Bila
mendengar kata tasawuf seketika yang terbayangkan dibenak penulis
adalah sederet nama para Auliya’ Allah, mulai dari Ibnu Athoillah
As-Sakandari, Syekh Abul Hasan As-Syadzili, Syekh Ahmad Ar-Rifa’I,
Al-Imam Al-Ghozali dan masih banyak lagi nama-nama lain yang merupakan
tokoh-tokoh tasawuf yang kita miliki. Disamping itu, penulis juga
teringat akan beberapa judul buku yang mengupas tentang tasawuf, mulai
dari yang Turots seperti Ihya’nya Al-Imam Al-Ghozali, Hikamnya Ibnu
Athoillah dan risalahnya Al-Qusyairi, ataupun yang terbaru, seperti
Syarh (kupasan) Hikam yang ditulis Dr. Said Romadlon Al-Buthi dan
beberapa buku kecil karya beliau yang membahas tentang tasawuf.
Jika
menelaah beberapa literatur yang membahas tentang tasawuf, yang
sebagian telah penulis sebut diatas, maka akan banyak kita temukan
definisi tentang tasawuf yang biasanya adalah merupakan ungkapan dari
para pelaku taSAWuf itu sendiri. Hal ini terjadi karena memang tasawuf
adalah thoriqohnya Arbab Al-Ahwal yakni thoriqohnya orang-orang yang
berjalan menuju kepada Allah SWT (Salik), bukan thoriqohnya Ahl Al-Aqwal
(orang yang menitik beratkan sesuatu pada ucapan). Dan para Salikin
dalam melakukan aktifitas kesufiannya tidak hanya mendasarkan pada
dalil-dalil yang tertulis (Naqliyyah) ataupun dalil-dalil yang rasional
(Aqliyyah) saja, akan tetapi juga dalil yang berupa intuisi (Dzauq) .
Sedang antara Dzauq satu orang dan yang lain tentunya berbeda-beda,
inilah salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam pendefinisian
tasawuf diatas .
Kesulitan dalam memahami tasawuf seperti
diatas tidak hanya terjadi pada pemaknaan tasawuf secara definitif, akan
tetapi hal itu juga terjadi pada asal muasal kata tasawuf sendiri.
Karena para Ulama yang mengkaji tentang tasawuf sendiri ada yang
berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa arab, ada pula yang
berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa ‘Ajam (bahasa selain
bahasa arab). Sedang ulama yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal
dari bahasa arab pun juga berbeda pendapat, apakah Tasawuf adalah kata
yang Musytaq (ada kata dasarnya) atau tidak? Dan yang mengatakan bahwa
kata Tasawuf adalah kata yang Musytaq pun berbeda pendapat tentang kata
dasar dari kata Tasawuf itu sendiri yang jika kita perhatikan, ternyata
kita akan menemukan betapa banyak akar kata Tasawuf yang ditawarkan oleh
para ulama .
Ya sudahlah, kita tidak usah terlalu pusing
tentang hal-hal diatas. Karena pada dasarnya, tasawuf merupakan
implementasi dari Al-Ihsan, yang disebutkan dalam sebuah hadis riwayat
Sayyidina Umar RA, dan Tazkiyyah An-Nafs yang telah disebutkan dalam
Al-Qur’an Al-Karim .
Dalam hadis diatas Rosulullah SAW
menempatkan Al-Ihsan pada posisi terakhir, yakni setelah Al-Iman dan
Al-Islam. Hal ini memberi pengetian bagi kita, bahwa derajat Al-Ihsan,
yang bisa juga disebut dengan tasawuf, dapat dicapai oleh seseorang jika
ia telah beriman dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan islam secara
sempurna. Karena Al-Ihsan merupakan perwujudan dari kuatnya Tauhid dalam
hati seseorang. Sedang hakekat dari Tauhid, sebagaimana dikatakan oleh
Al-Ghozali, adalah jika seorang hamba melihat dan meyakini bahwa segala
sesuatu yang di alam semesta ini dari Allah SWT . Buah dari tauhid
tersebut adalah Al-Ihsan yang berarti penyembahan seseorang terhadap
Allah sekan-akan ia melihat Allah SAW atau ia dilihat oleh Allah SWT.
Jadi, kesungguhan iman dan kesempurnaan islam seseorang merupakan syarat
mutlak bagi seseorang yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau
tasawuf.
Termasuk hal yang wajib diimani oleh umat islam,
lebih-lebih mereka yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau paling
tidak ingin menjadi seorang sufi, adalah Qadla dan Qadar, sebagaimana
hal itu bisa kita lihat pada hadis riwayat sayyidina umar diatas. Akan
tetapi banyak dari kalangan umat islam sendiri yang tidak beriman pada
Qadla dan Qadar, bahkan sekarang ini hal itu muncul dari sebagian orang
yang memposisikan dirinya sebagai seorang sufi. Mereka pun beranggapan
bahwa percaya pada Qadla dan Qadar adalah biang dari kemunduran umat
Islam saat ini, jika umat islam ingin maju maka mereka harus
menanggalkan keimanan mereka terhadap Qadla dan Qadar. Benarkah
statement tersebut? Atau malah sebaliknya yang benar? Dalam tulisan
singkat ini penulis akan berusaha untuk mengurai benang kusut seputar
Qadla dan Qadar.
Seputar Qadla Dan Qadar.
Sebelum
kita membahas lebih jauh, maka kita jawab dulu pertanyaan, Apa itu Qadla
dan Qadar? Qadla adalah ilmu atau ketetapan Allah SWT berkenaan dengan
seluruh makhluk-Nya, yang telah ditetapkan-Nya pada azal (sesuatu yang
tak bermula), yang diantaranya adalah ketetapan Allah SWT berkenaan
dengan semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan yang
Ikhtiyari (dari kehendak manusia sendiri) ataupun tidak. Adapun Qadar
adalah terjadinya penciptaan sesuai dengan keputusan yang ditetapkan
oleh Allah sebelumnya (Qadla). Dengan demikian, berarti Qadar merupakan
implementasi dari Qadla.
Setelah mengetahui definisi Qadla
dan Qadar sebagaimana diatas, maka yang muncul dibenak penulis
selanjutnya adalah sebuah pertanyaan baru, apa korelasi antara iman
terhadap qadla dan qadar dan kemunduran yang dialami umat saat ini? Jika
kita cermati dengan sungguh-sungguh, sebenarnya tidak ada korelasi sama
sekali antara iman kepada qadla dan qadar dengan kemunduran umat islam
saat ini, Bahkan keduanya pada ujung yang berbeda. Karena iman terhadap
qadla dan qadar adalah bagian dari keyakinan kita terhadap Dzat dan
sifat-sifat Allah SWT, sedang segala perbuatan dan tingkah laku manusia
merupakan bentuk ketundukannya terhadap perintah dan larangan Allah SWT.
Untuk membuktikan hal diatas coba saja kita perhatikan beberapa hal dibawah ini:
a.
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk Imarah
Al-Ardl (membangun, memberdayakan, mengolah dan mengembangkan potensi
yang ada di bumi), baik secara materi ataupun peradaban. Hal tersebut
bisa kita baca pada Q.S. Al-Hud: 6:
“Dia Telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya ”.
Allah juga menyuruh agar
kita memperhatikan bumi yang telah Dia jadikan “pelayan” bagi kita,
untuk kemudian kita bisa menggali dan mengeluarkan semua potensi yang
terkandung didalamnya. Coba kita perhatikan Q.S. Al-Mulk: 15:
“Dialah
yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan ”.
Dan masih banyak
lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan perintah Allah SWT yang
senada dengan perintah-perintah di atas. Yang sekarang perlu kita
renungkan, apakah mungkin setelah Allah SWT memerintahkan kita untuk
mengolah dan mengembangkan potensi bumi yang kita huni ini, lalu setelah
itu Dia pun juga memerintahkan kita agar bermalas-malasan, dengan dalih
bahwa konsekuensi dari iman terhadap qadla dan qadar adalah
bermalas-malasan? Bukankah arti Taskhir Al-Ard (menjadikan bumi sebagai
“pelayan” manusia) yang terdapat pada firman Allah Q.S. luqman: 20:
“
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk
(kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan ”.
adalah dengan
mengerahkan semua daya dan upaya yang kita miliki? Atau malah
sebaliknya, yakni dengan santai-santai, tidur-tiduran dan
bermalas-malas? Tentu kita sudah tahu jawaban dari pertanyaan di atas.
b.
Kalau kita membaca Sirah atau perjalanan hidup dan perjuangan para
As-Salaf As-Sholih, seperti para sahabat Nabi Muhammad SAW, Tabi’in dan
Tabi’ At-Tabi’in, maka kita akan melihat bahwa mereka hidup dalam
kesejahteraan baik secara lahiriah maupun bathiniah, dan hal itu tidak
bisa dipungkiri oleh siapapun kecuali orang-orang yang memang tidak bisa
melihat terangnya sinar matahari di siang bolong. Para sahabat adalah
orang-orang yang paling sah untuk kita jadikan tauladan dalam berbagai
aspek kehidupan, mereka telah berhasil merajut kebangkitan ilmiah,
budaya, ekonomi, militer dan banyak yang lainnya, padahal sebelumnya
mereka hanya bangsa Arab yang Ummi, hidup di padang pasir yang gersang
dan tidak punya nilai di hadapan bangsa-bangsa lain. Yang mengganjal
di benak penulis sekarang adalah sebuah pertanyaan besar, apakah
kesejahteraan yang diperoleh oleh para para sahabat itu adalah merupakan
hasil dari tidak iman mereka terhadap qadla dan qadar? Tentunya, bagi
orang-orang yang menganggap iman terhadap qadla dan qadar sebagai biang
dari kemunduran dan kekalahan umat islam saat ini harus menjawab “iya”
pertanyaan penulis di atas. Karena hal itu adalah konsekuensi secara
logis dari keyakinan mereka. Akan tetapi hal itu terbantahkan oleh
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam buku shohihnya.
Alkisah, ketika Ma’bad Al-Juhani, orang pertama yang menafikan adanya
qadar Allah, muncul di kota Bashrah dan ketika itu ada dua orang yang sedang
melaksanakan ibadah haji sowan kepada sahabat Nabi, Adullah bin Umar RA
untuk menanyakan perihal Ma’bad Al-Juhani tersebut. Lalu jawaban Ibnu
umar adalah:
“ jika engkau bertemu dengan mereka maka kabarkanlah bahwa
aku lepas dari apa yang mereka yakini dan mereka juga terlepas dari apa
yang aku yakini, andaikan salah satu dari mereka memiliki emas sebesar
gunung uhud dan kemudian mereka infaqkan niscaya allah tidak akan
menerima amal mereka tersebut selagi mereka tidak beriman terhadap qadar
”.
Kemudian beliau menyitir hadis riwayat sayyidina umar tentang iman,
islam, dan ihsan diatas. Ungkapan sahabat Ibnu Umar di atas memberi
ketegasan kepada kita bahwa para sahabat pun beriman terhadap qadla dan
qadar, dan serta merta juga membantah logika bahwa kemajuan yang mereka
peroleh di dorong oleh sebuah pengingkaran terhadap qadla dan qadar.
Dari
dua poin yang sudah penulis sebutkan di atas, tentu sekarang kita bisa
yakin bahwa kemunduran umat Islam saat ini bukan di sebabkan keimanan
mereka terhadap qadla dan qadar. Bahkan malah sebaliknya, keimanan
mereka terhadap qadla dan qadarlah yang mendorong mereka untuk menjadi
bangsa yang berperadaban tinggi. Bagaimana logikanya? Jika sebuah bangsa
telah mempunyai iman yang kuat terhadap Allah SWT, dan bahkan iman
tersebut tidak hanya sebatas Taqlid tapi sudah mencapai taraf cinta,
mengagungkan, memuliakan, hanya bergantung pada Allah SWT saja dan
meyakini seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah lah yang memberikan segala
kekuatan yang ada, maka ia akan bertambah tunduk setunduk-tunduknya
terhadap semua perintah-perintah Allah SWT. Dan termasuk dari perintah
Allah SWT adalah agar manusia membangun dan memberdayakan bumi dan
segala isinya sesuai dengan amanat yang telah Allah bebankan kepada kita
sebagai Kholifah.
Coba saja perhatikan sebegitu banyak
makam para sahabat yang tersebar dimana-mana, kira-kira apa yang
mendorong mereka untuk melakukan perjalanan begitu jauh bahkan sampai
bermil-mil dalam rangka Jihad Fi Sabilillah dan menyebarkan agama Islam?
padahal waktu itu belum ada pesawat terbang, kereta api, mobil dan alat
tranportasi yang lain. Tidak lain semua itu adalah karena kuatnya iman
dalam hati mereka yang membuahkan ketundukan total seorang hamba
dihadapan Rabb-nya. Andai yang mereka jadikan pijakan adalah kekuatan
mereka sendiri, tentu islam tidak akan tersebar sebegitu luasnya, karena
logika manusia tidak akan bisa mencerna dan menerima. Bayangkan saja,
tiga ribu pasukan perang umat islam melawan seratus lima puluh ribu
pasukan romawi, tapi apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Rowahah selaku
panglima perang ” wahai kaumku, sebenarnya sesuatu yang kalian benci
adalah sesuatu yang kalian keluar perang karenanya pula. Kalian keluar
karena mencari syahadah, jadi kita tidak berperang dengan kekuatan penuh
ataupun dengan peralatan yang banyak dan lengkap, akan tetapi kita
dengan agama yang Allah telah memuliakan kita dengan agama tersebut,
yakni Islam. Sungguh yang kita cari adalah salah satu dari dua kebaikan;
kemenangan atau mati syahid ”.
Iman sebuah bangsa
terhadap qadla dan qadar akan mengangkat mereka dari jurang kehinaan,
keimanan tersebut mendidik mereka menjadi orang yang mulia, kuat dan
percaya diri karena selalu menyandarkan semua langkahnya hanya pada
Allah SWT semata, tidak yang lain. Disinilah akan benar-benar
terealisasi sabda baginda Nabi Muhammad SAW:” orang mu’min yang kuat itu
lebih baik dan dicintai allah dari pada yang lemah, akan tetapi
keduanya baik semuanya ”.
Walhasil, Jika kita ingin maju dan
menjadi pemimpin dunia, maka marilah kita berkaca dan meneladani
As-Salaf As-Sholih, bagaimana mereka bisa mencapai kemuliaan tersebut,
bukankah begitu?
Oleh: KH. Muhammad Wafi Maemon.
0 komentar