa. Ibnu Malik pun nampaknya tak mau kalah dengan yang lain, dengan cermat dan penuh perhatian, beliau menggandeng tangan anak-anak santri itu untuk menyusuri lorong-lorong bahasa Arab yang begitu beragam, unik dan penuh dengan senam otak.
Aku sendiri bagaimana? Ah aku sendiri tak mau kalah dengan teman-temanku. Aku sudah bersiap-siap untuk mengikuti pengajian Gus Wafi seperti biasanya. Namun, ada hal yang mengganjal dihatiku. Ya, karena sebenarnya pengajian Abu Jamroh yang biasa diampu oleh Gus Wafi sudah khatam, dan sekarang ini diganti dengan pengajian kitab baru. Tetapi, yang aneh adalah judul kitab baru tersebut, masak judul kitab “Hakadza Fal Nad’u Ilal Islam” (beginilah hendaknya kita mengajak kepada Islam). Dan lebih aneh lagi kawan, adalah penulisnya. Di depan nama beliau tercantum sebuah gelar yang rasa-rasanya masih nampak asing dan aneh ditelinga kami, yaitu gelar Doktor. Mungkin bagi sebagian teman, gelar itu nampak familier dan biasa-biasa saja, akan tetapi bagiku—seorang santri kecil yang kuper nan Ndeso ini—gelar itu nampak aneh dan menggelikan. Bagaimana tidak? Telingaku sudah terlanjur terbiasa mendengarkan “Qola-S-Syaikh”, “Qola-L-Imam” dan semisalnya. Lalu apakah sekarang aku harus mendengar “Qola Doktor”. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri, merasa geli dengan pikiran luguku yang terbang mengawang-awang.
“Ehm”, suara dehem Gus Wafi membuyarkan semua lamunanku yang nakal itu. Dengan pelan, hati-hati dan penuh perasaan, Gus Wafi menguraikan setiap kata dari buku karya El-Buthi tersebut. Ah menarik sekali uraian El-Buthi ini saat dipadu dengan penjelasan Gus Wafi yang tak kalah mencengangkan pula. Malam itu, Gus Wafi menjelaskan bahwa antara Dakwah dan Ifta’ ada perbedaannya, Karena da’wah adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang (Da’i) agar orang lain bisa mengenal Islam dengan nyaman. Sementara Ifta’ hanyalah memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada seorang mufti.  Lalu Gus Wafi dawuhan—seraya menjelaskan isi kitab di atas:
El-Buthi mengisahkan bahwa suatu hari beliau ditanya oleh seorang gadis—yang sedang gandrung dengan hijab, hanya saja ia belum bisa untuk menutup semua rambutnya—:”Apakah benar Allah tidak menerima semua amal ibdahku jika aku belum menggunakan hijab dengan sempurna?”. Maka dengan penuh kasih sayang Al-Buthi menjawab: “Percayalah wahai saudariku. Saat allah menuntun dirimu untuk menempuh jalan iman, maka sebenarnya Ia menghendakimu untuk menjadi orang yang baik. Dan di saat Allah memberimu kekuatan untuk menjalankan salah satu aturan agamanya, maka Dia tidak akan mengurangi sama sekali pahalamu, selama engkau melakukannya karena  ridha Allah semata. Semakin engkau mendekat kepada-Nya, maka Dia pun semakin mendekat kepadamu dengan petunjuk, pahala dan ridha-Nya.Dengan jawaban seperti tertera dalam kitab, sebenarnya El-Buthi sedang berperan sebagai seorang Da’i, bukan sebagai mufti. Akan tetapi, jawaban da’wah beliau pun sama sekali tidak mengebiri aturan syariat yang mengharuskan seorang wanita berhijab”,
            Uraian yang sangat menarik nan apik dan sekaligus baru bagiku itulah yang pertama kali mengantarkan perkenalanku dengan pemikiran Doktor El-Buthi. Semenjak itu aku merasa nyaman dan asyik untuk bercengkrama dengan beliau, walaupun itu hanya melalui beberapa karya-karya beliau. Rasa rindu dan dahaga ilmiah yang meluap-luap dalam jiwa mendorongku untuk lebih dalam lagi mengenal, berinteraksi dan bahkan kalaupun mungkin untuk bersua dengan beliau, dan aku jujur saja bahwa perasaan ini terus mengusik hati kecilku, hingga akhirnya takdir Allah menuntun kaki ini untuk berdiri di salah satu tanah Syam, sebuah dataran yang masih serumpun dengan kediaman beliau. Rasa-rasanya ingin sekali bersua dengan beliau. Namun, lagi-lagi takdir berkata lain. Kerakusan dan nafsu kekuasaan yang sudah menutupi mata hati seseorang telah menimbulkan konflik berkepanjangan di Syiria—negara dimana El-Buthi tinggal—yang sampai sekarang pun tak kunjung usai. Dan konflik yang keji dan tidak berprikemanusiaan itu pulalah yang pada akhirnya mengantarkan El-Buthi dan cucunya menuju ke-syahid-an dirinya. Beliau di bunuh saat mengajar di Masjid Al-Iman oleh tangan-tangan yang selalu dahaga akan lumuran darah anak manusia yang tak berdosa. Tangan-tangan manusia yang mengaku paling beriman, walaupun sebenarnya nilai keimanan enggan untuk bersentuhan dengan hati dan jiwa mereka.
            Ah, kalau mengingat peristiwa itu, sesak nafas dan dadaku menahan amarah yang naik ke ubun-ubun. Aku tak habis pikir, apa yang ada dipikiran mereka? Apa yang ada dibenak mereka? Tega-teganya mereka membunuh seorang ulama yang telah memberikan sumbangsih besar terhadap Khazanah dan Peradaban Islam. Bukankah El-Buthi merupakan salah satu ulama yang berhasil melahirkan banyak karya ilmiah dan buku? Dan kenyataannya, memang buku-buku karya El-Buthi pun sampai sekarang masih relevan untuk dijadikan rujukan bagi umat islam diseluruh penjuru dunia, terlebih lagi adalah masyarakat tradisionalis Indonesia. Karena memang beliau adalah salah satu prototype ulama yang mampu mengkrompomikan pemikiran tradisional dan modern, sehingga keduanya bisa berjalan seimbang dan sangat harmonis, tanpa harus mengesampingkan salah satu ataupun mengebiri yang lain.
            Jujur saja, aku sendiri mengakui bahwa sampai sekarang ini aku masih merasakan sentuhan lembut tangan El-Buthi. Dengan tak jemu-jemunya, beliau masih saja menuntun perjalananku dalam meniti sebuah jalan menuju peradaban Islam yang indah nan menawan. Ya, beliau memang tidak menuntunku secara langsung, akan tetapi peniggalan-peninggalan beliau yang berupa buku-buku dan karya ilmiah seakan sebuah rambu-rambu yang harus ditempuh oleh setiap orang yang hendak menghidupkan kembali api peradaban yang sempat redup oleh kebodohan umat islam itu sendiri. Aku jadi teringat akan ungkapan Muhammad Abduh “Al-Islam Mahjubun Bil Muslimin”, Islam ini terhalangi kemajuannya oleh umat Islam itu sendiri.
            Dalam suasana kehidupan anak bangsa yang kian carut marut seperti sekarang ini, aku merasa El-Buthi kembali datang menghampiriku. Dengan sentuhan lembut dan kata-katanya yang halus, seakan beliau menyapa diriku:
“Wahai anak muda, ada apa gerangan dengan dirimu? Kenapa wajahmu nampak sedih dan kebingunan, seakan beban berat sedang melanda jiwamu?”
“Memang tuan guru, aku sedang bingung. Aku melihat bangsa ini adalah bangsa dengan pemeluk islam terbesar di dunia. Namun aku melihat peradaban islam kian lama kian redup di dalamnya. Lentera-lentera tauhid berguguran satu persatu. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan?”, jawabku mengiba.
Dengan senyum yang tersungging manis, beliau menasehatiku seraya berkata:
“Ini, bacalah bukuku Manhaju-L-Hadhoroh Al-Insaniyah Fil Qur’an. Niscaya akan kau temukan air segar yang mengobati dahaga dan kebingunganmu sekarang”.  
Aku tersentak dari lamunanku, antara sadar dan tidak. Lalu aku pun bergegas membuka buku yang beliau berikan tadi. Dan memang, El-Buthi—melalui karyanya Manhaju-L-Hadhoroh Al-Insaniyah Fil Qur’an—telah membuat rambu-rambu dan kerangka yang sangat jelas tentang bagaimana seharusnya seseorang itu mulai membangun peradaban Islam yang sesuai dengan Manhaj Al-Qur’an. Dalam buku tersebut, El-Buthi menyatakan bahwa peradaban adalah buah dari bersinerginya unsur manusia, kehidupan dan alam semesta. Dari definisi yang demikian ini, beliau lalu menyimpulkan bahwa elemen dasar dari sebuah peradaban adalah ketiga unsur tersebut di atas tadi, yakni manusia, kehidupan (umur) dan alam semesta. Baru kemudian beliau mempunyai kesimpulan bahwa peradaban Islam adalah terjadinya keharmonisan interaksi antara ketiga elemen tadi yang berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.
            El-Buthi kembali tersenyum dan berkata kepadaku:
“Wahai anak muda, manusia adalah elemen peradaban yang paling pokok dan vital. Karena manusia adalah elemen peradaban yang aktif. Dialah yang pada dasarnya mampu untuk melakukan perubahan di dunia ini. sedang yang lain—yaitu kehidupan dan alam semesta—adalah dua elemen yang hanya pasif saja. Sebab itu, jikalau engkau hendak membangun sebuah peradaban, maka bangunlah terlebih dahulu manusianya”.
“Lalu bagaimanakah caranya agar aku ini bisa membangun manusia tuan guru? Bukankah manusia memang sudah ada fitrahnya masing-masing?”, kembali aku bertanya.
“Baca lagi Al-Qur’an anak muda. Kaji, renungi dan pahami kembali, bagaimanakah Al-Qur’an berbicara tentang tugas-tugas makhluk yang bernama manusia ini. Bukankah Al-Qur’an menyatakan bahwa: “Dia telah menciptakanmu—wahai manusia—dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[1]. Dan dalam ayat lain, Al-Qur’an pun menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi[2]. Bukankah sudah sangat jelas sekali apa dan bagaimana tugas seorang manusia itu wahai anak muda?”, jelas beliau.
“Tetapi tuan guru, sekarang ini banyak manusia yang karena merasa bahwa dirinya sebagai kholifah, lalu ia merasa berhak untuk bertindak sewenang-wenangnya. Ia merasa berhak untuk mengeksloitasi alam semena-menanya. Ia merasa berhak untuk menyiksa orang lain sekeji-kejinya. Bahkan yang aku herankan tuan guru, ada sebagian manusia yang dengan entengnya menuduh saudaranya yang seiman sebagai ahli neraka. Seakan dia tuhan  saja tuan guru”, keluhku pada beliau.
Kembali beliau tersenyum dan berkata:
“Anakku…Sebenarnya manusia seperti mereka ini sangatlah kasihan sekali. Mereka adalah manusia-manusia yang lupa akan jati dirinya sendiri sebagai manusia. Mereka hanya mengambil sebagian ayat-ayat Al-Qur’an saja, tetapi meninggalkan yang lain. Bukankah Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa: “Dia telah menciptakan manusia dari mani (yang tak berharga)[3]. Lalu: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar[4]. Jadi jelas sudah bahwa manusia adalah makhluk yang hina dina, lalu kenapa masih ada juga yang merasa paling berkuasa? Masih merasa paling kuat atau bahkan masih ada juga yang merasa sebagai tuhan? Ke-khalifah-an manusia bukanlah untuk menindas yang lainnya, akan tetapi lebih untuk membangun peradaban dimuka bumi ini”
Memang benar yang dikatakan El-Buthi, dan dalam buku Manhaju-L-Hadhoroh Al-Insaniyah Fil Qur’an saya menemukan apa yang baru saja beliau katakan tadi. Hanya saja saya sedikit mengalami kebingungan. Bagaimana tidak? Dalam satu kesempatan Al-Qur’an menyatakan bahwa karakter dasar dan tugas manusia adalah sebagai kholifah serta pionir penggerak peradaban kemanusiaan di muka bumi ini. Namun disisi lain, Al-Qur’an pun menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang hina dina dan tidak bernilai apa-apa. Lalu mana sebenarnya yang benar?
Seakan menangkap gurat-gurat kebingungan diwajahku, El-Buthi kembali berkata:
“Kau bingung ya? Seakan kedua penjelasanku tadi bertentangan ya? Memang kebingunganmu itu adalah hal yang wajar bagi mereka yang baru memulai memahami Al-Qur’an. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mulia, tapi sekaligus hina juga. Kedua karakteristik yang nampak bertentangan inilah dasar fitrah dalam diri manusia. Nah, Islam datang dengan ajaran yang membimbing manusia untuk mengharmoniskan kedua karakteristik yang bertentangan ini, anakku”.
“Lalu dengan apakah Islam mengharmoniskan keduanya tuan guru?”
“Dengan Tauhid…ya, Tauhid Islam adalah satu solusi yang mampu mengharmoniskan keduanya”
“Apa maksudnya tuan guru? Sudilah kiranya tuan guru memaparkan lebih jelas lagi. Biar manusia-manusia seperti saya ini bisa memahami dengan mudah”
“Ketahuilah wahai anakku…saat manusia tidak ber-Tauhid, maka dia akan terjatuh dalam kubangan perasaan Superior dan perasaan Inferior. Manusia yang jiwanya telah terjangkiti virus superioritas akan merasa paling benar, paling kuat, paling berkuasa, berhak menjajah yang lain dan tidak aneh jika ujung-ujungnya ia pun akan merasa sebagai Tuhan. Sedangkan manusia yang virus inferioritas telah menjangkiti seluruh jiwanya akan kehilangan semangat dalam menghadapi hidup ini. Ia merasa bahwa dirinya lemah, hina dina, tak punya daya dan kuasa apapun. Hingga pada akhirnya, perasaan yang demikian itu akan menjerumuskannya pada kondisi terjajah, baik secara mental, pandangan hidup, ekonomi dan bahkan budaya. Bahkan tidak sedikit yang menganggap dirinya tak ubahnya hewan”, jelas beliua.
“Saya masih kurang paham dengan penjelasan anda tersebut tuan guru. Apa hubungannya sifat superioritas dan inferioritas dengan Tauhid Islam?”, tanyaku.
“Memang, kalau kau hanya sekilas saja mendengar penjelasanku tadi, kau tidak akan bisa menemukan benang merah diantara keduanya. Tapi coba kau renungi dan perhatikan lagi, dari manakah munculnya anggapan seorang makhluk bahwa dirinya adalah Tuhan? Kenapa pula ada seseorang yang rela untuk dijajah dan dihinakan? Setelah itu kau baru akan tahu wahai anak muda bahwa Tauhid-lah yang bisa mengobati dan memberikan solusi pada dua penyakit kronis kemanusiaan tersebut di atas. Tauhid yang terdapat dalam jiwa seseorang akan mendudukkan manusia dalam posisinya sebagai manusia. Tauhid akan menyadarkan manusia bahwa sehebat dan sekuat apapun dirinya, pada dasarnya kehebatan dan kekuatan itu hanyalah pemberian dari Allah sebagai tuhan-Nya, bukan muncul dari dalam dirinya sendiri. Tauhid juga akan menyadarkan manusia bahwa dirinya tidak boleh menghamba dan menghinakan dirinya di depan sesama makhluk. Ia hanya diperbolehkan menghamba dan menghinakan dirinya di depan Allah sebagai tuhannya. Tauhid pulalah yang pada akhirnya akan membawa seseorang pada sikap antipati pada yang namanya penjajahan, karena bagaimanapun, penjajahan adalah salah satu bentuk penghambaan makhluk terhadap makhluk yang lain. Tauhid pulalah yang bisa mengharmoniskan karakteristik kemuliaan dan kehinaan yang terdapat dalam diri manusia sekaligus, sehingga ia benar-benar menjadi manusia seutuhnya, bukan tuhan dan bukan pula hewan. Paham anakku…?!”, Tanya beliau.
Sebenarnya aku sudah bisa memahami semua penjelasan dari tuan guru, El-Buthi, tersebut di atas. Namun masih ada sebuah pertanyaan yang mengganjal di hatiku. Tetapi aku ragu untuk mengutarakannya kepada beliau. Aku takut kalau-kalau pertanyaanku ini dianggap hanya merupakan tuduhan belaka, tak lebih. Akan tetapi, sebenarnya pertanyaan inilah yang paling sesuai dengan kondisi dunia sekarang ini. Ah aku bingung.
“Bagaimana anakku. Ada yang masih tidak kau pahami? Atau masih ada yang mengganjal di hatimu? Katakan saja..tidak usah malu atau takut padaku..!”
Pertanyaan tuan guru ini membuyarkan lamunanku, dengan nada yang terputus aku pun bertanya:
“Mungkin pada masa-masa dahulu memang ada beberapa manusia yang mengaku sebagai Tuhan, akan tetapi apakah di era modern sekarang ini masih ada manusia yang mengaku-aku sebagai tuhan tuan guru?? Kok kelihatannya saya tidak pernah menemukan orang yang mengatakan demikian”
“Ehmm, anak muda…memang dalam dunia modern ini kita tidak akan menemukan orang-orang yang secara langsung dan terang-terangan mengaku sebagai Tuhan, akan tetapi kalau engkau perhatikan prilaku dan polah tingkah serta kepongahan manusia sekarang, niscaya kau akan temukan mereka tak ubahnya Fir’aun-Fir’aun dan Namrud-Namrud abad melinium. Banyak diluar sana sesosok manusia-manusia yang karena kekayaannya memperbudak manusia yang lain. Tak sedikit pula diluar sana manusia-manusia yang karena kekuasaanya menindas manusia yang lain. Bahkan tak jarang kita temukan manusia-manusia yang hanya karena berbeda pandangan politik saja, mereka berani untuk menganggap manusia lain sebagai ahli neraka. Pada dasarnya Manusia-manusia modern ini banyak yang menasbihkan dirinya sebagai tuhan anakku. Al-Qur’an sebenarnya telah memberikan sebuah contoh dan gambaran nyata sebuah pola kehidupan masyarakat yang penuh kelaliman dan tirani, yaitu pola kehidupan masyarakat yang jauh dari cahaya Tauhid. Coba pahami dan renungilah apa yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an ini: Sesungguhnya Fira'un telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka, dan membiarkan kaum wanita mereka hidup (untuk diperbudak). Sesungguhnya Fira'un termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan[5].
Benar juga apa yang dikatakan oleh tuan guru tadi, dunia sekarang ini memang semakin edan dan tidak karuan. Banyak orang-orang atau Negara-negara Adikuasa yang menjajah manusia dan bangsa lainnya dengan berkedok pembebasan dari tirani, penggulingan seorang diktator, penyebaran demokrasi dan tetek bengek lainnya. Padahal ujung-ujungnya, mereka hanyalah ingin meraup keuntungan duniawi dan mengeksploitasi hasil alam negara jajahannya, tidak ada yang lain. Merekalah sebenarnya Fir’aun-Fir’aun abad modern ini. Tapi kenapa pula solusi Tauhid-lah yang diberikan oleh Allah untuk menangani masalah yang sedemikian komplek ini? Bukankah masalah yang dihadapi bangsa-bangsa berkembang sekarang ini bukan hanya permasalahan keagamaan saja, bahkan lebih komplek dari itu semua. Ada masalah ekonomi, masalah politik, pendidikan, sosial dan bertumpuk-tumpuk masalah lainnya.
“Tuan guru, kenapa pula Allah memberikan solusi berupa Tauhid? Bukankah masalah yang kita hadapi sekarang ini lebih komplek dan global lagi? Ada masalah ekonomi, politik, pendidikan dan lainnya”, tanyaku setelah pikiranku buntu untuk memahami penjelasan beliau tadi di atas.
“Benar yang kau katakan wahai anak muda…akan tetapi mampukah sebuah bangsa itu mandiri dalam ekonomi, politik, pemerintahan, budaya dan pendidikan sedang dia sendiri masih terjajah?”, selidik tuan guru.
“Tentu saja tidak mampu tuan guru”, jawabku dengan polos.
“Nah, karena itulah kemerdekaan sebuah bangsa adalah syarat mutlak bagi kemandirian dirinya dalam menentukan sebuah sikap dan kebijakan. Dan Tauhid Islam-lah yang mampu mendorong dan menimbulkan semangat dalam diri setiap bangsa untuk meraih kemerdekaannya. Coba kita renungi ayat berikut ini wahai anak muda: “Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata, Demi kekuasaan Fira'un, sesungguhnya kami benar-benar akan menang[6]. Dalam ayat tersebut Allah menggambarkan bagaimana sikap congkak, rasa bangga dan kepongahan menutupi kerendahan dan kehinaan mereka. Aku mengatakan rendahan, karena sebenarnya mereka rela untuk tunduk kepada seorang manusia picik, kejam, rakus dan lalim seperti Fir’aun ini. Mereka mengabaikan bisikan batinnya yang suci. Kenapa? Ya karena hati mereka lemah. Mereka punya kekuatan dalam dirinya, namun perasaan inferior telah membelenggu kekuatan itu. Mereka menggantungkan segala sesuatunya kepada manusia seperti mereka, dan semua itu membawa dampak terselubunginya jiwa mereka dengan mental rendahan yang rela untuk tunduk dan dijajah oleh Fir’aun. Tapi coba sekarang bandingkan kondisi mereka saat cahaya iman telah memenuhi hati mereka. Al-Qur’an menggambarkan bagaimana ancaman Fir’aun kepada mereka saat mengetahui bahwa mereka beriman: “Fira'un berkata, Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian? Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kakimu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, menyalibmu sekalian pada pangkal pohon kurma[7]. Tapi karena iman dan tauhid telah menguatkan mereka, maka dengan tegas mereka berani menantang Fir’aun dengan mengatakan: “Mereka berkata, Demi Tuhan yang telah menciptakan kami, kami sekali-kali tidak akan mengutamakanmu atas bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja[8]. Betapa dahsyatnya cahaya Tauhid ini. Ia telah merubah manusia-manusia yang lemah dan tidak memiliki kekuatan apapun, menjadi manusia kuat dan punya prinsip kuat. Jadi, ajarkanlah tauhid kepada bangsamu wahai anakku…niscaya mereka akan menjadi bangsa yang maju, mandiri dan siap dengan tantangan-tantangan yang mereka hadapi!”
“Oke…sekarang aku sudah paham tuan guru. Kalau boleh aku menyimpulkan kenapa manusia harus ber-Tauhid adalah karena dengan Tauhid seorang manusia akan menjadi manusia seutuhnya. Ia akan mengerti tentang kehambaan dirinya di depan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Sehinga dengan Tauhid ini pulalah kita akan menghilangkan penjajahan—dengan berbagai macam bentuk dan modelnya—di muka bumi ini. Karena pada dasarnya, penjajahan adalah penghambaan manusia kepada manusia yang lain, dan itu sangat di larang oleh Islam. Dan dengan Tauhid ini pulalah seorang manusia tidak akan pernah mau untuk diperhamba oleh makhluk lainnya. Dia tidak akan rela untuk di jajah, dikuasai dan direndahkan oleh manusia lainnya. Karena dia hanya akan mau untuk diper- hamba, dihinakan dan direndahkan oleh sang penciptanya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’la. Jadi Tauhid inilah kunci yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia untuk menjadi manusia seutuhnya”.
“Ya benar sekali kesimpulanmu itu wahai anakku. Dan begitulah sebenarnya Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bagaimana membangun peradaban Islami dan peradaban kemanusiaan, yaitu dengan membangun manusianya terlebih dahulu. Dari sini pulalah Al-Qur’an  memberikan sebuah ide tentang terwujudnya sebuah universitas kemanusiaan di muka bumi ini”.
“Baiklah tuan guru, lalu bagaimana dengan dua elemen peradaban yang lain? Pembahasan kita kali ini kan baru yang pertama, yaitu manusia”, tanyaku kemudian.
Bukannya menjawab pertanyaanku, tuan guru malah memberi isyarat padaku dengan senyuman dan lirikan, agar aku membaca buku Manhaju-L-Hadhoroh Al-Insaniyah Fil Qur’an kembali. Aku pun kembali melihat buku yang ada ditanganku, setelah beberapa saat yang lalu pandanganku fokus kepada tuan guru. tetapi saat aku mengalihkan pandanganku ke arah tuan guru, beliau sudah tidak aku temukan kembali didepanku. Aneh, apakah aku sedang bermimpi atau memang roh tuan guru tadi sedang menjengukku ke sini. Aku cuwewet pipiku sendiri ingin membuktikan bahwa aku tidak tidur, dan memang rasa kenyal masih aku rasakan. Jadi aku tidak tidur, lalu siapakah sebenarnya orang didepanku yang memaparkan semua penjelasan tadi kepadaku. Apakah perasaanku benar, bahwa itu tadi adalah roh tuan guru yang memang mengunjungiku ke sini. Memang beliau telah wafat beberapa tahun yang lalu karena pembunuhan yang dilakukan oleh kaum ekstrimis kepada beliau. Wallahu A’lam, aku tak tahu, yang jelas beberapa pertanyaanku sudah terjawab. Dan semoga besok beliau datang lagi untuk berdiskusi denganku.
**********
            Sang surya sudah mulai beranjak dari peraduannya, dengan diiringi senyumnya yang menawan kepada semua penghuni alam semesta ini. Sedikit demi sedikit kehangatannya pun menyapa makhluk hidup yang selalu menunggu sapaan hangatnya itu. Burung-burung berterbangan kesana kemari, seolah mereka anak-anak manusia yang sedang berkejar-kejaran main petak umpet dibalik semak-semak pepohonan yang hijau nan rindang. Angin pun tak mau kalah, ia meniupkan kenyamanan dan  kesejukan dengan memanjakan wajah setiap orang yang sedang berteduh dibawah dedaunan pohon-pohon tersebut. Wajahku yang masih diliputi rasa kantuk pun tak luput dari belaian lembut angin semilir tadi. Rasa kantuk pun semakin menjadi-jadi menyerangku, padahal di depanku suara bising anak-anak yang sedang Muhafadzoh Shorof terdengar sangat keras sekali. Apalagi mereka mengiringinya dengan tabuhan gendang-gendang kecil yang semakin menambah kerasnya suara mereka ini.
