Advertise 728x90

Kiai pemangku masjid

Written By Unknown on Monday, December 1, 2014 | 8:44 PM




“Bintang…Ummi nggak setuju pokoknya kalau kamu seneng sama Badrun”, terang Ummi.
       “Memangnya kenapa Mi? Kak Badrun juga santri, ngajinya juga pinter, bahkan banyak teman-temannya yang bilang dia sering mendapatkan prestasi waktu di Pondok dulu”, sanggah Bintan.
            “Memang dia santri…memang dia pinter ngajinya, tetapi dia tidak Kufu dengan kita. Bagaimanapun ayahmu adalah seorang Kiai pemangku sebuah masjid agung di desa kita ini. Disamping itu, beliau adalah seorang Mudir madrasah diniyah terbesar di kecamatan  Sayung ini. Sedang Badrun, dia hanyalah anak seorang tukang becak yang tidak jelas asal usul keturunannya. Yang jelas dia tidak se-Kufu denganmu Bintan”
            “Tapi Ummi…”
            “Tidak ada tapi-tapian…pokoknya Ummi tidak setuju. Titik”
          Tak terasa bulir-bulir air bening nan hangat mulai merembes membasahi kedua mata indah gadis cantik itu. Dialah Bintan Nailur Rohma, seorang gadis desa yang ayu tanpa polesan. Cantik tanpa manik-manik. Kecantikan batinnya tidak kalah dengan kecantikan lahiriyahnya. Dan itu tidak aneh, karena memang ia adalah putri semata wayang seorang Kiai pemangku masjid dan madrasah yang sangat terkenal di desa Kalisari, bahkan satu kecamatan Sayung pun mengenal ayahandanya ini. Siapa sih yang tidak mengenal Kiai Haji Amanullah Sajjad? Seorang Kiai sepuh dengan ke-aliman yang tidak perlu diragukan lagi. Kedudukannya sebagai imam dan guru besar masjid Nurul Hasanain semakin mengukuhkan kealimannya, disamping juga ada beberapa puluh santri putri yang menetap dibilik-bilik pesantren kecil yang baru saja dibangun oleh beliau di belakang rumahnya. Dan Bintan tentunya hidup dalam lingkungan santri yang sangat kental.
         Bintan adalah seorang gadis yang cerdas lagi penurut. Kecerdasannya terbukti dengan keberhasilannya menghapalkan Al-Qur’an sebanyak 30 juz yang hanya ditempuh dalam waktu kurang lebih 1,5 tahun saja di pesantren Betengan, Demak. Kecerdasannya ini semakin melengkapi kecantikan fisiknya yang selama ini banyak menjadi buah bibir dikampung halamannya. Ia merupakan gadis yang penurut, ia tidak pernah menolak perintah orang tuanya, apalagi membantahnya. Karena memang kedua orang tuanya mendidik anak gadis satu-satunya ini dengan akhlak islami yang indah dan menyejukkan hati. Karenanya tak heran jika ia menjadi anak yang keinginannya selalu dituruti oleh kedua orang tuanya.
         Banyak para Kiai maupun para Aghniya’[1] di desa kalisari yang sudah mengutarakan niatnya untuk meminang Bintan untuk putra-putra mereka. Bagi para kiai, tentunya mereka ingin menjalin hubungan shilaturrahim dengan keluarga kiai sepuh yang terkenal alim tersebut, disamping tentunya mereka mengharap keberkahan pada pernikahan ini. Sedang para Aghniya’ pun tidak mau kalah, karena setelah mendapatkan kenikmatan harta yang melimpah, mereka juga ingin menjadi orang yang terpandang di desanya, salah satunya adalah dengan berbesanan dengan salah satu tokoh masyarakat. Namun, Kiai Aman—begitulah panggilan akrab KH. Amanullah Sajjad—selalu saja mengatakan bahwa putrinya masih terlampau kecil, biarlah dia menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu.
            Benarkah Bintan—putri Kiai Aman—masih kecil? Sebenarnya tidak juga, karena umur Bintan sudah 19 tahun. Dan itu sangat layak sekali untuk menikah. Lalu kenapa Kiai Aman mengatakan demikian? Itu tak lain tak bukan adalah siasat penolakan secara halus dari seorang Kiai yang sangat mengerti Toto Kromo dan Andab Ashor[2]. Sebenarnya Kiai Aman sudah menginginkan sekali kalau putri semata wayangnya ini segera menikah, tapi beliau sendiri belum menemukan sosok suami yang pas buat putrinya itu. Bagaimana dengan Badrun? Sebetulnya Kiai Aman cocok dengan Badrun, hanya saja setelah beliau mendengar omelan istrinya pada putrinya tadi, beliau pun hanya diam saja. Tidak mampu  berkata apa-apa.
********
Bentakan Umminya barusan bagaikan petir di siang bolong yang menyambar setiap persendian tubuh indah Bintan. Kemelut mendung yang gelap menyelemuti hatinya yang sedang galau di pagi itu tak juga kunjung menyingkap. Keceriaan burung-burung yang bernyanyi dengan riang dan melompat dari satu dahan ke dahan pohon yang lain pun  tidak bisa menghibur hatinya yang sedang sedih.
“Kenapa Ummi memarahiku sampai demikian? Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Masak Cuma ngobrol sebentar ama Kak Badrun saja langsung dimarahi”, begitulah pikir Bintan.
Ya, hanya seonggok bantal gulinglah yang akhirnya menemani tangisnya di pagi hari yang sejuk itu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu di ketuk dari luar: “tok…tok…Assalamualaikum Bintan”.
“Waalaikum Salam…masuk saja! Pintu tidak ku kunci”, perintahnya.
Cklek…pintu dibuka, lalu masuklah seorang gadis dengan dandanan ala santri yang anggun nan menawan. Balutan baju berwarna putih dengan pernak pernik hiasan gambar bunga mawar dan stelan kerudung ungu kemarah-merahan semakin menambah keanggunan gadis tersebut, yang ternyata adalah Husna, teman Bintan di pondok Betengan dulu yang kebetulan rumahnya satu desa dengannya.
“Ooo…kamu Na. kok tumben kamu main ke sini Na. ada apakah gerangan?”, sapa Bintan sambil mengusap bekas-bekas air mata yang tadi mengaliri kedua pipinya yang merah merona.
“Ya masak nggak boleh kangen sama Ning[3] Bintan ini…loh ning, ada apa kok kelihatan sembab matanya? Habis nangis yaa…?”, selidik Husna sambil mesam mesem.
“Enggak kok…nggak apa-apa, tadi Cuma kelilipan debu saja”
“Ah…aku nggak percaya. Pasti gara-gara Kak Badrun ini. Hayo ngaku saja…! Nggak usah malu-malu sama aku”,
“Ehmmm…aku bingung Na”
“Bingung kenapa?”
“Tadi Ummi memarahiku habis-habisan. Dikiranya aku pacaran sama Kak Badrun, padahal aku nggak pacaran. Dan Ummi tidak setuju. Katanya nggak kufu lah…dia anak tukang becak lah. Padahal Kak Badrun itu santri yang mumpuni lho…”
“Mumpuni sih mumpuni Tan…Alim sih alim Tan. Tapi ya gitu, kamu tahu sendiri kan. Dia sekarang ini hanya seorang tukang becak. Setelah bapaknya Kak Badrun meninggal, dia menggantikan posisi bapaknya menjadi tukang becak juga. Biasanya dia  mencari pelanggan disekitar pasar Nggenuk sana. Aku kira kok bener tuh apa kata Ummimu”
“Tapi cinta kan tidak mengenal materi Na. dalam ajaran kitab kuning yang kita pelajari selama ini pun, materi tidaklah menjadi pertimbangan utama kan”
“Ah itu kan hanya teori…kenyataannya?”
Bintan hanya terdiam memandangi wajah Husna yang duduk di depannya. Memang sebagai seorang gadis yang sedari kecil hidup di pesantren dan tidak pernah berkumpul dengan kerasnya kehidupan diluar bilik-bilik pesantren, Bintan bisa dikatakan kurang pengalaman dengan dunia luar, bahkan bisa dikatakan ia sama sekali tidak punya pengalaman tentang dunia di luar dinding pesantren.
“Tan…banyak tetanggaku yang bercerai setelah menikah selama dua tahun atau lebih. Dulu-dulunya mereka mendewa-dewakan cinta seperti dirimu. Tapi pada akhirnya, materi pun yang berbicara. Kebanyakan perceraian mereka ya karena minimnya materi yang menunjang hidup mereka”
Bintan pun terdiam kembali saat mendengar masukan teman sepondoknya tadi. Diambilnya nafas dalam-dalam, lalu dikeluarkan lagi.
“Benar juga apa yang dikatakan Husna—gumamnya dalam hati. Tapi, bukankah banyak juga artis yang kawin cerai-kawin cerai? Padahal materi yang mereka miliki bisa dikatakan lebih dari cukup”, sekali lagi dia mendesah.
“Tan…mendingan kamu sama Gus Amiq putra Kiai Ubaidillah itu saja. Jelas-jelas secara nasab dia lebih unggul dari Kak Badrun. Dan secara keilmuan pun, Gus Amiq tentunya juga lebih unggul, Dia itu S1 dari universitas Karachi, Pakistan lo. Disamping dia juga ganteng dan ayahnya seorang Kiai plus saudagar kaya di desa kita ini”
“Ah ada-ada saja kau ini Husna..”
“Atau kalau nggak ya itu sama Kak Iqbal saja. Putra tunggal Dokter Kamil yang kaya raya itu. Sebentar lagi Kak Iqbal juga akan di wisuda menjadi dokter kok. Dan kalau kamu menikah dengannya, kamu nggak usah susah-susah mikir kalau sakit. Tinggal di suntik selesai deh…hehehe”, diiringi tawa riang Husna.
Mendengar gurauan dan ledekan Husna tersebut, Bintan jadi ikut tersenyum ria. Kedatangan temannya ini sedikit mengobati rasa dongkol yang bersarang dihatinya karena di marahi ibunya tadi. Sedikit demi sedikit rona-rona kesedihan mulai memudar dari wajah ayu Bintan. Mereka berdua ngobrol nglantur kesana kemari sepanjang pagi itu, hingga tak di duga-duga, Adzan Dhuhur sudah berkumandang dari corong menara masjid di samping rumah Bintan. Pertanda mereka harus bergegas menuju ke masjid dan menghentikan gurauannya di pagi itu.




[1] Orang-orang yang kaya raya.
[2] Budi pekerti dan sopan santun.
[3] Panggilan kehormatan yang khusus untuk putri seorang Kiai. Sedang Gus adalah panggilan kehormatan yang khusus untuk putra Kiai.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger