Seorang Ibu yang bertahan dalam kemiskinan, ibu yang selalu berpuasa demi masa depan anak yang saat itu baru dikandungnya.
Hari itu beliau mencuci beras di sungai, entah karena lemah badannya yang gemetar menahan lapar, sehingga beras itu tumpah, atau karena tak sengaja tersenggol beliau yang sibuk mencuci pakaian.
Subhanallah bukan lagi berwujud beras, tetapi emas berkelipan itu sangat mengagetkan, namun hati yany senantiasa sadar akan keberadaan Allah itu segera menarik kesimpulan, bahwa dirinya sedang mengalami ujian, serta merta beliau menangis memohon ampun, bibir pucatnya berucap perlahan, hatinya bergetar, Wahai Tuhanku bukan ini yang aku pinta, emas ini bagiku bukanlah harapan, hamba hanya memohon kepadaMu jadikanlah janin dalam kandunganku ini lahir menjadi Ulama, jadikanlah ia kekasihMu dan panutan.
Mbah Denok itu adalah Ibu Mbah Abdus Syakur, seorang Ulama kuno yang mumpuni disegala bidang keilmuan.
Selanjutnya Mbah Syakur menurunkan dua orang putera dari janda Kyai Abdul Aziz yaitu Mbah Abul Fadlol senori dan Mbah Abul Khoir suwedang.
Keduanya adalah Ulama besar, Mbah Abul Fadlol terkenal sesudah wafatnya dengan berbagai kitab karangan yang menembus dunia pesantren Timur Tengah, sedangkan Mbah Abul Khoir lebih menonjol dalam bidang Tashowwuf dan Ulama Fiqih yang sangat kuat memegang priinsip di ujung zaman.
Mbah Abul Fadlol pada masa remajanya berguru kepada Mbah Hasyim Asy'ari Tebu ireng. Jangan ditanya soal apa yang telah beliau kuasai, karena semenjak kecil beliau telah suka melantunkan sya,i sya,ir yang terdapat di dalam kitab Ihya dengan hanya mendengar saja dari pengajian bapaknya.
Mbah Abul Fadlol tidak hanya mumpuni dalam bidang Ilmu Agama saja, tetapi entah dari mana ilmu itu beliau dapat, dizaman radio masih langka, beliau telah mampu membuat radio amatir, tentang ilmu kimia juga begitu, dengan caranya sendiri, beliau mampu membuat minyak wangi yang baunya tidak seperti bau minyak wangi pada umumnya, bahkan beliau telah mampu membuat syrup obat batuk yang konon sangat mujarab.
Beliau juga menguasai bahasa mandarin, konon beliau pernah bekerja di semarang sebagai kuli membuat jalan.
Beliau memang tidak pernah menyukai kekayaan, setiap kerja yang dirintis laris, tiba tiba beliau tinggalkan begitu saja, dari mulai menjadi penjual tembakau, polangan, jual kain dan pekerjaan terakhirnya adalah sebagai reparasi radio dan jam tangan.
Jiwa Nasionalisme yang tinggi beliau warisi dari gurunya, yaitu Mbah Hasyim, pada setiap upacara 17 Agustus di kecamatan, beliau sempatkan dirinya pakai celana, sepatu dan ikut upacar di lapangan.
Dan juga jangan tanya organisasi apa yang beliau ikuti dan istiqomahkan, NU adalah kebanggaan beliau sampai beliau diwafatkan.
Sumber cerita dari menantunya Mbah Abul Fadlol sendiri, yaitu Kyai Minanurraohman.
by: Zainal Wong Wongan.
0 komentar