Salah satu murid dari Imam Ahmad bin Hanbal yang benar-benar mendapatkan predikat santri sejati adalah Imam Al-Hafidz Abu Abdirrahman Baqi Bin Makhlad Al-Andalusy. Beliau lahir pada tahun 201 H dan wafat pada tahun 272 H. Beliau adalah salah satu ulama yang sering melakukan Rihlah atau perjalanan jauh guna mendapatkan ilmu. Ketika menginjak umur 20 tahun, beliau melakukan Rihlah menuju ke kota Baghdad dengan berjalan kaki. Semua itu beliau lakukan hanya untuk belajar dan mengaji kepada Al-Imam ahmad Bin Hanbal.
Imam
Baqi berkisah tentang perjalanan beliau sendiri, untuk bisa bertemu dengan sang
guru idamannya, beliau berkata: “Saat aku sudah mendekati kota Baghdad, aku
mendengar sayup-sayup berita tentang inkuisisi atau Mihnah yang
sedang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Aku juga tahu bahwa beliau tidak boleh
memberikan pelajaran, disamping memang ada larangan berkumpul atau ngaji
kepada beliau. Saat mengetahui kabar tersebut, aku merasa sedih dan sangat
susah sekali. Kesedihan yang aku alami ini berlanjut hingga tidak ada pekerjaan
apapun yang aku lakukan saat aku meletakkan barang-barang bawaan dan bekal
dalam kamar yang sewaan di salah satu apartemen di baghdad. Akhirnya aku
memutuskan untuk pergi ke masjid, karena ingin ikut serta duduk di beberapa halaqah
yang banyak ditemukan dalam masjid-masjid Baghdad pada waktu itu, disamping
juga ingin mendengarkan masalah apa saja yang sedang didiskusikan dalam Halaqah
tersebut.
Di
sana aku tertarik untuk mengikuti sebuah Halaqah yang nampak besar dan
ramai. Ternyata disana terdapat seorang lelaki yang sedang berbicara dan
menyingkap tentang para rawi hadis. Satu waktu lelaki tersebut menyatakan bahwa
si A adalah orang yang lemah, sedang si B adalah orang yang kuat. Dia
mengatakan bahwa si C adalah orang Tsiqqah (terpercaya), sementara si D
adalah seorang pembohong. Lalu aku bertanya kepada orang yang ada didekatku:
“Siapakah lelaki ini?”, dia menjawab: “Dia adalah Yahya bin Ma’in”. Lalu aku
melihat ada sebuah tempat kosong disamping Yahya Bin Ma’in tadi, maka aku pun
mendekat untuk mengisi tempat tersebut. Setelah aku duduk disamping lelaki
tadi, maka aku memberanikan diri untuk bertanya: “wahai Abu Zakariya, aku ini
adalah seorang lelaki asing yang jauh dari kampung halamanku. Aku ke sini
hendak bertanya, jadi mohon jangan meremehkan aku”. Beliau berkata kepadaku:
“Katakanlah sekarang juga, apa pertanyaanmu?”. Maka aku pun menyampaikan
kepadanya beberapa dari pakar hadis yang pernah aku temui, sebagian dari mereka
di hukumi baik dan Tsiqqah, sedang yang lain lagi tidak.
Pada
akhir majlis tersebut, aku bertanya tentang Hisyam bin ‘Ammar, karena memang aku
banyak mengambil hadis dari beliau. Maka Yahya pun menjawab: “Abul Walid Hisyam
Bin Ammar, orang yang banyak melakukan shalat, beliau dari Damaskus dan seorang
yang Tsiqqah, bahkan melebihi Tsiqqah. Andaikan dibawah Rida’nya
terdapat kesombongan ataupun dia membawa kesombonga, niscaya hal itu tidak akan
membahayakan bagi ke-Tsiqqahan-nya karena kebaikan dan keutamannya.
Sebelum
aku bertanya lagi, orang-orang peserta Halaqah itu berteriak-teriak:
“Semoga kau dirahmati Allah, sudah cukup pertanyaan-pertanyaan yang kau
sampaikan, yang lain pun juga punya pertanyaan”. Lalu sambil berdiri aku
bertkata: “aku memintamu untuk menjelaskan padaku tentang Ahmad bin Hanbal?”.
Seketika Yahya bin Ma’in memandangku dengan terheran-heran. Lalu beliau berkata
kepadaku: “Layakkah orang sepertiku untuk menjelaskan tentang posisi Ahmad bin
Hanbal? Beliau adalah pemimpin muslim sejati, beliau adalah orang Islam paling
baik dan paling utama”.
Setelah
mendengar apa yang disampaikan oleh Yahya bin Ma’in, aku pun keluar dan meminta
ditunjukkan rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Maka ada seseorang yang dengan baik
menunjukkan kepadaku di manakah rumah Imam Ahmad, setelah sampai didepan pintu
rumah itu, aku pun mengetuk pintu rumah. Setelah menunggu sebentar, keluarlah
seorang lelaki yang dengan pandangan heran memperhatikan diriku, sebagai
seorang lelaki yang belum pernah beliau kenal sama sekali. Mengerti kalau aku
sedang diperhatikan, maka aku pun memberanikan diri untuk berkata: “Duhai Abu
Abdillah, aku adalah seorang lelaki asing yang jauh dari kampung halaman dan
ini adalah pertama kalinya aku masuk ke daerah ini. Aku adalah seorang pencari
ilmu hadis dan seorang pengumpul hadis. Aku melakukan
perjalanan ke sini hanya untuk bertemu denganmu”.
Beliau berkata
kepadaku: “Masuklah lewat jalan yang menuju ke dalam rumah, jangan sampai ada
yang melihatmu”.
“Dari manakah
asalmu?”. Tanya beliau. “Maroko”, jawabku.
“Oh, berarti kau berasal dari Afrika?”
“Bahkan lebih
jauh dari Afrika, karena untuk sampai ke afrika aku melewati melewati lautan
terlebih dahulu”.
“Jauh sekali
asalmu wahai anak muda. Insya Allah aku akan berusaha untuk membantumu, karena
membantu orang-orang sepertimu untuk mendapatkan apa yang dicari sangatlah
menjadikanku bahagia. Hanya saja, kondisiku sekarang adalah orang yang sedang
dicoba oleh Allah dengan sesuatu yang mungkin anda sendiri sudah tahu tentang
apa yang menimpaku”.
“Benar, aku
sudah mengetahui apa yang telah menimpa anda saat perjalananku sudah mulai
mendekati daerah ini. Wahai Abu Abdillah, aku disini adalah orang asing dan
tidak ada yang mengenaliku. Apakah mengijinkanku untuk datang kepadamu setiap
hari dengan memakai pakaian seorang pengemis, lalu saat sudah mendekati pintu,
aku akan mengucapkan kata-kata yang sering diucapkan oleh para pengemis,
kemudian anda keluar untuk menemuiku. Sungguh aku sudah merasa cukup andaikan setiap harinya anda hanya mengajariku satu
hadis saja”.
“Baiklah, tapi
dengan syarat kamu tidak boleh menghadiri Halaqah ataupun guru hadis
selain aku”.
“Baiklah, aku
terima syarat anda itu”
Setelah kejadian
itu, aku pun mulai menampakkan diriku sebagai seorang pengemis. Aku memegang tongkat
ditangan kananku dan menutup kepalaku dengan selendang. Alat-alat untuk mencatat
pelajaran aku sembunyikan dalam lengan bajuku yang besar—karena memang lengan
baju orang Arab pada waktu itu besar-besar—kemudian aku mendatangi rumah Imam Ahmad
dan berteriak: “maukah anda mendapatkan pahala wahai orang yang dirahmati Allah”.
Yah, kata-kata itulah yang sering diucapkan oleh para pengemis didaerah baghdad
pada waktu itu. Kemudian keluarlah Imam Ahmad dan membawaku masuk ke dalam
rumah, lalu mengunci pintu rumah. Nah, didalam rumah itulah beliau mengajariku
hadis-hadis baginda Nabi. Setiap harinya beliau bercerita kepadaku tentang satu,
dua atau bahkan lebih dari tiga hadis, hingga akhirnya terkumpulkan dalam
catatanku lebih dari 300 buah hadis Nabi.
Lama sekali aku
belajar kepada Imam Ahmad bin hanbal dengan model dan tata cara yang sedemikian
aneh itu. Hingga akhirnya meninggallah raja yang melakukan siksaan dan
inkuisisi terhadap Imam Ahmad. Dan ternyata yang menggantikan posisi dari raja
tersebut adalah raja yang berfaham Aswaja, sehingga bebaslah Imam Ahmad dari
tuduhan-tuduhan yang selama ini disematkan pada beliau. Mulailah imam ahmad di
kenal dimana-mana, bahkan beliau muncul sebagai orang yang dimuliakan oleh
masyarakat, orang yang sangat dihormati dan orang yang sangat dielu-elukan
karena keteguhan beliau dalam bersikap dan keilmuan beliau yang mendalam
tentang masalah hadis. Banyak orang-orang yang datang kepada beliau dari
berbagai macam daerah hanya untuk belajar Hadis.
Kendati beliau
sudah menjadi orang yang terkenal, dihormati dimana-mana tapi beliau masih
benar-benar mengingatku dan telah benar-benar mengetahui serta menghargai
kesabaran, keteguhan, keinginan dan kekuatanku dalam belajar kepada beliau. Hal
itu bisa aku ketahui saat suatu hari aku masuk masjid untuk mengikuti Halaqah
hadis beliau, maka beliau pun menyuruh para hadirin untuk memberiku jalan agar
aku duduk didekat beliau dan dengan bangganya beliau berkata: “inilah orang
yang benar-benar berhak menyandang predikat Tholibul Ilmi atau sang
pencari ilmu sejati”. Kemudian beliau mengisahkan apa yang aku lakukan demi
belajar kepada beliau disaat masa-masa masih terjadi fitnah yang besar terhadap
beliau.
Pada akhirnya
beliau memberikan pelajaran hadis kepadaku dengan metode Munawalah dan
dalam waktu yang lain aku membaca hadis kepada beliau—biasa disebut dengan sistem
Sorogan dalam bahasa pesantren—atau beliau yang membacakan hadis
kepadaku—yang mana sistem ini biasa disebut Bandongan dalam dunia
pesantren—hingga akhirnya suatu hari aku menderita sakit yang menjadi
penghalang bagiku untuk menghadiri Halaqah beliau. Beliau pun mencari-cariku,
akan tetapi beliau tidak menemukanku di sana. Beliau pun bertanya tentang
diriku, dan saat itulah beliau mendapat kabar bahwa memang aku sedang sakit,
sehingga berhalangan untuk ikut menghadiri Halaqah hadis beliau yang
berkah itu. Saat mengetahui bahwa aku sakit, seketika beliau bangkit dan berjalan
menuju ke tempat tinggalku untuk menjengukku dengan ditemani oleh orang-orang
yang menghadiri Halaqah beliau di masjid sana.
Hari itu, aku
sedang berbaring kesakitan di atas ranjang. Pakaian yang kumiliki seadanya, aku
jadikan sebagai selimut, sedang selimut yang ada aku jadikan sebagai alas
tubuhku dan kitab-kitab yang aku gunakan untuk belajar kepada Imam Ahmad ada
disamping kepalaku. Tiba-tiba aku mendengar ada suara agemuruh dan ramai ditempat
tinggal yang aku sewa itu. Aku mendengar orang-orang disana berkata: “dia ada
disana, lihatlah kalian semua. Ini adalah panutan umat Islam sedang berkunjung
ke penginapan ini”. Lalu datanglah pemilik penginapan ini kepadaku sambil
berkata: “wahai Abu Abdurrahman, lihatlah, ini adalah panutan umat Islam, Imam
Ahmad bin Hanbal. Beliau kesini untuk menjengukmu”. Lalu masuklah Imam Ahmad
dan duduk disamping kepalaku, sementara penginapan ini sudah dipenuhi oleh
orang-orang yang mengikuti beliau. Sebagian dari mereka ikut masuk ke dalam
kamarku dengan masing-masing memegang pena ditangannya. Imam ahmad berkata
kepadaku:
يا أبا عبد الرحمن أبشر بثواب الله. أيام الصحة لا سقم فيها. وأيام
السقم لا صحة فيها أعلاك الله بالعافية ومسح عنك بيمينه الشافية.
“wahai Abu Abdirrahman, bahagialah dengan
pahala yang telah disiapkah oleh Allah. Memang ada kalanya hari-hari itu penuh
dengan kesehatan yang tidak ada rasa sakit sama sekali, atau sebaliknya, penuh
dengan rasa sakit yang tidak ada kesehatan sama sekali. Semoga Allah memuliakan dirimu dengan
kesehatan dan memberimu rahmat dengan kesembuhan”. Saat beliau mengatakan
ucapannya tadi, aku melihat pena-pena yang ada ditangan orang-orang itu
bergerak-gerak menulis apa saja yang telah diucapkan oleh Imam Ahmad. Sungguh luar
biasa kekuatan ilmu itu.
Setelah beliau pulang,
pemilik penginapan itu mendatangiku beserta keluarganya. Mereka menjengukku,
mereka memperlakukanku dengan baik semenjak kunjungan imam ahmad itu. Bahkan mereka
melayaniku, satu datang membawa kasur, satu lagi membawa selimut, sedang yang
lain membawakan manisan, wewangian dan makanan-makanan yang enak untukku, semua
itu adalah berkah dari dijenguk oleh orang alim seperti Imam Ahmad bin Hanbal.
0 komentar