Dulu
sekali, saat-saat saya pertama kali belajar agama di sebuah institusi
pendidikan di Indonesia yang di sebut pesantren, tepatnya pesantren Al-Anwar asuhan simbah KH. Maimoen Zubair atau akrab di panggil dengan Mbah Moen, saya merasa kaget dan
aneh saat mendengar guru dan Kiai saya yang satu ini dawuhan:
"wes to cung, gak usah tirakat seng aneh-aneh, opo maneh ape dalailan, kowe ngaji temen seng sregep iku wes tirakat". (udahlah nak, tidak usah kau tirakat yang aneh-aneh, apa lagi mau puasa dalail segala, kamu belajar dengan rajin dan semangat itu sudah merupakan tirakat), kurang lebih begitulah wejangan beliau kepada santri-santrinya pada satu kesempatan.
Mungkin orang bertanya letak keanehannya dimana, tapi bagi saya yang alhamdulillah hidup dalam lingkungan keluarga yang rata-rata anggota pernah mencicipi manisnya ilmu di pesantren, hal itu sangat aneh, karena biasanya di beberapa pesantren tertentu puasa (lebih-lebih dalailan) menjadi satu amalan primadona tersendiri, lo tiba-tiba saat saya benar-benar masuk pesantren ee malah oleh Kiainya seakan-akan gak boleh,,kan jadinya ada perasaan aneh tersendiri. yaah,,sebagai santri yang nurut saya mengikuti apa pesan dari Kiai saya tadi, tapi pikiran nakal saya selalu bertanya-tanya dan sampai sekarang masih juga bertanya: "apa alasan utama dari dawuh Kiai saya tadi? apa ada dalil yang mendukung petuah beliau diatas?", dan pertanyaan-pertanyaan semisalnya yang selalu bergoyang-goyang di kepala ini. Pencarian data pun saya lakukan, untuk mendukung petuah singkat Kiai saya tadi atau paling tidak untuk mengetahui dengan lebih mendalam lagi apa memang benar ada referensi literatur klasik yang mendukung ungkapan singkat tadi, buku ini saya baca, buku itu saya baca, kitab ini tak muthala'ah, kitab itu tak muthala'ah tapi gak ketemu juga sebuah dalil atau amaliah dari para ulama salaf yang hampir sama dengan petuah singkat Kiai saya tadi, yah sedikit rasa putus asa hinggap dihati, akhirnya saya tinggalkan pencarian itu.
Mungkin orang bertanya letak keanehannya dimana, tapi bagi saya yang alhamdulillah hidup dalam lingkungan keluarga yang rata-rata anggota pernah mencicipi manisnya ilmu di pesantren, hal itu sangat aneh, karena biasanya di beberapa pesantren tertentu puasa (lebih-lebih dalailan) menjadi satu amalan primadona tersendiri, lo tiba-tiba saat saya benar-benar masuk pesantren ee malah oleh Kiainya seakan-akan gak boleh,,kan jadinya ada perasaan aneh tersendiri. yaah,,sebagai santri yang nurut saya mengikuti apa pesan dari Kiai saya tadi, tapi pikiran nakal saya selalu bertanya-tanya dan sampai sekarang masih juga bertanya: "apa alasan utama dari dawuh Kiai saya tadi? apa ada dalil yang mendukung petuah beliau diatas?", dan pertanyaan-pertanyaan semisalnya yang selalu bergoyang-goyang di kepala ini. Pencarian data pun saya lakukan, untuk mendukung petuah singkat Kiai saya tadi atau paling tidak untuk mengetahui dengan lebih mendalam lagi apa memang benar ada referensi literatur klasik yang mendukung ungkapan singkat tadi, buku ini saya baca, buku itu saya baca, kitab ini tak muthala'ah, kitab itu tak muthala'ah tapi gak ketemu juga sebuah dalil atau amaliah dari para ulama salaf yang hampir sama dengan petuah singkat Kiai saya tadi, yah sedikit rasa putus asa hinggap dihati, akhirnya saya tinggalkan pencarian itu.
Suatu hari saya jalan-jalan bersama salah satu teman saya menuju ke
salah satu tempat percetakan kitab, di sana saya melihat beberapa kitab
yang banyak dalam berbagai macam fan ilmu, asyik memang dan saya bisa
betah berjam-jam di dalam percetakan itu, kalo gak malu sama yang jaga,
akhirnya saya beli beberapa kitab kecil dengan harga murah yang bisa
saya jangkau, saya buka dan olak-alik kitab tersebut untuk membaca
sedikit isi dari kitab tadi, tanpa sengaja mata saya tertuju pada sebuah
tulisan yang menceritakan surat menyurat antara Imam Darul Hijrah, Malik
bin Anas dan Abdullah al-'Amri al-'Abid (sang ahli ibadah), yang
ceritanya kurang lebih begini:
Di kisahkan oleh Adz-Dzahabi dalam buku Siyar-nya yang terkenal itu bahwa Abdullah al-'Amri al-'Abid menulis surat kepada Imam Malik yang intinya mendorong beliau untuk menyendiri atau 'Uzlah, tidak melakukan aktivitas hariannya dan meninggalkan semua urusannya selama ini, padahal urusan dan aktivitas sang imam selama ini adalah mengajar dan mengaji. Ketika tahu hal itu, maka Imam Malik pun menjawab surat tersebut, beliau menulis: "Allah telah membagi semua aktivitas hambanya, sebagaimana Dia juga membagi rizki mereka. banyak orang yang di futuh oleh Allah dengan amalnya yang berupa shalat, akan tetapi tidak di futuh pada amal puasa. Sedang yang lain di futuh pada amal shadaqah, tidak di puasa dan lainnya lagi di futuh lewat jihad. Sedang nasyrul ilmi atau menyebarkan ilmu baik dengan mengajar atau belajar (ta'lim wat ta'allum) adalah termasuk amal kebaikan yang paling utama, maka saya ridha saat Allah memberi futuh saya lewat nasyrul ilmi tadi, saya kira apa yang di berikan Allah padaku tidak diberikan padamu dan saya berharap kita semua mendapatkan jalannya yang terbaik".
Setelah membaca keterangan ini saya kembali pada kenangan saya yang sudah lama sekali, saya cari-cari lagi hal apa yang bersangkutan dengan kisah Imam Malik di atas dan akhirnya ketemu, yang tak lain dan tak bukan adalah jawaban pertanyaan-pertanyaan saya perihal petuah sang kiai dan guru saya yang tercinta Mbah Moen tersebut. Memang semua sudah ada tempat dan posnya masing-masing, jangan pengen ngabehi atau melakukan semuanya, semua sudah di atur oleh Allah, saya jadi teringat mutiara Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari yang berbunyi:
تنوعت الأعمال بتنوع واردات الأحوال
"Allah menjadikan amalan dalam rangka taqarrub kepada-Nya itu banyak dan berbeda-beda, karena memang warid yang datang pun antara satu dan lainnya berbeda-beda"
Walhasil, saya hanya bisa bilang, marilah kita ridha dengan bagian yang telah ditetapkan Allah untuk kita, yang di antaranya lewat ilmu. Insya Allah futuh. Bahkan jika kita malah mencari-cari amaliah yang Allah sendiri tidak menempatkan kita pada posisi itu, maka kita masuk dalam kategori orang yang menuruti syahwatnya, walaupun secara lahir dia menampakkan diri sedang dalam kondisi beribadah. Sungguh hal yang unik dan rumit, disinilah keberadaan ilmu sangat urgent sekali. semoga kita sesuai dengan posisi yang Allah berikan dan di ridhai-Nya.
Di kisahkan oleh Adz-Dzahabi dalam buku Siyar-nya yang terkenal itu bahwa Abdullah al-'Amri al-'Abid menulis surat kepada Imam Malik yang intinya mendorong beliau untuk menyendiri atau 'Uzlah, tidak melakukan aktivitas hariannya dan meninggalkan semua urusannya selama ini, padahal urusan dan aktivitas sang imam selama ini adalah mengajar dan mengaji. Ketika tahu hal itu, maka Imam Malik pun menjawab surat tersebut, beliau menulis: "Allah telah membagi semua aktivitas hambanya, sebagaimana Dia juga membagi rizki mereka. banyak orang yang di futuh oleh Allah dengan amalnya yang berupa shalat, akan tetapi tidak di futuh pada amal puasa. Sedang yang lain di futuh pada amal shadaqah, tidak di puasa dan lainnya lagi di futuh lewat jihad. Sedang nasyrul ilmi atau menyebarkan ilmu baik dengan mengajar atau belajar (ta'lim wat ta'allum) adalah termasuk amal kebaikan yang paling utama, maka saya ridha saat Allah memberi futuh saya lewat nasyrul ilmi tadi, saya kira apa yang di berikan Allah padaku tidak diberikan padamu dan saya berharap kita semua mendapatkan jalannya yang terbaik".
Setelah membaca keterangan ini saya kembali pada kenangan saya yang sudah lama sekali, saya cari-cari lagi hal apa yang bersangkutan dengan kisah Imam Malik di atas dan akhirnya ketemu, yang tak lain dan tak bukan adalah jawaban pertanyaan-pertanyaan saya perihal petuah sang kiai dan guru saya yang tercinta Mbah Moen tersebut. Memang semua sudah ada tempat dan posnya masing-masing, jangan pengen ngabehi atau melakukan semuanya, semua sudah di atur oleh Allah, saya jadi teringat mutiara Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari yang berbunyi:
تنوعت الأعمال بتنوع واردات الأحوال
"Allah menjadikan amalan dalam rangka taqarrub kepada-Nya itu banyak dan berbeda-beda, karena memang warid yang datang pun antara satu dan lainnya berbeda-beda"
Walhasil, saya hanya bisa bilang, marilah kita ridha dengan bagian yang telah ditetapkan Allah untuk kita, yang di antaranya lewat ilmu. Insya Allah futuh. Bahkan jika kita malah mencari-cari amaliah yang Allah sendiri tidak menempatkan kita pada posisi itu, maka kita masuk dalam kategori orang yang menuruti syahwatnya, walaupun secara lahir dia menampakkan diri sedang dalam kondisi beribadah. Sungguh hal yang unik dan rumit, disinilah keberadaan ilmu sangat urgent sekali. semoga kita sesuai dengan posisi yang Allah berikan dan di ridhai-Nya.
NB: Tulisan ini adalah serangkaian upaya membaca petuah-petuah dan ijtihad sang maha guru KH. Maimoen Zubaer, yang murni merupakan kajian penulis. jadi tidak bisa secara langsung dinisbatkan kepada beliau Mbah Moen dan kesalahan murni di tanggung penulis jika ada.