            Ah, akupun beranjak mencari tempat lain yang menghindarkanku dari kebisingan suara gendang tak beraturan itu. Aku pun terduduk di sebuah sofa diruang tamu Pak Dhe—tempat biasanya aku kongkow-kongkow bersama Pak Dhe serta teman-teman lainnya. Kuambil buku pemberian tuan guru El-Buthi kembali. Aku buka perlahan-lahan sub bab kedua dengan sebuah tema menarik yang berjudul: Ma Hiyal Hayah Al-Insaniyah Fil Qur’an, yang kurang lebih bermakna “Apakah Sebenarnya Esensi Kehidupan Manusia Menurut Al-Qur’an”.
Pada mulanya, El-Buthi memberikan sebuah gambaran bahwasanya hidup bagi manusia adalah salah satu hal pokok yang paling penting. Setiap manusia akan melakukan apapun dan bahkan berusaha mati-matian guna menjaga keberlangsungan hidupnya. Kehidupan bagi manusia adalah sebuah modal pokok untuk menunaikan tugasnya sebagai Kholifah yang bergerak dalam memakmurkan kehidupan dunia ini. Namun apa sebenarnya arti dari hidup itu sendiri dalam Al-Qur’an?? Sebagaimana El-Buthi sendiri paparkan dalam sub bab tersebut di atas.
Kehidupan dalam Al-Qura’n—menurut El-Buthi—bermakna umur yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’la sang pencipta kepada setiap makhluk hidup yang bernyawa. Dalam diri seorang manusia, misalnya, umur bagaikan kedua mata yang sangat penting sekali baginya. Atau bahkan lebih penting dari kedua bola mata. Seorang manusia yang tidak memiliki mata atau pandangan matanya berkurang, maka sebuah cacat telah menimpa dirinya dan tentunya kehidupannya pun akan terasa kurang sempurna. Saat membaca penjelasan El-Buthi yang sedemikian itu, aku jadi teringat sebuah ungkapan mutiara yang keluar dari samudra hikmah sang maestro Sufi, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari dalam mutiara Hikam-nya. Beliau berkata: “Setiap hak yang ada dalam waktu tertentu bisa untuk di Qodho’i. Akan tetapi haknya waktu itu sendiri tidaklah bisa untuk di Qodho’I (jika telah terlewatkan)”.
“Memang begitulah anak muda…Mutiara hikam itu keluar dari Misykat Al-Qur’an yang sangat jernih nan bening”
Ah aku terkaget-kaget dengan suara yang tiba-tiba itu, suara tuan guru yang penuh wibawa dan tanpa terduga-duga sebelumnya itu membuyarkan lamunanku. Beliau nampak duduk manis disebuah kursi kayu yang berhadap-hadapan denganku.
“Lalu bagaimanakah Al-Qur’an memberikan tuntunan berkenaan dengan kehidupan dan umur ini wahai tuan guru?”
“Baiklah anakku…cobalah kau baca dan renungi ayat berikut ini: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak[9]. Perhatian dan renungi dengan seksama. Dalam ayat tersebut di atas, Allah memberikan sebuah testimoni yang jelas bahwa dunia ini hanya permainan, perhiasan dan sesuatu yang melalaikan. Lalu Al-Qur’an memberikan sebuah ilustrasi menarik tentang kehidupan dunia ini, Allah menyatakan bahwa kehidupan ini bagaikan: hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur[10]. Barulah kemudian Al-Qur’an menutup ayat tersebut dengan sebuah kaidah yang unik nan menarik bahwa: “Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Dari satu ayat ini saja, kita bisa mengetahui dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa kehidupan dunia (umur) tidak lain dan tak bukan hanyalah sesuatu yang tidak berharga. Ia hanyalah sebuah anak tangga yang akan menghantarkan manusia menuju ke sebuah kehidupan yang kekal dan abadi, yaitu kehidupan akhirat yang merupakan kehidupan sejati”.
“Kalau benar demikian seperti yang anda sampaikan tuan guru, lalu apa gunanya kita hidup di dunia ini? Kenapa pula Allah masih memberikan hidup kepada sebagian makhluknya? Bukankah akan lebih baik jikalau semuanya di matikan saja?”, sanggahku dengan perasaan tidak setuju atas argumentasi tuan guru tadi.
“Eit…kau jangan terburu-buru untuk menyimpulkan terlebih dahulu anak muda. “Al-‘Ajalatu Minas Syaithan”, terburu-buru datangnya adalah dari syaitan. Memang, kalau kita hanya sekilas melihat ayat di atas saja, maka yang terbersit dalam masing-masing benak kita adalah apa yang kamu sampaikan tadi. Akan tetapi coba perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an lain yang membicarakan tentang kehidupan manusia. Dalam salah satu ayat disebutkan: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. Dalam ayat lain: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah menghidupkan manusia semuanya”. Dari dua ayat Al-Qur’an ini saja, kita bisa mengetahui dengan jelas bahwa Al-Qur’an memandang kehidupan manusia sebagai hal yang sangat berharga. Sungguh mulia dan indah ajaran Islam ini, ajaran yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan ditengah meredupnya dasar-dasar kemanusiaan dalam kehidupan umat manusia saat ini”.
“Wah…wah…kejadian yang pertama terulang kembali tampaknya tuan guru?”
“Apa maksudmu anakku?”
“Ya jelas, pertama tadi tuan guru memberikan pemaparan bahwa Al-Qur’an menganggap kehidupan manusia di dunia ini adalah sesuatu tidak bernilai apa-apa. Bahkan kehidupan dunia ini hanyalah tipuan belaka. Tapi tiba-tiba setelah itu anda memberikan penjelasan susulan yang berbalik 180 % dari penjelasan awal. Yakni bahwa kehidupan manusia di dunia ini sangatlah berharga. Bukankah ini suatu hal yang paradox? Lalu apakah Al-Qur’an itu bertentangan antara satu ayat dan yang lain? Kalau pun bertentangan lalu ayat manakah yang benar? Dan kalaupun tidak, lalu bagaimana dengan ayat tersebut di atas tadi?”
“Kak…Muhafadzohnya sudah, boleh kita maen ping pong?”
Sebuah pertanyaan dari anak-anak yang membuyarkan konsentrasiku: “Ya sudah, sana maen-maenlah. Asal jangan berantem sama yang lain ya”, kataku.
“Iya kak”, jawabnya.
Aku mencari-cari sosok El-Buthi yang tadi duduk di depanku, tapi sayang tidak aku temukan, entah hilang kemana sosok beliau yang misterius ini. Mataku kembali memelototi buku yang ada di pangkuanku. Dalam buku tersebut memang dipaparkan bahwa dua ayat tersebut di atas bagaikan dua sayap burung merpati. Jikalau salah satu patah, maka keberadaan yang lainnya pun tidak akan memberikan arti apa-apa. Aku teringat sebuah kaidah yang sering disebutkan oleh para pakar fiqh yang berbunyi: “Al-I’mal Aula Minal Ihmal” yang berarti menggunakan sebuah teks adalah lebih baik dari pada meninggalkannya. Jadi dua teks Al-Qur’an di atas haruslah digunakan semua, tidak boleh ada yang ditinggalkan atau ditanggalkan salah satu. Namun bagaimanakah tatacara menggunakan keduanya, sedang sangat nampak sekali kontradiktif antara keduanya?
“Yang kau pikirkan itu memang benar anak muda. Kedua teks Al-Qur’an tentang kehidupan di atas harus sama-sama digunakan. Jangan ditinggalkan salah satu untuk kemudian menggunakan yang lain. Keseimbangan dalam memahami dan mengaplikasikan ayat al-Qur’an inilah yang menjadikan kita sebagai ummat moderat (Wasathan). Satu ayat Al-Qur’an tidak mungkin kontradiktif dengan yang lain, bahkan pasti saling menguatkan antara satu ayat dan yang lain. Karena Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan: “Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. Jadi tidak mungkin ayat Al-Qur’an satu bertentangan dengan yang lain”.
“Lalu bagaimana dengan penjelasan ayat-ayat di atas yang nampak sekali bertentangan tuan guru?”, tanyaku.
“Ya harus dikompromikan”
“Caranya?”
“Ya dengan memahami secara moderat serta proporsional, bahwa memang kehidupan di dunia diciptakan oleh Allah bukanlah merupakan satu-satunya kehidupan bagi manusia. Toh walaupun demikian, seorang manusia harus berinteraksi dengan kehidupannya sesuai dengan tuntunan Allah, karena hidup adalah amanah. Kehidupan dunia merupakan rangkaian perjalanan kita menuju ke sebuah kehidupan yang lebih kekal dan abadi, yaitu kehidupan di akherat. Al-Qur’an menyebut kehidupan dunia ini sebagai sesuatu yang tidak bernilai agar manusia tidak tertipu dan merasa nyaman, hingga akhirnya merasa betah di dunia ini. Padahal ibarat rumah, kehidupan dunia adalah rumah kontrakan. Manakah yang akan anda perbaiki terlebih dahulu, rumah kontrakanmu atau rumahmu sendiri? Tentunya rumah kita sendiri. Al-Qur’an pun memberikan aturan yang jelas bagaimana manusia menempuh bahtera kehidupan ini dengan benar. Manusia-manusia yang mampu melihat, berfikir dan bertindak sesuai dengan resep-resep Al-Qur’an inilah yang disebut dengan Rijalul Hadhoroh[11]”.
“Siapakah Rijalul Hadhoroh itu wahai tuan guru?”
“Mereka adalah orang-orang yang Al-Qur’an sudah menyelimuti jiwa mereka dengan cahaya ilahiah. Al-Qur’an sudah menuntun perjalanan hidupnya dengan cahaya hidayah, sehingga mereka mampu melihat segala sesuatu sesuai dengan realitas yang ada. Mereka tidak tertipu oleh fatamorgana dunia yang semu, sehingga mereka benar-benar tahu, kapan mereka harus memelihara hidupnya dan kapan harus mengorbankannya. Manusia-manusia seperti inilah yang telah mampu menegakkan panji-panji peradaban Islam dengan kokoh berabad-abad yang lalu. Coba saja perhatikan Kholid Ibnul Walid, seorang sahabat Nabi yang ucapannya sampai kini masih dicatat dengan tinta emas sejarah. Dengan lantang beliau berkata kepada pasukan Romawi dan Persia: “Sungguh saya telah datang kepada kalian dengan kaum yang mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan”. Sungguh ungkapan yang luar biasa nan singkat, padat dan penuh makna. Inilah ungkapan seseorang yang telah mengetahui nilai kehidupan dan kematian secara benar. Cobalah berkenalan dengan Khonsa’. Seorang wanita yang bersyukur saat mendengar syahidnya keempat putranya, dengan hebatnya ia berkata: “Alhamdulillah. Sungguh Allah telah memuliakan diriku dengan kematian mereka. Dan saya berharap agar Allah mengumpulkan diriku dengan mereka nanti di tempat yang dipenuhi rahmat-Nya”. Cahaya iman telah menyeka bulir-bulir kesedihan dari kedua pelupuk matanya. Gurat-gurat kepiluan pun nampak enggan untuk bersua dengan wajahnya dan bahkan tak setetes pun air mata yang membasahi kedua pipinya. Merekalah Rijalul Hadhoroh yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah dulu, lalu kita?”.
“Tuan guru, aku cenderung melihat manusia modern sekarang ini terbelah menjadi dua kutub yang berlawanan. Satu kutub dihuni oleh manusia-manusia serakah dengan menghalalkan segala cara untuk mengeruk dan mengeksploitasi dunia sesuka mereka. Sedang kutub yang lain dihuni oleh orang-orang yanhg cenderung putus asa dalam kehidupannya, bahkan tak jarang mereka melakukan bunuh diri. Padahal sebagian besar dari mereka adalah orang-orang terpelajar yang cerdik cendekia. Kira-kira apakah semua ini ada hubungannya dengan persepsi mereka dalam memahami hidup?”
“Benar apa yang kau katakan anakku. Manusia yang salah persepsi dalam memahami hidup, maka sesungguhnya dia sedang menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kehancuran. Dua model manusia yang kau sebutkan tadi adalah contoh nyatanya. Manusia dengan model pertama adalah manusia-manusia yang menganggap kehidupan hanya ada di dunia ini saja, setelah kematian tidak akan ada kehidupan lagi. Karena hidup di dunia adalah satu-satunya kehidupan, maka mereka tidak mau dan tidak rela menjadi orang yang susah dalam kehidupannya ini. Akhirnya mereka mengerahkan segala daya dan upaya guna meraih kepuasan dan kenikmatan hidup sebanyak-banyaknya. Mereka tidak perduli apakah usaha mereka itu merugikan yang lain atau tidak, bahkan mereka tidak perduli lagi saat yang mereka lakukan itu harus dibayar dengan menumpahkan darah ratusan atau bahkan darah ribuan manusia. Peperangan yang terjadi diberbagai belahan dunia saat ini, tak lain dan tak bukan adalah karena adanya manusia-manusia model pertama ini.
Sedang manusia model kedua ada beragam bentuknya. Sebagian dari mereka sudah tidak punya harapan terhadap kehidupan dunia ini, sebab kemiskinan yang mencekik leher mereka, penyakit yang menimpa mereka ataupun karena cobaan lainnya. Ada sebagian dari mereka yang putus asa untuk mereguk setetes embun ketenangan dari kehidupan dunia ini, setelah ia mencari-cari kesana kemari. Akhirnya tidak sedikit dari mereka yang memilih kematian dari pada kehidupan yang penuh polesan ini. Padahal, setetes iman yang telah mencampuri kedalaman kalbu seorang anak manusia, akan mengalirkan beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu kekuatan kepada setiap sendi dan otot ditubuhnya. Sehingga orang-orang yang dicerahkan oleh cahaya iman ini akan menjelma sebagai orang-orang yang kuat serta tangguh dalam menghadapi hidup. Renungilah sebuah mutiara Hikmah yang telah dipedarkan oleh sang Maestro Sufi: “Jikalau Dia telah membuka sebuah cara untuk berkenalan denganmu, maka saat itu jangnlah kau hiraukan amalmu yang sedikit. Karena tidaklah Dia membuka cara itu kecuali memang Dia hendak berkenalan denganmu”. Seorang mukmin sejati adalah mereka yang menganggap segala musibah yang menimpanya sebagai jalan yang dibuka oleh Allah untuk berkenalan dengannya, Karenanya ia tidak pernah merasa susah maupun gelisah saat sedang tertimpa musibah, apalagi sampai putus asa dan bunuh diri”.
 “Walhasil, umur, waktu dan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada kita harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan aturan dan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah. Begitukah tuan guru?”
“Ya, benar sekali anakku”
“Lalu bagaimanakah Al-Qur’an membimbing manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta yang ada disekitarnya tuan guru? Bukankah kemarin—dan dalam buku ini pula—tuan guru menyatakan bahwa alam semesta ini merupakan salah satu unsur dari peradaban?”
“Begini anakku, sebagaimana yang telah lalu-lalu, dalam hal ini pun Al-Qur’an mempuyai cara dan karakteristik yang sama. Dalam satu kesempatan, Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa alam semesta ini adalah fatamorgana yang hampa, khayalan yang hanya lewat saja atau bahkan sebuah bayangan yang seakan tak nyata wujudnya. Al-Qur’an menyatakan: “Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahanam”. Dalam ayat lain disebutkan: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan (dan nilai) yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. Tetapi dalam ayat lain, Al-Qur’an menghardik manusia yang enggan memanfaatkan dunia dan isinya yang telah disediakan bagi mereka. Disebutkan: “Katakanlah, Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik? Katakanlah, Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia ini, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”.
Dari beberapa penjelasan ayat suci Al-Qur’an di atas, kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwa alam semesta beserta segala isinya yang ada ini diciptakan oleh Allah memang diperuntukkan bagi manusia. Allah menundukkan bumi yang begitu kerasnya untuk manusia, sehingga dengan nyaman dan santainya manusia bisa berjalan di atas muka bumi tersebut. Allah menundukkan langit yang terbentang luas dari ufuk barat ke ufuk timur bagi manusia, sehingga dengan mudahnya pesawat terbang bisa menembus celah-celah langit tanpa aral bahaya di depannya. Coba bayangkan, bagaimana jadinya andaikan gempa bumi menjadi pemandangan yang menghampiri manusia setiap hari, niscaya manusia tidak akan bisa berjalan dengan nyaman di muka bumi ini. Bagaimana pula jikalau langit selalu menurunkan hujannya atau mengirimkan sambaran petirnya, pastinya pesawat terbang tidak akan mudah untuk menembus ufuk-ufuk langit. Sungguh Allah Maha Bijaksana dan Maha Penyayang”.
“Kalau demikian, berarti sebenarnya segala macam ilmu yang berhubungan dengan alam semesta pun di anjurkan oleh Islam tuan guru? Tidak hanya ilmu agama saja”
“Ya, tidak ada dikotomi ilmu dalam Islam. Yang ada adalah hirearki keilmuan dalam Islam. Tentunya ilmu yang menuntun manusia untuk mengenal tuhannya haruslah didahulukan dari ilmu mengajak manusia mengenal alam semesta. Sebab saat manusia mengenal tuhannya, maka secara otomatis dia akan mengenal dirinya sendiri. Dia akan mengenal kemanusiaannya, dan sampai akhirnya dia akan mengenal bagaimana berinteraksi dengan alam semesta. Sebagaimana telah aku jelaskan dimuka tadi. Dulu banyak kita temukan seorang pakar ilmu agama yang juga pandai dalam ilmu lainnya. Sebut saja Ibnu Rusyd Al-Hafid, disamping seorang Faqih dengan karya monumental Bidayatu-L-Mujtahid sebagai masterpiecnya, beliau juga mempunyai karya lain dalam bidang kedokteran. Begitu juga Al-Ghazali, selain ilmu tasawwuf yang menjadi andalannya, ilmu Psikologis pun nampak mewarnai karya agungnya, Ihya’ Ulumiddin. Al-Imam Ja’far As-Shodiq, cucu baginda Nabi ini tidak hanya berperan sebagai orang yang Zuhud, Faqih dan Wira’i saja, namun beliau juga seorang yang pakar dalam bidang kimia. Hal itu terbukti dengan sebuah riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Kholliqon dalam buku Wafayatu-L-A’yan bahwasanya seorang Jabir Bin Hayyan belajar ilmu alam, kimia dan astronomi kepada Imam Ja’far ini. Dan masih banyak yang lainnya. Tetapi yang perlu kita camkan, sehebat apapun ilmu yang mereka miliki, semua itu mereka persembahkan demi kebangkitan peradaban Islam”.
“Namun kenyataan yang kita lihat sekarang ini terbalik tuan guru. Saat seseorang sudah pandai dalam ilmu agama, seakan-akan ia enggan untuk mempelajari ilmu sains. Begitu juga sebaliknya, saat orang-orang sudah berkecimpung dalam bidang sains, niscaya ia enggan untuk mendalami ilmu agama. Seakan ada dikotomi antara ilmu agama dan sains. Kenapa hal ini bisa terjadi?”
“Inilah salah satu benih-benih borok yang pada akhirnya menyebabakan kemunduran paradaban Islam. Semestinya, istilah ‘Alim tidak hanya ditujukan bagi mereka yang pandai dalam ilmu agama saja. Tetapi juga bagi mereka yang pandai ilmu sains. Orang yang pandai ilmu agama, jangan berhenti disitu saja, tetapi hendaknya dia juga belajar ilmu sains. Begitu juga sebaliknya, orang yang pandai ilmu sains, semestinya tidak merasa puas dengan apa yang dia ketahui. Seharusnya dia juga belajar ilmu agama. Sehingga dua kekuatan ini—ilmu agama dan ilmu sains—bisa bersatu dan memunculkan kekuatan dahsyat guna menghidupkan kembali api peradaban yang hari-hari ini masih nampak redup.
Anakku, coba saja renungkan ayat berikut ini: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. Mungkin sebagian orang mempunyai anggapan bahwa yang dimaksud dengan ulama di sini adalah mereka yang hanya pandai dalam bidang ilmu agama saja. Padahal kalau mereka mau membaca ayat sebelumnya, niscaya mereka akan menemukan pemaknaan yang sangat jauh berbeda dari anggapannya tersebut. Ayat sebelumnya adalah: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami keluarkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya (dari dalam bumi). Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warna (dan jenis)nya”. Dalam ayat yang kedua ini, Allah mengajak manusia untuk melihat, merenungi dan tentunya mengkaji semua hal yang berkaitan dengan alam semesta ini. Mulai dari hujan, gunung, tanah, dunia binatang serta yang lainnya, hingga akhirnya semua itu mengantarkan mereka untuk meng-Esa-kan Allah. Kata-kata “Alam Taro” yang berarti “Tidakkah kamu melihat” tentunya tidak hanya penglihatan secara kasat mata saja, akan tetapi lebih dari itu semua adalah kajian ilmiah guna menggali semua rahasia alam semesta ini. Nah, orang yang mampu menemukan ke-Esa-an Allah melalui berbagai ciptaannya inilah yang kemudian disebut ulama oleh Al-Qur’an”.
“Kalau Islam mempunyai konsep peradaban yang sedemikian hebatnya, lalu kenapa sekarang ini umat Islam masih nyaman terlelap dalam tidur panjangnya? Kenapa pula, mereka tidak segera menghidupkan kembali api peradaban yang sampai sekarang masih redup?”
“Ada banyak problematika yang menjangkiti umat Islam sekarang ini, sehingga mereka belum bisa—atau sebenarnya malas—bangun dari tidur panjangnya. Salah satunya adalah khayalan Negara Islam yang karena sangat massif sekali, sehingga hal ini seringnya melalaikan umat Islam dari tugas yang lebih wajib, yakni mengajarkan Tauhid Islam dengan benar, sehingga umat islam benar-benar memahami agamanya secara komprehensif. Dalam pandangan Al-Qur’an, kemunculan masyarakat dengan berbagai tata tertibnya yang bersifat Islami, merupakan sebuah janji yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia. Memunculkan masyarakat yang Islami, bukanlah sebuah tuntutan dan kewajiban, tetapi yang wajib adalah menumbuhkan manusia-manusia yang mempunyai fikroh yang Islami, maka dengan sendirinya akan terbentuk sebuah masyarakat yang Islami pula. Begitu juga Negara islam, bukanlah merupakan sebuah kewajiban agama. Akan tetapi itu merupakan janji yang diberikan oleh Allah kepada sekelompok manusia yang maindsetnya sudah Islami. Nah, dakwah untuk lebih mengembalikan posisi manusia sebagai manusia sejatinya inilah yang menjadi kewajiban bagi setiap orang Islam”.
“Kalau demikian, berarti apa yang selama ini dilakukan oleh orang-orang Islam yang berkoar-koar mengangkat sepanduk Negara Islam adalah salah tuan guru?”
“Ya dalam pandanganku itu salah. Karena gerakan yang demikian adalah sebuah tindakan yang terbalik. Secara nalar saja, dalam alam raya modern yang mendewa-dewakan demokrasi sekarang ini, konsep dakwah untuk menuntun manusia menjadi manusia yang Islami sangatlah bisa kita rasakan. Saat setiap masing-masing manusia menjadi Islami, maka secara otomatis mereka pun tidak akan memilih pemimpin kecuali dengan kreteria-kreteria yang Islami pula. Kalaupun yang dicalonkan tidak sesuai dengan kreteria-kreteria ilmu yang mereka ketahui selama ini, niscaya mereka akan memilih yang terbaik diantara yang terjelek”.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang tuan guru”
Sambil berjalan, beliau berkata: “Ajaklah manusia untuk menjadi manusia seutuhnya dengan Tauhid Peradaban”. Tiba-tiba beliau menghilang dari hadapanku dan pergi [].


[1] Surat hud. Ayat ke-61.
[2] Surat al-baqoroh ayat ke-30.
[3] Surat an-nahl ayat ke-4.
[4] Surat al-insan ayat ke-2.
[5] Surat al-qoshosh ayat ke-4.
[6] Surat as-syu’aro’ ayat ke-44.
[7] Surat thaha ayat ke-71. Disebutkan juga dalam surat as-syu’aro ayat ke-49.
[8] Surat thaha ayat ke-72.
[9] Surat al-hadid ayat ke-20.
[10] Surat al-hadid ayat ke-20.
[11] Kata Rijalu-L-Hadhoroh merupakan sebuah istilah yang bias gender. Walaupun kata “Rijal” sendiri sebenarnya merupakan bentuk plural dari kata “Rajul” yang  mempunyai kesan lebih berpihak kepada kaum lelaki. Namun ternyata beberapa redaksi teks Al-Qur’an maupun As-Sunnah memberikan gambaran kepada kita bahwa kata “Rijal”/ “Rajul” bukanlah kata yang terkhusus bagi kaum lelaki saja. Semisal ayat ke-46 dari surat al-a’rof yang berbunyi: “Wa ‘Alal A’rofi Rijal”. Seorang pakar tafsir, Muhammad Thohir Ibnu ‘Asyur, menjelaskan bahwa penyebutkan kata “Rijal” tidak berarti menunjukkan bahwa Ahlul A’rof hanyalah para lelaki saja, karena penyebutan “Rijal” hanyalah untuk Taghlib (umumnya saja) saja. Disamping juga ada riwayat yang menjelaskan bahwa ada sebagian kaum perempuan yang masuk dalam kreteria Ahlul A’rof.  Sedang dalam As-Sunnah kita sering diingatkan oleh sebuah hadis dalam Shohih Bukhori yang menyatakan: “La Hasada Illa Fis Natain. Rajulun Atahullahu Maalan Fa Sullitho ‘Ala Halkatihi. Wa Rajulun Atahullahul Hikmata Fahuwa Yaqdhi Biha”. Kata “Rajul” yang terulang sebanyak 2 kali dalam hadis tersebut tentunya tidaklah terkhusus bagi kaum lelaki saja, karena tentunya wanita-wanita seperti Sayyidah Khodijah sebagai saudagar kaya yang mewakafkan seluruh hartanya guna dakwah islam masuk dalam kategori hadis di atas.  Begitu juga wanita seperti Sayyidah ‘Aisyah dan Sayyidah Fatimah yang  sangat mumpuni dalam bidang keilmuan pun tentunya masuk dalam kategori bagian hadis yang kedua. Walhasil, lebih tepatnya jika kata “Rijal” atau “Rajul” dimaknai dengan para ‘pendakar’ yang memang mumpuni dalam bidangnya masing-masing, tanpa ada dikotomi gender. Wallahu A’lam.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger