Advertise 728x90

Memaknai Sang Mujaddid

Written By Unknown on Sunday, December 15, 2013 | 9:27 AM

Sampai di lokasi nada nada tentang NU telah dilantunkan dengan santai namun meriah, salah satu bait yang saya hafal ada kalimat "Mbah Maimoen Gurune Wong NU"

Membicarakan Mbah Maimoen ibarat bercerita tentang samudera atau angkasa dengan segala kabar baru yang membuat kita terpana.

Tiba tiba dalam usia sepuhnya (86 tahun) beliau satu panggung dengan Habib Syaikh, sekali lagi mata ini memandang wajah tua itu penuh misteri, dada saya berkecamuk, otak saya berhenti beraksi, kenapa dan ada apa ini? jawaban dan bisikan bantahan saling mengganti ruang tanya dalam hati saya, dan akhirnya menyumbat begitu saja, kebingungan.

Shufi tua itu sekali kali mengangguk anggukkan kepalanya, sekali kali tangannya mengetuk ngetuk pelan mengiringi rebana, dan sekali kali mengangkat wajah dan suaranya mengikuti lantunan syair vokalis agung Habib Syaikh.

Kemudian Ulama tua itu menundukkan kepala, tepekur, dan ketika mengangkat kepalanya kembali, air matanya mengalir membanjiri wajah keriputnya.

Ketika saya menyadari Taqdir Allah memberi kesempatan padaku berada persis di depan Khadlrotus Syaikh Najih Maimoen, bagaikan berada dalam muara sungai yang mempertemukan air dingin dan panas, energi yang tercipta sungguh melumpuhkan kerja otak saya, semula saya berjongkok diantara dengung sholawat itu, namun tiba tiba gelisah wajah Gus Najih memaksa saya berdiri, terus berdiri dan berdiri tertopang lutut yang gemetar.

Saya pun lebih sering memandang Gus Najih yang lebih banyak menunduk, hanya sekali kali memandang layar monitor yang di sana wajah bahagia Habib Syaikh dan Abahnya sedang membagi energi.

Di sana kutemukan Wajah Roja' Mbah Maimoen mempesona, di sini saya menyelam pada wajah khouf Gus Najih menahan siksa.

Mahallul Qiyam........
Mbah Maimoen dengan dipapah bangkit berdiri, dengan semangat luar biasa, beliu melepaskan papahannya, seakan beliau ingin menyambut Nur Muhammad itu dengan segenap kekuatannya, bibirnya bergerak, wajahnya dipaksa tegak ikut melantunkan puji pujian untuk kekasinya.

Kembali saya dibuat gila, kali ini seluruh otot dalam tubuhku benar benar melumpuh, saya buang tubuhku bersandar di pagar tembok, dada saya benar benar penuh, ingin saya menangis, tetapi mata ini terlalu panas untuk sekedar meneteskan air mata.

Lagu Indonesia Raya dilantunkan bersama, gemuruh juang habib Syaikh mengguntur membahanakan suasana, memaksakan para hadirin ikut mengiringinya dengan tanpa malu.

Mbah Maimoen si Shufi tua masih tetap berdiri bercanggah tongkat ikut meneriakkan nyanyian Indonesia Raya, gemetar tubuhnya tak kuasa menahan berkumpulnya semangat dan linangan air matanya.

Saya yang tak kuasa mengucapkan sepatah katapun memandang wajah Mbah Maimoen yang tiba tiba kembali muda, tenaga saya seolah olah telah berpindah ke sana, melemas lunglai dan masih tetap semampir di pagar tembok ini.

Tiba tiba selintas membayang para wajah pejabat bangsat yang sedang bersujud di depan pahlawan bangsa itu, namun tiada ampun, pedang panglima itu menebas leher leher mereka, darahnya sebagian muncrat ke wakah Mbah Maimoen dan Habib Syaikh, mereka berdua semakin gagah dan tampan bersolek darah, sedangkan darah yang mengalir itu menenggelamkan mayatnya dalam neraka.


by: Zainal Wong Wongan.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger