Advertise 728x90

Latest Post

Santri Sejati, Baqi Bin Makhlad Al-Andalusy

Written By Unknown on Monday, December 23, 2013 | 4:04 PM


         
Salah satu murid dari Imam Ahmad bin Hanbal yang benar-benar mendapatkan predikat santri sejati adalah Imam Al-Hafidz Abu Abdirrahman Baqi Bin Makhlad Al-Andalusy. Beliau lahir pada tahun 201 H dan wafat pada tahun 272 H. Beliau adalah salah satu ulama yang sering melakukan Rihlah atau perjalanan jauh guna mendapatkan ilmu. Ketika menginjak umur 20 tahun, beliau melakukan Rihlah menuju ke kota Baghdad dengan berjalan kaki. Semua itu beliau lakukan hanya untuk belajar dan mengaji kepada Al-Imam ahmad Bin Hanbal.
            Imam Baqi berkisah tentang perjalanan beliau sendiri, untuk bisa bertemu dengan sang guru idamannya, beliau berkata: “Saat aku sudah mendekati kota Baghdad, aku mendengar sayup-sayup berita tentang inkuisisi atau Mihnah yang sedang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Aku juga tahu bahwa beliau tidak boleh memberikan pelajaran, disamping memang ada larangan berkumpul atau ngaji kepada beliau. Saat mengetahui kabar tersebut, aku merasa sedih dan sangat susah sekali. Kesedihan yang aku alami ini berlanjut hingga tidak ada pekerjaan apapun yang aku lakukan saat aku meletakkan barang-barang bawaan dan bekal dalam kamar yang sewaan di salah satu apartemen di baghdad. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke masjid, karena ingin ikut serta duduk di beberapa halaqah yang banyak ditemukan dalam masjid-masjid Baghdad pada waktu itu, disamping juga ingin mendengarkan masalah apa saja yang sedang didiskusikan dalam Halaqah tersebut.
            Di sana aku tertarik untuk mengikuti sebuah Halaqah yang nampak besar dan ramai. Ternyata disana terdapat seorang lelaki yang sedang berbicara dan menyingkap tentang para rawi hadis. Satu waktu lelaki tersebut menyatakan bahwa si A adalah orang yang lemah, sedang si B adalah orang yang kuat. Dia mengatakan bahwa si C adalah orang Tsiqqah (terpercaya), sementara si D adalah seorang pembohong. Lalu aku bertanya kepada orang yang ada didekatku: “Siapakah lelaki ini?”, dia menjawab: “Dia adalah Yahya bin Ma’in”. Lalu aku melihat ada sebuah tempat kosong disamping Yahya Bin Ma’in tadi, maka aku pun mendekat untuk mengisi tempat tersebut. Setelah aku duduk disamping lelaki tadi, maka aku memberanikan diri untuk bertanya: “wahai Abu Zakariya, aku ini adalah seorang lelaki asing yang jauh dari kampung halamanku. Aku ke sini hendak bertanya, jadi mohon jangan meremehkan aku”. Beliau berkata kepadaku: “Katakanlah sekarang juga, apa pertanyaanmu?”. Maka aku pun menyampaikan kepadanya beberapa dari pakar hadis yang pernah aku temui, sebagian dari mereka di hukumi baik dan Tsiqqah, sedang yang lain lagi tidak.
            Pada akhir majlis tersebut, aku bertanya tentang Hisyam bin ‘Ammar, karena memang aku banyak mengambil hadis dari beliau. Maka Yahya pun menjawab: “Abul Walid Hisyam Bin Ammar, orang yang banyak melakukan shalat, beliau dari Damaskus dan seorang yang Tsiqqah, bahkan melebihi Tsiqqah. Andaikan dibawah Rida’nya terdapat kesombongan ataupun dia membawa kesombonga, niscaya hal itu tidak akan membahayakan bagi ke-Tsiqqahan-nya karena kebaikan dan keutamannya.
            Sebelum aku bertanya lagi, orang-orang peserta Halaqah itu berteriak-teriak: “Semoga kau dirahmati Allah, sudah cukup pertanyaan-pertanyaan yang kau sampaikan, yang lain pun juga punya pertanyaan”. Lalu sambil berdiri aku bertkata: “aku memintamu untuk menjelaskan padaku tentang Ahmad bin Hanbal?”. Seketika Yahya bin Ma’in memandangku dengan terheran-heran. Lalu beliau berkata kepadaku: “Layakkah orang sepertiku untuk menjelaskan tentang posisi Ahmad bin Hanbal? Beliau adalah pemimpin muslim sejati, beliau adalah orang Islam paling baik dan paling utama”.
            Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Yahya bin Ma’in, aku pun keluar dan meminta ditunjukkan rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Maka ada seseorang yang dengan baik menunjukkan kepadaku di manakah rumah Imam Ahmad, setelah sampai didepan pintu rumah itu, aku pun mengetuk pintu rumah. Setelah menunggu sebentar, keluarlah seorang lelaki yang dengan pandangan heran memperhatikan diriku, sebagai seorang lelaki yang belum pernah beliau kenal sama sekali. Mengerti kalau aku sedang diperhatikan, maka aku pun memberanikan diri untuk berkata: “Duhai Abu Abdillah, aku adalah seorang lelaki asing yang jauh dari kampung halaman dan ini adalah pertama kalinya aku masuk ke daerah ini. Aku adalah seorang pencari ilmu hadis dan seorang pengumpul hadis. Aku melakukan perjalanan ke sini hanya untuk bertemu denganmu”.
Beliau berkata kepadaku: “Masuklah lewat jalan yang menuju ke dalam rumah, jangan sampai ada yang melihatmu”.
“Dari manakah asalmu?”. Tanya beliau. “Maroko”, jawabku.
 “Oh, berarti kau berasal dari Afrika?”
“Bahkan lebih jauh dari Afrika, karena untuk sampai ke afrika aku melewati melewati lautan terlebih dahulu”.
“Jauh sekali asalmu wahai anak muda. Insya Allah aku akan berusaha untuk membantumu, karena membantu orang-orang sepertimu untuk mendapatkan apa yang dicari sangatlah menjadikanku bahagia. Hanya saja, kondisiku sekarang adalah orang yang sedang dicoba oleh Allah dengan sesuatu yang mungkin anda sendiri sudah tahu tentang apa yang menimpaku”.
“Benar, aku sudah mengetahui apa yang telah menimpa anda saat perjalananku sudah mulai mendekati daerah ini. Wahai Abu Abdillah, aku disini adalah orang asing dan tidak ada yang mengenaliku. Apakah mengijinkanku untuk datang kepadamu setiap hari dengan memakai pakaian seorang pengemis, lalu saat sudah mendekati pintu, aku akan mengucapkan kata-kata yang sering diucapkan oleh para pengemis, kemudian anda keluar untuk menemuiku. Sungguh aku sudah merasa cukup andaikan  setiap harinya anda hanya mengajariku satu hadis saja”.
“Baiklah, tapi dengan syarat kamu tidak boleh menghadiri Halaqah ataupun guru hadis selain aku”.
“Baiklah, aku terima syarat anda itu”
Setelah kejadian itu, aku pun mulai menampakkan diriku sebagai  seorang pengemis. Aku memegang tongkat ditangan kananku dan menutup kepalaku dengan selendang. Alat-alat untuk mencatat pelajaran aku sembunyikan dalam lengan bajuku yang besar—karena memang lengan baju orang Arab pada waktu itu besar-besar—kemudian aku mendatangi rumah Imam Ahmad dan berteriak: “maukah anda mendapatkan pahala wahai orang yang dirahmati Allah”. Yah, kata-kata itulah yang sering diucapkan oleh para pengemis didaerah baghdad pada waktu itu. Kemudian keluarlah Imam Ahmad dan membawaku masuk ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rumah. Nah, didalam rumah itulah beliau mengajariku hadis-hadis baginda Nabi. Setiap harinya beliau bercerita kepadaku tentang satu, dua atau bahkan lebih dari tiga hadis, hingga akhirnya terkumpulkan dalam catatanku lebih dari 300 buah hadis Nabi.
Lama sekali aku belajar kepada Imam Ahmad bin hanbal dengan model dan tata cara yang sedemikian aneh itu. Hingga akhirnya meninggallah raja yang melakukan siksaan dan inkuisisi terhadap Imam Ahmad. Dan ternyata yang menggantikan posisi dari raja tersebut adalah raja yang berfaham Aswaja, sehingga bebaslah Imam Ahmad dari tuduhan-tuduhan yang selama ini disematkan pada beliau. Mulailah imam ahmad di kenal dimana-mana, bahkan beliau muncul sebagai orang yang dimuliakan oleh masyarakat, orang yang sangat dihormati dan orang yang sangat dielu-elukan karena keteguhan beliau dalam bersikap dan keilmuan beliau yang mendalam tentang masalah hadis. Banyak orang-orang yang datang kepada beliau dari berbagai macam daerah hanya untuk belajar Hadis.
Kendati beliau sudah menjadi orang yang terkenal, dihormati dimana-mana tapi beliau masih benar-benar mengingatku dan telah benar-benar mengetahui serta menghargai kesabaran, keteguhan, keinginan dan kekuatanku dalam belajar kepada beliau. Hal itu bisa aku ketahui saat suatu hari aku masuk masjid untuk mengikuti Halaqah hadis beliau, maka beliau pun menyuruh para hadirin untuk memberiku jalan agar aku duduk didekat beliau dan dengan bangganya beliau berkata: “inilah orang yang benar-benar berhak menyandang predikat Tholibul Ilmi atau sang pencari ilmu sejati”. Kemudian beliau mengisahkan apa yang aku lakukan demi belajar kepada beliau disaat masa-masa masih terjadi fitnah yang besar terhadap beliau.
Pada akhirnya beliau memberikan pelajaran hadis kepadaku dengan metode Munawalah dan dalam waktu yang lain aku membaca hadis kepada beliau—biasa disebut dengan sistem Sorogan dalam bahasa pesantren—atau beliau yang membacakan hadis kepadaku—yang mana sistem ini biasa disebut Bandongan dalam dunia pesantren—hingga akhirnya suatu hari aku menderita sakit yang menjadi penghalang bagiku untuk menghadiri Halaqah beliau. Beliau pun mencari-cariku, akan tetapi beliau tidak menemukanku di sana. Beliau pun bertanya tentang diriku, dan saat itulah beliau mendapat kabar bahwa memang aku sedang sakit, sehingga berhalangan untuk ikut menghadiri Halaqah hadis beliau yang berkah itu. Saat mengetahui bahwa aku sakit, seketika beliau bangkit dan berjalan menuju ke tempat tinggalku untuk menjengukku dengan ditemani oleh orang-orang yang menghadiri Halaqah beliau di masjid sana.
Hari itu, aku sedang berbaring kesakitan di atas ranjang. Pakaian yang kumiliki seadanya, aku jadikan sebagai selimut, sedang selimut yang ada aku jadikan sebagai alas tubuhku dan kitab-kitab yang aku gunakan untuk belajar kepada Imam Ahmad ada disamping kepalaku. Tiba-tiba aku mendengar ada suara agemuruh dan ramai ditempat tinggal yang aku sewa itu. Aku mendengar orang-orang disana berkata: “dia ada disana, lihatlah kalian semua. Ini adalah panutan umat Islam sedang berkunjung ke penginapan ini”. Lalu datanglah pemilik penginapan ini kepadaku sambil berkata: “wahai Abu Abdurrahman, lihatlah, ini adalah panutan umat Islam, Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau kesini untuk menjengukmu”. Lalu masuklah Imam Ahmad dan duduk disamping kepalaku, sementara penginapan ini sudah dipenuhi oleh orang-orang yang mengikuti beliau. Sebagian dari mereka ikut masuk ke dalam kamarku dengan masing-masing memegang pena ditangannya. Imam ahmad berkata kepadaku:
يا أبا عبد الرحمن أبشر بثواب الله. أيام الصحة لا سقم فيها. وأيام السقم لا صحة فيها أعلاك الله بالعافية ومسح عنك بيمينه الشافية.
“wahai Abu Abdirrahman, bahagialah dengan pahala yang telah disiapkah oleh Allah. Memang ada kalanya hari-hari itu penuh dengan kesehatan yang tidak ada rasa sakit sama sekali, atau sebaliknya, penuh dengan rasa sakit yang tidak ada kesehatan sama sekali. Semoga Allah memuliakan dirimu dengan kesehatan dan memberimu rahmat dengan kesembuhan”. Saat beliau mengatakan ucapannya tadi, aku melihat pena-pena yang ada ditangan orang-orang itu bergerak-gerak menulis apa saja yang telah diucapkan oleh Imam Ahmad. Sungguh luar biasa kekuatan ilmu itu.
            Setelah beliau pulang, pemilik penginapan itu mendatangiku beserta keluarganya. Mereka menjengukku, mereka memperlakukanku dengan baik semenjak kunjungan imam ahmad itu. Bahkan mereka melayaniku, satu datang membawa kasur, satu lagi membawa selimut, sedang yang lain membawakan manisan, wewangian dan makanan-makanan yang enak untukku, semua itu adalah berkah dari dijenguk oleh orang alim seperti Imam Ahmad bin Hanbal.


Maulid Nabi Dan Adab-Adab Pelaksanaannya.

Written By Unknown on Friday, December 20, 2013 | 9:27 PM


·    
  Sekilas Tentang Maulid Nabi.

Sebentar lagi umat Islam akan memasuki bulan Rabiul Awal, bulan dimana cahaya sejuk keimanan membelai sendi-sendi kehidupan manusia. Bulan dimana mendung jahiliah tersingkap oleh hembusan iman. Bulan yang burung-burung pun berkicau dengan riang akan kedatangannya. Bulan yang hewan-hewan pun saling berlomba untuk menyambutnya. Bulan dimana para perindu menemukan cinta sejatinya. Yah, dialah bulan dimana baginda Nabi agung Muhammad SAW dilahirkan ke alam dunia ini.

            Pada bulan Rabiul Awal ini, mayoritas umat Islam—kecuali beberapa kelompok dalam tubuh umat Islam yang menganggap perbuatan ini sebagai bid’ah—banyak mengadakan perayaan-perayaan ataupun sekedar jamuan berupa makanan dan minuman. Banyak kita temukan masjid-masjib ataupun mushalla-mushalla yang riuh dan ramai dengan bacaan semisal Burdah dan Barzanji. Tidak jarang pula kita temukan acara-acara resmi yang diadakan oleh sebuah yayasan ataupun perorangan dengan tema perayaan maulid Nabi. Sebenarnya semua itu kalau diteliti dengan seksama, hanyalah merupakan bentuk manifestasi kecintaan seseorang terhadap baginda Nabi Muhammad SAW, disamping merupakan ungkapan syukur atas hadiah yang paling berharga bagi umat manusia dan kemanusiaan, yaitu baginda Nabi Muhammad saw. Hanya saja pengejawantahan rasa cinta dan syukur satu orang tentunya berbeda dengan yang lainnya. Ada yang dengan mengadakan acara-acara seperti tersebut di atas, ada pula yang dengan melakukan ritual tertentu, semisal puasa, membaca shalawat, bersedekah dan masih banyak yang lain.

Perayaan maulid Nabi merupakan budaya yang telah dilakukan oleh umat Islam semenjak berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus tahun yang lalu. Orang pertama yang mengadakan perayaan maulid Nabi ini adalah raja dari Irbil—daerah yang masuk dalam bagian Republik Iran sekarang—yang bernama raja Mudzoffar Kukberi. Kemudian perayaan Maulid Nabi ini berjalan dan menyebar dihampir seluruh penjuru negeri dimana ada umat Islam disana, semuanya dengan tujuan untuk membangkitkan kembali semangat mencintai baginda Nabi dan mensyukuri kelahirannya, hingga akhirnya kita benar-benar bisa mengikuti ajaran dan syariat yang telah diturunkan kepada beliau.Hanya saja, akhir-akhir ini perayaan maulid Nabi hanya menjadi ajang ceremonial yang hambar. Kami katakan hambar, karena pada kenyataannya acara perayaan maulid Nabi—dengan ala ceremonial yang penuh gemerlapan dan tanpa nuansa keilmuan—nampaknya belum sesuai dengan tujuan diadakannya perayaan maulid Nabi itu sendiri. Memang banyak kita lihat para dai dan penceramah diundang guna memberikan Mauidzah dan wajangan pada acara tersebut. Akan tetapi, masyarakat yang menerima mauidzah itu pun nampaknya belum bergeser dari level mereka yang terdahulu. Yang asalnya tukang ngrumpi pun ya tetap jalan terus, yang tukang korupsi pun juga masih terus semangat, yang asalnya tidak pernah shalat ya tetap tidak mau shalat dan masih banyak yang lain. Lalu, dimanakah letak ketidak tepatan perayaan Maulid Nabi yang selama ini kita laksanakan? Apakah memang ada kesalahan dalam tata cara pelaksanaan maulid Nabi itu sendiri? Nah, dalam kesempatan singkat inilah kami tidak ingin membahas tentang bagaimana hukum pelaksanaan maulid Nabi, akan tetapi kami ingin mengetengahkan sedikit adab-adab dalam pelaksanaan maulid Nabi, agar adanya pelaksanaan acara ini benar-benar membawa manfaat kepada umat, sehingga benar-benar bisa mengubah pola pikir dan prilaku umat untuk dapat lebih meneladani baginda Nabi Muhammad SAW.

·      Adab-Adab Perayaan Maulid Nabi.

Sebagai sebuah kegiatan dan ceremonial yang telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi mayoritas umat Islam, perayaan Maulid Nabi tentunya harus dilakukan sesuai dengan tuntunan serta ajaran dari Islam itu sendiri. Dibawah ini adalah tuntuan dan adab perayaan maulid Nabi yang telah dirangkum dengan ringkas oleh Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari—muassis Nahdhatul Ulama dan ponpes Jombang—dalam salah satu karya beliau yang berjudul “At-Tanbihatul Waajibat Liman Yashna’ul Maulid Bil Munkarat”. Di antara tuntunan itu adalah sebagai berikut:
  1. Tidak boleh melakukan perayaan maulid Nabi dengan menggunakan alat-alat musik yang diharamkan oleh ajaran Islam. Semisal gitar, biola dan lainnya.
  1. Tidak boleh mengiringi alat musik tersebut dengan bertepuk tangan dan gelak tawa yang semuanya merupakan kebiasaan dari orang-orang jelek dan fasiq.
  1. Tidak boleh adanya Ikhtilath (percampuran) yang diharamkan oleh ajaran Islam antara laki-laki dan perempuan. Percampuran atau Ikhtilath yang diharamkan dalam Islam adalah sekiranya bisa terjadi persentuhan antara kulit seorang lelaki dan perempuan. Hal itu bisa dilihat dalam buku.
  1. Tidak boleh adanya aurat yang terbuka, baik dari seorang laki-laki ataupun wanita. Aurat laki-laki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut, sementara aurat seorang wanita adalah semua bagian tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.
  1. Tidak boleh ada joget-jogetan yang menampilkan gerak tubuh dan gaya seorang wanita, walaupun itu dilakukan oleh seorang lelaki, kecuali dengan zafin.
  1. Tidak boleh ada permainan-permainan yang didalamnya terdapat judi atau sesuatu yang menyerupainya. Hal ini disebutkan oleh Kiai Hasyim karena ternyata dalam pelaksanaan maulid di era beliau, sudah ada banyak kemungkaran yang terjadi, sehingga hal itu menuntut beliau untuk menulis sebuah buku dengan judul yang kami sebutkan di atas.
  1. Tidak boleh ada pemubadziran harta dalam rangka pelaksanaan Maulid Nabi dengan cara menggunakan harta-harta yang telah terkumpul dalam segala hal yang diharamkan atau yang dimakruhkan.
  1. Tidak boleh ada pembacaan ayat suci Al-Qur’an dengan irama dan lagu-lagu dengan melebihi kadar yang diperbolehkan oleh ajaran Islam dalam Ilmu Tajwid atau bahkan bisa menjatuhkan seseorang pada Lahn yang bisa merubah makna.
  1. Jangan sampai ketika ada orang baca al-Qur’an lalu si pendengar menyebut kata “khoir-khoir” [baik-baik] atau kata “Ahsanta” [kau telah berbuat kebaikan], bahkan jika si pembaca ayat al-Qur’an tadi salah dalam bacaan lalu ada orang mengatakan demikian, maka hukumnya bisa haram.
  1. Kesimpulan dari semua hal di atas adalah jangan sampai perayaan Maulid Nabi yang mulia ini dikotori dengan kemaksiatan-kemaksiatan yang dilarang oleh ajaran agama Islam.
·      Akibat dari kemungkaran dalam perayaan maulid.

Sebagaimana telah kami jelaskan di atas tentang beberapa ajaran dan tuntunan Islam dalam perayaan Maulid Nabi, yang jika kesemuanya dilakukan maka Insya Allah acara Maulid Nabi tersebut benar-benar membawa berkah bagi semua umat Islam, dengan semakin meningkatnya kebaikan dan keimanan umat Islam itu sendiri. Semua itu karena tentunya mereka akan benar-benar merasakan bagaiamana indahnya cinta dan mengikuti prilaku baginda Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi jika adab-adab perayaan Maulid, sebagaimana telah kami jelaskan di atas, tidak dilaksanakan, maka yang timbul adalah sebaliknya. Diantara kejelekan yang timbul jika perayaan Maulid Nabi tidak dilakukan dengan ajaran dan adab semestinya adalah sebagai berikut:
  1. Jika dalam pelaksanaan maulid terdapat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maka yang muncul adalah jiwa yang munafik, karena seseorang menampakkan diri seolah-olah sebagai pecinta baginda Nabi, akan tetapi pada dasarnya dia adalah orang yang ingin menghancurkan agama dan umat baginda Nabi.
  2. Jika ada sekelompok orang melaksanakan perayaan maulid Nabi, akan tetapi didalamnya terdapat kemungkaran dan hal itu hanya didiamkan saja oleh para ulama yang ada, maka itu akan menimbulkan kesan diperbolehkannya perayaan maulid dengan model yang demikian. Disinilah salah satu fungsi dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar, tapi tentunya dengan kreteria-kreteria pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang telah di jelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab karya mereka.
  3. Perayaan maulid Nabi yang didalamnya terdapat kemungkaran adalah satu bentuk tidak menghormati baginda Nabi, atau dalam bahasa pesantren dianggap sebagai Su’ul Adab. Karena pada dasarnya perayaan Maulid Nabi adalah salah satu bentuk Ta’dzim atau penghormatan kepada baginda Nabi. Sedang tindakan ma’siat adalah satu perbuatan yang tidak dicintai oleh baginda Nabi, maka sama saja dengan menyakiti baginda Nabi jika kita melaksanakan perayaan Maulid Nabi dengan segala bentuk kema’siatan didalamnya.
  4. Adanya kema’siatan dalam acara Maulid Nabi akan dijadikan celah oleh orang-orang yang tidak senang dengan substansi perayaan maulid itu sendiri. Walaupun sebenarnya itu hanyalah oknum saja, akan tetapi kenyataan yang menampilkan adanya kema’siatan dalam perayaan maulid bisa dijadikan justifikasi oleh mereka dalam melancarkan kritikan dan serangan mereka.
  5. Dan masih banyak kemusykilan yang muncul jika kita tidak berpegang dan berjalan sesuai dengan ajaran dan tuntunan Islam dalam perayaan Maulid Nabi.
Walhasil, dalam setiap tindakan, ucapan dan tingkah laku hendaknya kita sebagai umat Islam selalu berusaha untuk menjadikan nilai-nilai ajaran Islam sebagai pedoman hidup. Sehingga kita tidak terjatuh dalam kerusakan dan kehancuran. Lebih-lebih jika amaliah yang kita lakukan adalah perayaan Maulid Nabi yang merupakan tindakan mulia menurut pandangan agama. Kita akan benar-benar merasakan manfaat, barokah serta kebaikan dari perayaan Maulid Nabi ini jika kita benar-benar melakukannya atas dasar cinta terhadap baginda Nabi, Ta’dzim kehadirat baginda Nabi dan syukur atas dilahirkannya baginda Nabi ke dunia ini sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan tentunya semua itu bisa dicapai—diantaranya—dengan selalu berusaha untuk sesuai dengan tuntunan beliau dalam bermaulid. Wallahu A’lam Bis Showab.



Kalisari:
21-Desember-2013 M.

Abuya KH. Dimyathi Al-Bantani.




Mengenang al-alim al-allamah al-fadhil syaikhi abuya dimyathi al-bantani as-shidahu al-kalahani

من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم ومن أرادهما فعليه بالعلم
“Barang siapa yang menginginkan dunia, hendaknya ia menguasai ilmu; barang siapa yang menginginkan akhirat ,hendaknya ia menguasai ilmu;dan barang siapa yang menginginkan keduanya, hendaknya ia menguasai ilmu juga.” (al-Hadis)

KH. Muhammad Dimyathi yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim merupakan sosok Ulama Banten yang memiliki karismatik nan bersahaja. Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mullai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia. Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengkategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadist nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya. Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis.

Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani. Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai.

Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenal sebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab.
Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.

Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran. Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem.

Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.

Dipenjara

Mbah Dalhar Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.

Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.” Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.”

Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran. Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”. Lahul Fatihah.


Memaknai Sang Mujaddid

Written By Unknown on Sunday, December 15, 2013 | 9:27 AM

Sampai di lokasi nada nada tentang NU telah dilantunkan dengan santai namun meriah, salah satu bait yang saya hafal ada kalimat "Mbah Maimoen Gurune Wong NU"

Membicarakan Mbah Maimoen ibarat bercerita tentang samudera atau angkasa dengan segala kabar baru yang membuat kita terpana.

Tiba tiba dalam usia sepuhnya (86 tahun) beliau satu panggung dengan Habib Syaikh, sekali lagi mata ini memandang wajah tua itu penuh misteri, dada saya berkecamuk, otak saya berhenti beraksi, kenapa dan ada apa ini? jawaban dan bisikan bantahan saling mengganti ruang tanya dalam hati saya, dan akhirnya menyumbat begitu saja, kebingungan.

Shufi tua itu sekali kali mengangguk anggukkan kepalanya, sekali kali tangannya mengetuk ngetuk pelan mengiringi rebana, dan sekali kali mengangkat wajah dan suaranya mengikuti lantunan syair vokalis agung Habib Syaikh.

Kemudian Ulama tua itu menundukkan kepala, tepekur, dan ketika mengangkat kepalanya kembali, air matanya mengalir membanjiri wajah keriputnya.

Ketika saya menyadari Taqdir Allah memberi kesempatan padaku berada persis di depan Khadlrotus Syaikh Najih Maimoen, bagaikan berada dalam muara sungai yang mempertemukan air dingin dan panas, energi yang tercipta sungguh melumpuhkan kerja otak saya, semula saya berjongkok diantara dengung sholawat itu, namun tiba tiba gelisah wajah Gus Najih memaksa saya berdiri, terus berdiri dan berdiri tertopang lutut yang gemetar.

Saya pun lebih sering memandang Gus Najih yang lebih banyak menunduk, hanya sekali kali memandang layar monitor yang di sana wajah bahagia Habib Syaikh dan Abahnya sedang membagi energi.

Di sana kutemukan Wajah Roja' Mbah Maimoen mempesona, di sini saya menyelam pada wajah khouf Gus Najih menahan siksa.

Mahallul Qiyam........
Mbah Maimoen dengan dipapah bangkit berdiri, dengan semangat luar biasa, beliu melepaskan papahannya, seakan beliau ingin menyambut Nur Muhammad itu dengan segenap kekuatannya, bibirnya bergerak, wajahnya dipaksa tegak ikut melantunkan puji pujian untuk kekasinya.

Kembali saya dibuat gila, kali ini seluruh otot dalam tubuhku benar benar melumpuh, saya buang tubuhku bersandar di pagar tembok, dada saya benar benar penuh, ingin saya menangis, tetapi mata ini terlalu panas untuk sekedar meneteskan air mata.

Lagu Indonesia Raya dilantunkan bersama, gemuruh juang habib Syaikh mengguntur membahanakan suasana, memaksakan para hadirin ikut mengiringinya dengan tanpa malu.

Mbah Maimoen si Shufi tua masih tetap berdiri bercanggah tongkat ikut meneriakkan nyanyian Indonesia Raya, gemetar tubuhnya tak kuasa menahan berkumpulnya semangat dan linangan air matanya.

Saya yang tak kuasa mengucapkan sepatah katapun memandang wajah Mbah Maimoen yang tiba tiba kembali muda, tenaga saya seolah olah telah berpindah ke sana, melemas lunglai dan masih tetap semampir di pagar tembok ini.

Tiba tiba selintas membayang para wajah pejabat bangsat yang sedang bersujud di depan pahlawan bangsa itu, namun tiada ampun, pedang panglima itu menebas leher leher mereka, darahnya sebagian muncrat ke wakah Mbah Maimoen dan Habib Syaikh, mereka berdua semakin gagah dan tampan bersolek darah, sedangkan darah yang mengalir itu menenggelamkan mayatnya dalam neraka.


by: Zainal Wong Wongan.

Syaikh Abul Fadhol As-Senori, Tuban.

Mbah Denok bisa dibilang Ibu yang aneh, Ibu yang lebih memilih anaknya menjadi Ulama besar daripada memilih kekayaan yang sudah didepan mata.

Seorang Ibu yang bertahan dalam kemiskinan, ibu yang selalu berpuasa demi masa depan anak yang saat itu baru dikandungnya.

Hari itu beliau mencuci beras di sungai, entah karena lemah badannya yang gemetar menahan lapar, sehingga beras itu tumpah, atau karena tak sengaja tersenggol beliau yang sibuk mencuci pakaian.

Subhanallah bukan lagi berwujud beras, tetapi emas berkelipan itu sangat mengagetkan, namun hati yany senantiasa sadar akan keberadaan Allah itu segera menarik kesimpulan, bahwa dirinya sedang mengalami ujian, serta merta beliau menangis memohon ampun, bibir pucatnya berucap perlahan, hatinya bergetar, Wahai Tuhanku bukan ini yang aku pinta, emas ini bagiku bukanlah harapan, hamba hanya memohon kepadaMu jadikanlah janin dalam kandunganku ini lahir menjadi Ulama, jadikanlah ia kekasihMu dan panutan.

Mbah Denok itu adalah Ibu Mbah Abdus Syakur, seorang Ulama kuno yang mumpuni disegala bidang keilmuan.

Selanjutnya Mbah Syakur menurunkan dua orang putera dari janda Kyai Abdul Aziz yaitu Mbah Abul Fadlol senori dan Mbah Abul Khoir suwedang.

Keduanya adalah Ulama besar, Mbah Abul Fadlol terkenal sesudah wafatnya dengan berbagai kitab karangan yang menembus dunia pesantren Timur Tengah, sedangkan Mbah Abul Khoir lebih menonjol dalam bidang Tashowwuf dan Ulama Fiqih yang sangat kuat memegang priinsip di ujung zaman.

Mbah Abul Fadlol pada masa remajanya berguru kepada Mbah Hasyim Asy'ari Tebu ireng. Jangan ditanya soal apa yang telah beliau kuasai, karena semenjak kecil beliau telah suka melantunkan sya,i sya,ir yang terdapat di dalam kitab Ihya dengan hanya mendengar saja dari pengajian bapaknya.

Mbah Abul Fadlol tidak hanya mumpuni dalam bidang Ilmu Agama saja, tetapi entah dari mana ilmu itu beliau dapat, dizaman radio masih langka, beliau telah mampu membuat radio amatir, tentang ilmu kimia juga begitu, dengan caranya sendiri, beliau mampu membuat minyak wangi yang baunya tidak seperti bau minyak wangi pada umumnya, bahkan beliau telah mampu membuat syrup obat batuk yang konon sangat mujarab.

Beliau juga menguasai bahasa mandarin, konon beliau pernah bekerja di semarang sebagai kuli membuat jalan.

Beliau memang tidak pernah menyukai kekayaan, setiap kerja yang dirintis laris, tiba tiba beliau tinggalkan begitu saja, dari mulai menjadi penjual tembakau, polangan, jual kain dan pekerjaan terakhirnya adalah sebagai reparasi radio dan jam tangan.

Jiwa Nasionalisme yang tinggi beliau warisi dari gurunya, yaitu Mbah Hasyim, pada setiap upacara 17 Agustus di kecamatan, beliau sempatkan dirinya pakai celana, sepatu dan ikut upacar di lapangan.

Dan juga jangan tanya organisasi apa yang beliau ikuti dan istiqomahkan, NU adalah kebanggaan beliau sampai beliau diwafatkan.

Sumber cerita dari menantunya Mbah Abul Fadlol sendiri, yaitu Kyai Minanurraohman.




Foto


by: Zainal Wong Wongan.

Mbah 'Athoillah, Sedan, Rembang.

Waktu itu saya masih dituntun oleh Simbok, berjalan kaki melintasi sebuah jembatan bambu, sepertinya saya diajak ke sebuah rumah reot yang berisi orang orang yang jika disebut miskin tidak pantas, tetapi melihat kondisinya jauh daripada sebutan layak.

Di atas dipan besar yang tidak terpisah oleh dindingpun, saya melihat tiga remaja yang tergolek, pikiran kecilku menyimpulkan ketiga remaja itu sedang sakit.

Hari berlalu, bulan berganti dan tahunpun melaju, lama sekali saya tidak diajak oleh simbok datang lagi ke sana, siapa ketiga remaja kemaren dan bagaimana nasibnya, tidak terpikir olehku, bermain dengan teman teman lebih asyik bagiku, hingga tidak sempat lagi mengulang kenangan itu.

Hingga ketika remaja, aku dipindah sekolahkan ke sekolah yang katanya lebih maju, aku kembali berjumpa dengan sebuah rumah yang letaknya sama persis dengan yang dulu simbok mengajakku, namun dengan bentuk yang telah sedikit berubah, dan jembatan itu juga yang telah lebih nyaman untuk disebrangi kini.

Waktu itupun aku tidak tahu, sebenarnya siapa penghuni rumah yang begitu dalam meninggalkan kenangan dalam benakku, sering aku hampiri rumah itu dari jauh, sepi....... dan tak juga kutemukan siapa kepala rumah tangganya.

Siang itu akupun menunggu, seusai pelajaran, rasa penasaranku kian mendorongku untuk lebih lama menunggu, hingga seorang laki laki berperawakan kecil, kering dan kurus menuju pintu, aneh ia begitu menarik hatiku, aku merasakan getaran luar biasa ketika bertatapan mata dengannya.

Aku belum mengantongi sebuah nama hingga dalam jangka waktu yang agak lama, siapa ia?

Sebuah warkop di depan masjid siderojo yang dibangun oleh Mbah Ndoro Hamzah kemudian lambat laun memberikan jawabannya, Laki laki itu adalah anak macan yang kekuasaannya cukup luas mulai dari sedan sendiri hingga menembus batas kecamatan kragan, pamotan dan sale. sebelumnya aku tidak percaya jika beliau adalah putra gurunya bapakku, beliau itu yang ternyata adalah Kyai 'Athoillah bin Kyai Zawawi.

Sangat mengagumkan, bagaimana seorang kyai yang sangat disegani seluruh kyai sesedan itu bisa jagong santai di sebuah warung?

Bukan hanya itu, ternyata beliau bertipe penyayang anak anak, hal ini saya ketahui setelah saya ikut ngaji di langgarnya, beliau sapa duluan siapapun yang bertemu dengan beliau, selalu tersenyum, energik, bersahaja.

Hobi menjala ikan di sungai mungkin adalah warisan dari abahnya yang memang pada masanya beliau jadikan alat untuk berdakwah, pun begitu dengan Mbah Ngatho' ini, walaupun pengajiannya dihadiri oleh para santri seantero sedan, namun cara bermasyarakatnya yang supel, suka bercanda, suka ngopi justru tidak menjadikan beliau diremehkan masyarakat, malah sebaliknya, beliau dicintai, dihormati dan disegani seluruh lapisan masyarakat.

Pada zaman itu beliau adalah mufti tidak resmi di sedan, para kyai yang lain akan menunggu, tidak berani memutuskan masalah agama, hanya Mbah 'Atho' yang layak memutuskan dan jika beliau telah memutuskan, maka seluruh Kyai akan mengikutinya, para kyai benar benar tahu kedudukan ilmu Mbah 'Atho', tentu saja disamping beliau lahir dari seorang Kyai, Mbah Ndoro Hamzah adalah pengajar utama pada saat itu.

Bukan hanya mumpuni dibidang agama saja, yang terkenal beliau memiliki ilmu ilmu hikmah yang dizamannya sulit mencari tandingannya.

Mbah Kur adalah Guru Silat saya, beliau sangat mengakui kemampuan dan kesaktian Mbah 'Atho'

Dizaman mudanya, beliau suka bermain bal balan, tidak jarang ketika bertanding Mbah Ngato' mengeluarkan kesaktiannya, bola di tandu mletus, atau ketika adu tulang betis dengan mabah Kur, bunga bunga api akan berpijar.

Taka ada yang sanggup menandingi adu tulang betis dengan mbah ngatho kecuali mbah kur, yang berani mengadu tulang betis dengan beliau hampir dipastikan akan patah.



by: Zainal Wong Wongan.
Powered by Blogger.
Advertise 650 x 90
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger