Advertise 728x90

Latest Post

Thariqah Ilmu

Written By Unknown on Monday, September 16, 2013 | 2:21 AM

Dulu sekali, saat-saat saya pertama kali belajar agama di sebuah institusi pendidikan di Indonesia yang di sebut pesantren, tepatnya pesantren Al-Anwar asuhan simbah KH. Maimoen Zubair atau akrab di panggil dengan Mbah Moen, saya merasa kaget dan aneh saat mendengar guru dan Kiai saya yang satu ini dawuhan:
"wes to cung, gak usah tirakat seng aneh-aneh, opo maneh ape dalailan, kowe ngaji temen seng sregep iku wes tirakat". (udahlah nak, tidak usah kau tirakat yang aneh-aneh, apa lagi mau puasa dalail segala, kamu belajar dengan rajin dan semangat itu sudah merupakan tirakat), kurang lebih begitulah wejangan beliau kepada santri-santrinya pada satu kesempatan.
Mungkin orang bertanya letak keanehannya dimana, tapi bagi saya yang alhamdulillah hidup dalam lingkungan keluarga yang rata-rata anggota pernah mencicipi manisnya ilmu di pesantren, hal itu sangat aneh, karena biasanya di beberapa pesantren tertentu puasa (lebih-lebih dalailan) menjadi satu amalan primadona tersendiri, lo tiba-tiba saat saya benar-benar masuk pesantren ee malah oleh Kiainya seakan-akan gak boleh,,kan jadinya ada perasaan aneh tersendiri. yaah,,sebagai santri yang nurut saya mengikuti apa pesan dari Kiai saya tadi, tapi pikiran nakal saya selalu bertanya-tanya dan sampai sekarang masih juga bertanya: "apa alasan utama dari dawuh Kiai saya tadi? apa ada dalil yang mendukung petuah beliau diatas?", dan pertanyaan-pertanyaan semisalnya yang selalu bergoyang-goyang di kepala ini. Pencarian data pun saya lakukan, untuk mendukung petuah singkat Kiai saya tadi atau paling tidak untuk mengetahui dengan lebih mendalam lagi apa memang benar ada referensi literatur klasik yang mendukung ungkapan singkat tadi, buku ini saya baca, buku itu saya baca, kitab ini tak muthala'ah, kitab itu tak muthala'ah tapi gak ketemu juga sebuah dalil atau amaliah dari para ulama salaf yang hampir sama dengan petuah singkat Kiai saya tadi, yah sedikit rasa putus asa hinggap dihati, akhirnya saya tinggalkan pencarian itu.
Suatu hari saya jalan-jalan bersama salah satu teman saya menuju ke salah satu tempat percetakan kitab, di sana saya melihat beberapa kitab yang banyak dalam berbagai macam fan ilmu, asyik memang dan saya bisa betah berjam-jam di dalam percetakan itu, kalo gak malu sama yang jaga, akhirnya saya beli beberapa kitab kecil dengan harga murah yang bisa saya jangkau, saya buka dan olak-alik kitab tersebut untuk membaca sedikit isi dari kitab tadi, tanpa sengaja mata saya tertuju pada sebuah tulisan yang menceritakan surat menyurat antara Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas dan Abdullah al-'Amri al-'Abid (sang ahli ibadah), yang ceritanya kurang lebih begini:
Di kisahkan oleh Adz-Dzahabi dalam buku Siyar-nya yang terkenal itu bahwa Abdullah al-'Amri al-'Abid menulis surat kepada Imam Malik yang intinya mendorong beliau untuk menyendiri atau 'Uzlah, tidak melakukan aktivitas hariannya dan meninggalkan semua urusannya selama ini, padahal urusan dan aktivitas sang imam selama ini adalah mengajar dan mengaji. Ketika tahu hal itu, maka Imam Malik pun menjawab surat tersebut, beliau menulis: "Allah telah membagi semua aktivitas hambanya, sebagaimana Dia juga membagi rizki mereka. banyak orang yang di futuh oleh Allah dengan amalnya yang berupa shalat, akan tetapi tidak di futuh pada amal puasa. Sedang yang lain di futuh pada amal shadaqah, tidak di puasa dan lainnya lagi di futuh lewat jihad. Sedang nasyrul ilmi atau menyebarkan ilmu baik dengan  mengajar atau belajar (ta'lim wat ta'allum) adalah termasuk amal kebaikan yang paling utama, maka saya ridha saat Allah memberi futuh saya lewat nasyrul ilmi tadi, saya kira apa yang di berikan Allah padaku tidak diberikan padamu dan saya berharap kita semua mendapatkan jalannya yang terbaik".
Setelah membaca keterangan ini saya kembali pada kenangan saya yang sudah lama sekali, saya cari-cari lagi hal apa yang bersangkutan dengan kisah Imam Malik di atas dan akhirnya ketemu, yang tak lain dan tak bukan adalah jawaban pertanyaan-pertanyaan saya perihal petuah sang kiai dan guru saya yang tercinta Mbah Moen tersebut. Memang semua sudah ada tempat dan posnya masing-masing, jangan pengen ngabehi atau melakukan semuanya, semua sudah di atur oleh Allah, saya jadi teringat mutiara Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari yang berbunyi:
تنوعت الأعمال بتنوع واردات الأحوال
"Allah menjadikan amalan dalam rangka taqarrub kepada-Nya itu banyak dan berbeda-beda, karena memang warid yang datang pun antara satu dan lainnya berbeda-beda"
Walhasil, saya hanya bisa bilang, marilah kita ridha dengan bagian yang telah ditetapkan Allah untuk kita, yang di antaranya lewat ilmu. Insya Allah futuh. Bahkan jika kita malah mencari-cari amaliah yang Allah sendiri tidak menempatkan kita pada posisi itu, maka kita masuk dalam kategori orang yang menuruti syahwatnya, walaupun secara lahir dia menampakkan diri sedang dalam kondisi beribadah. Sungguh hal yang unik dan rumit, disinilah keberadaan ilmu sangat urgent sekali. semoga kita sesuai dengan posisi yang Allah berikan dan di ridhai-Nya.



NB: Tulisan ini adalah serangkaian upaya membaca petuah-petuah dan ijtihad sang maha guru KH. Maimoen Zubaer, yang murni merupakan kajian penulis. jadi tidak bisa secara langsung dinisbatkan kepada beliau Mbah Moen dan kesalahan murni di tanggung penulis jika ada.

Man Jadda Wajad


Jum'at kemarin, aku terperangah oleh sebuah inbox yang dikirim oleh salah satu Gus yang sudah aku kenal akrab, yang kurang lebih berbunyi: "aku sudah hapal Alfiyah kang,1002 bait, tapi aneh karena aku hapal dalam 2 minggu saja dan ketika muhafadzah pun bisa dikatakan aku paling lancar". sebenarnya, aku tidak terlalu heran atas kabar tersebut diatas, apalagi jika disampaikan oleh Gus yang satu ini, yang memang secara genetik merupakan keturunan para alim ulama, bagaimana tidak? dia adalah salah satu keturunan dari 2 keluarga besar pesantren, yaitu Sarang dan Kempek, yang keduanya telah banyak menyumbangkan kemajuan dan ikut mencerdaskan bangsa Indonesia ini. Tapi, menurut aku pribadi, faktor genetik bukanlah segala-galanya dan tidak pula 100% menjadi penentu keberhasilan Gus tadi, tapi karena adanya upaya mensinergikan faktor genetik dan nafas "MAN JADDA" sehingga yang muncul adalah kekuatan yang beda dari lainnya. hal ini aku dasarkan pada ungkapan Sang Kiai (yang tak lain adalah kakek dari Gus tadi): "Habib iku nek gak ngalim, koyok suwekan kertas Qur'an, nek dibuwak malati, nek di woco gak keno", (Habib itu kalau tidak alim, ibarat kertas sobekan mushaf al-Qur'an, kalo dibuang tidak boleh dan bisa kualat bila dilakukan, maka harus dimuliakan, tapi juga tidak bisa dibaca).
Dalam ungkapan ringan di atas, sang Kiai ingin memberikan gambaran kepada para santri tentang pentingnya ilmu, bahkan orang yang mempunyai darah biru sekalipun kalau tidak berilmu, maka ada kekurangan yang melekat pada dirinya. lalu beliau memberi satu contoh kongkrit, yaitu seorang habib yang tak lain dan tak bukan adalah keturunan baginda Nabi, kalau dipikir, apakah ada nasab yang lebih mulia dari keturunan baginda Nabi? ya kalau sepengetahuanku tidak ada, akan tetapi oleh sang Kiai tadi tetap dikatakan kurang seandainya turunan baginda Nabi tidak alim dan tidak bisa dijadikan rujukan dalam keilmuan, hal yang terakhir ini bisa dipahami dari ungkapan beliau:"nek diwoco gak keno", lalu bagaiamana dengan Gus yang bukan turunan baginda Nabi, jika turunan Nabi saja dikritik demikian oleh sang Kiai. mungkin ada yang bertanya: "dari mana Sang Kiai tadi mengungkapkan kata-kata demikian? atau jangan-jangan hanya kelakar biasa saja", ya mungkin orang lain bisa bilang itu hanya kelakar, tapi sebagai seorang santri aku melihat hal lain, karena setelah aku amati lagi (walaupun sebentar) ternyata ada teks yang secara eksplisit mendukung argumen Sang Kiai tadi, tepatnya pada Hadis riwayat imam Muslim yang juga diriwayatkan oleh An-Nawawi dalam Arba'in-nya Hadis ke-36:
من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه

"siapa yg tidak rajin berusaha, maka jangan harap nasabnya bisa membantunya untuk cepat meraih kesuksesan"
potongan hadis ini disampaikan oleh baginda Nabi dalam rangkaian ungkapan lain dengan tema yang berbeda-beda, yang diantaranya adalah masalah ilmu, lalu ditutup dengan ungkapan diatas. Jadi ungkapan sang Kiai tadi bisa dikatakan sebagai sebuah interpretasi dan refleksi beliau akan hadis Muslim diatas. hanya saja kemudian dibahasakan dengan kata-kata singkat, padat, penuh makna, menggelitik dan tentunya penuh teka-teki yang harus bisa dipecahkan dan dijawab oleh para santri, ya seperti itulah kebiasaan para ulama kita, memakai perlambang sebagai salah satu cara untuk menyampaikan gagasan cerdas dan pemikiran progresif mereka. Tapi sayangnya banyak santri yang tidak memahami atau malah tidak mau memahami itu semua dengan cara-cara yang ilmiah, sehingga yang muncul hanyalah fanatik buta tanpa ada upaya mengkaji pemikiran-pemikiran cerdas itu. Andaikan mereka mau, niscaya mereka akan benar-benar tahu bahwa para guru dan kiai kita terdahulu telah benar-benar melakukan kerja intelektual yang sangat melelahkan, karena mereka berusaha untuk mendialogkan antara kebenaran teks yang hitam putih dan realitas kehidupan sosial maupun berbangsa yang seringnya nano-nano, agar tidak terjadi ketimpangan.
Walhasil, selamat untuk Gus tadi atas keberhasilannya menundukkan Alfiyah Ibnu Malik, dengan cara dihapal yang tak lain adalah metodologi para ulama salaf shalih, saya masih ingat saat ngaji Ibnu Aqil di mushalla pondok ba'da dzuhur dulu, ada ungkapan dalam kitab tersebut yang selalu diulang-ulang oleh penulis kitab tersebut saat mendukung pendapat Imam Sibawaih:
من حفظ حجة على من لم يحفظ
"orang yang hapal mengalahkan argumen orang yang tidak hapal"
Akan tetapi, tentunya hapalan yang disertai pemahaman benar dan akurat, agar tidak masuk dalam ungkapan Imam Abu Zur'ah Al-Iraqi saat mengkritik salah satu ahli bid'ah akan tetapi hafidz:
علمه أكبر من عقله
"ilmunya lebih banyak dan besar dari pada akalnya"
Tapi jangan puas dululah Gus, didepan anda masih ada Alfiah-alfiah lain yang menantang, ada Alfiyah Suyuthi, Alfiyah Iraqi, Alfiyah Zubad, Alfiyah Ajhuri dan bermacam-macam kitab lain yang menantang anda untuk dingaji dan dikaji. Semoga sukses.






NB: Di sampaikan sebagai kado untuk Gus Shabbah Musthafa saat beliau berhasil menghatamkan hapalan Alfiyah Ibnu Malik yang monumental itu.

satu jam saja

Written By Unknown on Sunday, September 15, 2013 | 11:56 PM

Suatu hari, seorang anak kecil masuk ke sebuah ruangan yang tak lain adalah kantor dimana ayahnya bekerja dan menghabiskan waktunya dari pagi hingga sore hari. di sana sang ayah sibuk dengan  berbagai urusan kantor, planing kerja, kontrol karyawan dan tetek bengek urusan kerja lainnya, hingga tak ada waktu sedikit pun untuk sekedar kumpul-kumpul dengan keluarga kecuali saat makan dan tidur, tidak lebih. melihat sang ayah sibuk dan tidak menghiraukan kedatangannya, si anak berkata: "yah..kenapa sekarang ayah jadi lain? gak pernah maen-maen atau cerita-cerita apa gitu sama adek? adek kangen sama dongeng-dongeng ayah..gimana yah, kalo hari ini kita maen-maen dan dongeng-dongeng sebentar?"
"anakku, ayah gak ada waktu untuk maen-maen dan mensia-siakan waktu, ayah sedang sibuk dan banyak pekerjaan, jadi waktu ayah sangat berharga sekali", jawab sang ayah.
"tapi yah, berikan satu jam saja waktumu untuk adek, adek sangat rindu dengan ayah", kata si anak merayu.
"anakku tercinta, ayah melakukan semua pekerjaan ini untuk kalian, dalam satu jam yang adek minta, ayah bisa menghasilkan uang Rp. 100.000. jadi ayah gak punya waktu dek, udah sana adek maen sama ibu saja", kata sang ayah dengan sedikit marah. si anak pun pergi meninggalkan ruangan kerja tersebut.
hari pun silih berganti, sedang sang ayah semakin sibuk dengan pekerjaannya yang semakin banyak dan menumpuk. suatu hari, si anak kembali melihat pintu ruangan kerja ayahnya terbuka, lalu si anak masuk dan berkata: "yah...adek minta uang Rp. 5000. dong? boleh nggak?"
"untuk apa dek, kan setiap pagi udah ayah kasih Rp. 5000. buat apa minta lagi?", kata sang ayah. si anak pun keluar ruangan dengan muka muram nan sedih. tiba-tiba sang ayah merasa bersalah, kenapa dia tidak memberikan apa yang di minta anaknya, bukankah ia bekerja untuk anak istrinya, maka di panggillah si anak dan di beri uang Rp. 5000. saat menerima uang, si anak kelihatan girang dan senang sekali, lalu kembali ke kamar, tapi karena si ayah penasaran apa gerangan penyebab anaknya minta uang lagi, maka di ikutilah si anak tadi dari belakang tanpa di ketahui. sampai di kamar sang ayah melihat anaknya mengangkat bantal tidurnya dan ternyata di bawah bantal tadi terdapat bertumpuk-tumpuk lembaran uang Rp. 5000-an yang tertata rapi. sang ayah kaget dan bertanya: "kenapa adek masih minta uang tambahan, kan adek udah punya uang sebanyak ini?"
"yah...ini adalah uang jajan harian pemberian ayah yang adek kumpulin dan adek sama sekali tidak pernah jajan di sekolah. sekarang telah terkumpul Rp.59.000. dan setelah ayah kasih Rp. 5000. lagi lengkap jadi Rp.100.000. sekarang silakan ayah ambil uang Rp. 100.000. ini dan berikan satu jam saja dari waktu ayah yang mahal itu", jawab si anak dengan tenang dan penuh harap.

Tahlilan: Upaya Moderasi Peradaban

Written By Unknown on Thursday, September 12, 2013 | 10:08 AM

Masyarakat muslim Indonesia adalah salah satu komunitas muslim yang paling banyak memiliki aneka ragam tradisi dan kreativitas budaya. Hal itu bisa kita lihat dari bermacam-macamnya tradisi yang tumbuh berkembang dengan subur dalam tubuh masyarakat kita, dari tradisi yang terbentuk oleh serangkaian dialektika antara ajaran Islam yang dibawa oleh para dai dari Arab ke Indonesia dengan tradisi masyarakat setempat maupun tradisi yang merupakan hasil transformasi tradisi kuno jawa untuk kemudian diislamkan dengan cara memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam tubuh tradisi itu sendiri, hingga pada akhirnya tradisi itu memiliki 'pakaian' yang sama dengan tradisi Budha-Hindu, hanya saja secara substansial nafas Islami adalah sesuatu yang dominan di dalamnya.
Diantara bermacam-macam tradisi diatas adalah sebuah acara ceremonial yang biasa disebut dengan Tahlilan. Umumnya acara tahlilan ini diselenggarakan oleh masyarakat kita dalam rangka untuk mendoakan salah satu keluarga yang sudah meninggal, baik itu dilakukan saat hari-hari awal kematian ataupun jauh-jauh hari setelahnya, sebagai momen untuk mengenang keluarga yang telah meninggal tadi. Tradisi ini telah berkembang dalam masyarakat muslim Indonesia—khususnya Jawa—semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya, yang mana tradisi ini muncul sebagai satu bentuk akulturasi Islam dengan budaya jawa yang telah hidup sebelumnya. Panjangnya kurun waktu yang ditempuh oleh tradisi ini, disamping kapasitas pembawanya, telah menimbulkan sebuah dampak psikis yang luar biasa dalam jiwa masyarakat muslim kita, yaitu peralihan tradisi ini dari maqam tradisi meningkat kepada maqam ajaran agama yang tidak bisa—atau lebih tepatnya tidak mau—menerima kritik keagamaan dan sosial terhadapnya. Puncak dari dampak psikis yang ditimbulkan oleh rentan waktu yang panjang ini adalah sikap masyarakat kita yang memposisikan tradisi kita yang satu ini sebagai salah satu barometer untuk mengukur ketakwaan seseorang. Apakah ini merupakan sesuatu yang benar? Dalam tulisan sederhana ini saya tidak ingin membahas benar atau tidaknya ungkapan diatas, akan tetapi saya ingin lebih menekankan pada substansi dari Tahlilan itu sendiri. Sudahkah masyarakat kita benar-benar memahani substansi dari tradisi ini? Bisakah tahlilan menjadi salah satu media untuk membangun masyarakat yang bermental Islami dan berpikiran progresif dalam menghadapi tantangan modernitas yang tidak bisa dielakkan lagi? Atau malah dia hanya menjadi semacam onggokan patung yang dipahat puluhan tahun yang lalu oleh para kaum intelektual kita dan pada akhirnya hanya bisa dinikmati oleh anak cucunya sebagai sebuah karya seni yang sangat indah dan sakral, tanpa bisa disentuh oleh tangan-tangan lainnya karena hal itu akan merusak kesakralan dan keindahan patung tersebut? Semua ini saya katakan karena pada kenyataannya para pelaku setia tradisi ini belum bisa memposisikan dirinya sebagai agent of change dalam masyarakatnya sendiri, bahkan mereka sendiri—yang notabenenya adalah masyarakat 'santri'—tidak banyak yang aktif untuk membangun masyarakatnya, malah lebih terkesan pasif dan diam saja. Padahal masyarakat secara umum mengidam-idamkan sebuah gerakan riil dari masyarakat santri ini yang tentunya pergerakan ini bertujuan utama untuk membangun masyarakat yang lebih berperadaban dan memiliki kreativitas yang tinggi, sehingga mereka bisa menjadi semacam counter discours dari pergerakan dan kebudayaan transnasional yang masuk dari luar negeri, baik itu dari timur tengah maupun dari barat.
**********
Kata “Tahlilan” diambil dari salah satu kata dalam bahasa Arab “Tahlil” yang tak lain adalah bentuk masdar dari kata kerja “Hallala” dan mempunyai arti pembacaan kalimat tauhid Laa Ilaha Illa-llaah, hanya saja ia telah menjadi sebuah term yang sudah tumbuh dan berkembang dengan subur dalam kultur masyarakat kita. Sehingga sebagai sebuah term yang sudah keluar dari lingkaran makna etimologinya, ia menemukan maknanya sendiri yang sangat berbeda dari makna asalnya, karena saat ia berposisi sebagai sebuah term tertentu ia telah mengalami penyempitan makna dari makna bahasanya, yaitu acara kumpul-kumpul di tempat tertentu untuk melakukan sebuah ritual tertentu pula yang tersusun dengan begitu rapinya. Sehingga ketika sebuah acara yang tidak mempunyai kemiripan dengan bentuk dan susunan dari tradisi tadi, maka tidak bisa dikatakan sebagai tahlilan, walaupun dalam acara tersebut banyak dilantunkan kalimat thayyibah tersebut. Hanya saja tentunya antara makna etimologi dan makna terminologinya terdapat sebuah benang merah yang menghubungkan antara keduanya, yang tak lain dan tak bukan adalah pesan ketauhidan yang sebenarnya menjadi inti utama dari serangkaian acara ceremonial ini dan pesan inilah sebenarnya jarang ditangkap oleh para fans tradisi kita yang satu ini.
Dalam memahami makna tauhid yang terkandung dalam kalimat tahlil itu kita bisa melihat bagaimana seorang Imam Asy'ari memaknai kalimat tauhid tersebut. Beliau berkata: “tidak ada pencipta kecuali Allah semata”. Dari interpretasi Asy'ari yang demikian atas kalimat tahlil, kita bisa mengambil dua poin sekaligus.
Pertama, Seorang muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini—baik itu hal yang baik ataupun hal yang jelek—adalah sesuia dengan ilmu, kehendak dan hanya ciptaan Allah saja, tidak ada pencipta selain Allah. Hanya saja Allah tidak meridhai perbuatan jelek seorang hamba. Disinilah nampak jelas perbedaan antara kehendak dan ridha Allah. Kedua, Setelah seorang muslim meyakini bahwa yang menghendaki dan menciptakan segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah Allah, maka dia pun juga harus meyakini bahwa makhluk pun juga diberi keleluasaan oleh Allah dalam berusaha dan berikhtiar, walaupun yang menciptakan semua yang ada di dunia ini adalah Allah, hanya saja ikhtiar dan usaha seorang hamba pun tidak bisa lepas dari pengetahun, kehendak dan penciptaan Allah. Atas dasar pondasi dua poin inilah dulu peradaban Islam dibangun dengan begitu megah dan dengan begitu indahnya. Sehingga pada waktu itu umat Islam benar-benar layak untuk mendapatkan label Khaira Ummah yang sangat spektakuler itu.
Label Khaira Ummah satu sisi memberikan sebuah kebanggaan tersendiri dalam jiwa kita umat Islam, akan tetapi pada sisi lain juga menimbulkan rasa sedih dan susah, karena tentunya kita harus bisa membuktikan bahwa kita memang benar-benar layak mendapatkan label ini. Karena tanpa adanya pembuktian yang lebih raelistis dalam kehidupan yang nyata, pujian Al-Qur'an yang demikian hanya akan menjadi sebuah fantasi belaka atau hanya manjadi sebuah mimpi di siang bolong, karena tentunya Allah tidak akan menjadikan umat ini sebagai umat pilihan tanpa adanya usaha dari umat tersebut sebagai bentuk dari sunnatullah yang telah berlaku didunia yang fana ini.
Upaya untuk merealisasikan pujian dan janji Allah di atas salah satunya—dan bahkan paling utama dan pertama—adalah dengan benar-benar memahami makna dari kalimat tauhid di atas dan benar-benar menjadikannya sebagai pedoman hidup. Karena substansi dari kalimat tauhid, sebagaimana telah saya jelaskan di atas, merupakan sebuah counter discours terhadap peradaban materialistik yang sekarang sedang tumbuh subur menjadi idiologi hampir mayoritas penduduk bumi. Dari idiologi materialistik ini pulalah peradaban kapitalis barat, yang sekarang dipeluk oleh dunia barat dan diikuti oleh mayoritas dunia timur, lahir untuk kemudian berkembang biak dan menampilkan bermacam-macam varian yang sekarang banyak kita lihat di supermarket-supermarket idiologi yang tersebar di hampir seluruh Indonesia dengan begitu rapi dan teratur, seperti liberalisme pasar, demokrasi, human right, persamaan gender dan masih banyak lainnya1.
  1. Deskripsi Umum Kapitalisme dan Sosialisme.
Budaya kapitalis ini bermula dari buah pemikiran kapitalisme yang dikembangkan oleh seorang pakar Ekonomi berkebangsaan Inggris yang bernama Adam Smith (1723-1790), bahkan bisa dikatakan bahwa semua pemikiran kapitalisme bersumber dari ajaran-ajarannya. Pada tahun (1766) ia menulis sebuah buku yang berjudul “An Inquiry Into The Nature And Causes of Wealth of Nation” yang merupakan buku politik ekonomi. Gagasan besar Adam Smith adalah politik ekonomi pasar bebas, yang bergerak menurut mekanisme yang bebas juga, yang secara otomatis bisa memproduksi barang dan jasa yang disenangi sekaligus diperlukan oleh konsumen2.
Semua itu pada dasarnya merupakan satu bentuk perlawanan terhadap kekuasaan greja yang sama sekali menolak nilai-nilai saintifik dan hanya menunggu sang juru selamat yakni Yesus, tanpa ada sebuah upaya untuk melakukan perubahan. Dan bahkan pihak gereja banyak melakukan inkuisisi atau mahkamah pemeriksaan yang menguji keimanan seseorang, dimana bagi siapa saja yang berbeda dengan keyakinan gereja maka akan disiksa dan dihukum. Hingga pada akhirnya muncullah perlawanan-perlawanan dari berbagai pihak karena adanya sebuah doktrin yang tidak bisa diterima oleh kemanusiaan ini3. Disamping juga kapitalisme ini hanya untuk memenuhi keserakahan manusia-manusia barat yang otaknya sudah termaterialistikan itu, walaupun sebenarnya manusia timur pun juga sudah banyak yang berganti haluan menjadi seorang kapitalis 'sejati', mekipun jika mereka disebut demikian maka mereka akan menolaknya, akan tetapi sikap dan gaya berfikir mereka adalah sebuah bukti yang tak terbantahkan. Bahkan sampai taraf pedesaan sekalipun kita akan menemukan budaya-budaya yang dulunya adalah budaya nyedulur, sekarang sudah menjadi budaya yang kapitalis ini. Contoh paling konkret adalah urusan pernikahan misalnya. Dalam kasus ini saya menjadikan Lebanon sebagai sample yang di sana banyak saya temukan kaum lelaki yang menjadi perjaka tua, karena berat dan tingginya persyaratan seseorang untuk menikahi seorang gadis, yang kesemua syarat itu diukur berdasarkan materi. Dan mungkin budaya itu pun sekarang juga sudah mulai menjadi virus di Indonesia yang notabenenya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan merupakan dunia timur yang lebih mengedapankan tenggang rasa dari pada materi. Akan tetapi kenyataan yang ada adalah semuanya sudah terpengaruh oleh kampanye materialistik barat ini.
Sebagai antitesis dari peradaban kapitalis ini, muncul peradaban sosialis yang sebenarnya juga merupakan anak cabang dari pola pikir materialistik ini pula, hanya saja mempunyai penekanan yang berbeda. Pola pikir sosialis ini sebenarnya adalah sebuah pemikiran yang muncul dari hal yang sederhana, karena ia muncul dari sikap kritis Karl Marx berkenaan dengan produksi dan hubungan antara kapital dan kerja. Kapital dalam hal ini direpresentasikan dengan para pemilik modal atau bos-bos kapitalis yang ada dan mereka walaupun minoritas akan tetapi lebih superior, sedangkan kerja yang direpresentasikan dengan kaum buruh yang walaupun mereka mayoritas akan tetapi mereka inferior. Semestinya hubungan antara kapital dan kerja adalah hubungan paralel yang seimbang, akan tetapi pada kenyataannya kaum kapitalis, yang tak lain adalah kaum borjuis menjadi lebih kaya dan kaya, karena pada akhirnya mereka pulalah yang memiliki barang-barang hasil produksi, memiliki alat-alat produksi dan semua keuntungan yang ada, sementara kaum pekerja yaitu para buruh hanya diopahi saja sebagai ganti dari tenaga kerjanya.
Kaum buruh tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya hingga mencapai taraf yang sama dalam kehidupan dengan kaum kapitalis borjuis, karena mereka terjebak dalam pola hubungan kerja yang justru membuatnya terasing dari hasil produksi dan surplus pekerjaannya, ini adalah merupakan satu bentuk pembodohan terhadap kaum buruh. Bahkan di Perancis—yang pada waktu itu masih dikuasai kaum borjuis—rakyat kecil dan buruh diinjak-injak harga dirinya dengan pembagian gaji yang tidak seimbang dengan kerja, disinilah terjadi perbudakan besar-besaran dan malapetaka kemanusiaan4. Kemudian Marx sendiri punya gagasan bahwa merubah nasib kaum buruh dan rakyat kecil ini tidak bisa terealisasikan kecuali dengan menguasai semua alat-alat produksi kaum kapitalis borjuis yang pada waktu itu berkuasa. Cara menguasai semua alat-alat produksi itu hanya bisa dengan menggunakan kekuatan politik yang pada akhirnya mendorong dia untuk membentuk partai komunis, yang selanjutnya partai ini menjadi wadah perjuangan kaum buruh dan rakyat kecil yang sebenarnya mereka adalah mayoritas masyarakat di dunia ini5.
Hanya saja, dalam kenyataan selanjutnya partai komunis ini membutuhkan para politbiro sebagai representasi dari kaum proletar, yang pada akhirnya orang-orang politbiro ini menjadi diktator baru yang menyengsarakan rakyat, walaupun atas nama diktator proletariat. Lihat saja bagaimana Vladimir Lenin yang menjadi pengikut setia dari ajaran-ajaran Karl Marx pada tahap selanjutnya menjadi penguasa paling bengis dan kejam, karena ia banyak terobsesi taktik-taktik revolusi dan tak henti-hentinya menekankan pentingnya menggunakan kekerasan dalam rangka untuk melakukan revolusi guna menggulingkan sebuah kekuasaan yang kapital. Memang dalam kenyataannya, lenin berhasil melakukan revolusi yang pada waktu itu telah mampu menggulingkan kekuasaan kaisar Tsar Nicolas II, yang mana penggulingan itu sangat terkenal dengan revolusi Bolshevik pada tahun 1917 dan kemudian mendirikan negara komunis di Rusia. Menurutnya problem apapun yang berhubungan dengan perjuangan kelas tidak dapat diselesaikan tanpa adanya kekerasan, sehingga kekerasan dalam idiologi komunis adalah sesuatu yang inheren sebagaimana dinyatakan oleh Marx sendiri tentang pentingnya ada diktator proletar6.
Setelah saya paparkan secara sederhana dua idiologi besar yang pernah hidup dan berkuasa di dunia ini—bahkan mungkin sekarang pun masih hidup dan berkuasa—maka kita bisa menyimpulkan bahwa idiologi pasar yang sekarang berkembang secara umum adalah idiologi kapitalis yang tidak hanya dipelajari dibangku sekolahan, akan tetapi juga sudah mengakar dan menjadi maindset berfikir masyarakat dunia pada umumnya, begitu juga masyarakat Indonesia. Bahkan negara-negara yang secara tegas mengikuti paham komunisme sekalipun, seperti cina misalnya, dalam sistem perekonomiannya pun mereka lebih memilih sistem pasar bebas yang tak lain lahir dari rahim kapitalisme. Lihat saja bagaimana barang-barang buatan luar negeri lebih menguasai dan mudah ditemukan di Indonesia dari pada buatan dalam negeri sendiri. Karena memang akibat dari pasar bebas ini, kemudian perusahaan-perusahaan asing bisa dengan leluasa untuk melakukan impor barang-barang produksinya ke dalam negeri tanpa ada tading aling-aling, lalu di mana peran ajaran Islam yang kita bangga-banggakan itu untuk menghadapi kekuatan kapitalis yang sudah mengglobal seperti ini? Dimana peran tahlilan sebagai counter discours atas kedua ajaran di atas? Kenapa umat Islam hanya menjadi buruh dalam rumahnya sendiri? Semua pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah PR bagi siapa saja yang mengaku sebagai muslim dan meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar dan sempurna.
    2. Tahlilan sebagai solusi.
Tahlilan dengan pengertian yang telah saya jelaskan di atas sebenarnya mengajak kita umat Islam untuk bersikap moderat dalam menyikapi segala kemelut dan problematika yang berkembang di dunia ini, dengan sikap yang moderat ini kita tidak kemudian terjebak dalama ekstrim kanan, yang direpresentasikan oleh kapitalisme, maupun ekstrim kiri, yang direpresantisikan oleh sosialisme. Karena konsep Khaliqiyyatullah dan Kasb yang selama ini dibawa dan dikembangkan oleh NU melalui doktrin ASWAJA memberikan satu pandangan hidup yang seimbang dan moderat. Dengan konsep Khaliqiyyatullah manusia tidak akan kemudian meyakini dan merasa bahwa semua yang dimilikinya—baik itu yang bersifat materi maupun yang bersifat non materi—adalah murni hasil kerjanya sendiri, akan tetapi itu tidak lepas dari anugrah Allah, sehingga sikap-sikap materialistik dengan sendirinya luntur dan hilang dari semua tingkah lakunya. Keyakinan bahwa apa yang dimilikinya bukan merupakan murni hasil jerih payahnya sendiri, akan tetapi anugrah Allah, secara otomatis menuntun seorang muslim menjadi tidak segan-segan untuk melakukan kegiatan sosial berupa bersedekah, infak, zakat dan semisalnya. Karena sebagai implementasi konsep Fadhlullah atau anugrah Allah seseorang muslim pun juga harus berusaha untuk berbagi dengan saudaranya sesama muslim walaupun tanpa imbalan, karena semuanya berdasarkan anugrah atau pemberian dengan sukarela dan secara otomatis konsep ini bersitegang dengan konsep kapitalisme yang kesemuanya diukur dengan materi.
Adapun konsep Kasb adalah satu bentuk peniadaan nilai fatalistik dalam menata kehidupan yang lebih baik lagi. Karena jika konsep yang pertama tidak diimbangi dengan konsep kasb ini, maka kesan yang muncul adalah kesan fatalistik yang menjadikan manusia untuk bermalas-malasan, enggan bekerja dan hanya bisa berangan-angan tanpa ada tindakan nyata. Secara otomatis konsep Kasb menjadi lawan utama dari konsep sosialime yang pada akhirnya menyandarkan kepentingan para proletar kepada orang-orang di politbiro yang kemudian memunculkan wajah diktator dalam sebuah negara. Konsep sosialisme yang pada akhirnya menuntut adanya kesamaan dan pemerataan segala hal bagi semua rakyat, hanya akan memunculkan diktator-diktator dari orang-orang yang duduk di politbiro untuk kemudian semua hal yang berkenaan dengan kemajuan rakyat dibatasi oleh negara, sehingga pada akhirnya rakyat menjadi bodoh dan tidak tahu akan perkembangan dunia luar. Tujuan pembodohan ini adalah kelanggengan kekuasaan seorang diktator dalam satu wilayah tertentu. Berbeda dengan itu, Islam hadir dengan konsep kasb yang menimbulkan sebuah tuntutan bagi manusia untuk aktif, dinamis, progresif dan selalu inovativ untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan ini. Karena memang kreatifitas manusia adalah anugrah Allah yang harus di syukuri oleh manusia dengan selalu giat dalam bekerja dan selalu berfikir maju ke depan. Akan tetapi tidak kemudian menjadi seorang kapitalis seperti orang-orang barat di atas.
Sifat seimbang dan moderat dalam berbagai hal inilah—baik dalam berfikir, bertindak, bekerja dan dalam menyikapi segala hal—sebenarnya yang menjadi ciri khas dari umat ideal atau khaira ummah, yaitu sikap wasathiyah yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an sendiri sebagai keistimewaan umat baginda Nabi Muhammad, sebagaimana hal itu tertera dengan jelas dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
وكذلك جعلناكم أمة وسطا
dan begitulah kami jadikan kalian sebagai umat yang wasath atau moderat
Dan yang memiliki corak wasathiyah ini tak lain dan tak bukan adalah kaum Aswaja itu sendiri, sebagaimana hal itu bisa kita ketahui secara tegas dari penjelasan makna kalimat tahlil yang telah saya paparkan di atas tadi. Bermula dari sebuah iman yang moderat dan kemudian teraplikasikan dalam kehidupan nyata yang moderat juga, karena memang tindakan seorang hamba adalah merupakan pengejawantahan dari keyakinannya. Jika memang keyakinan itu radikal, maka tindakan yang muncul pun bersifat radikal, begitu juga sebaliknya. Jadi sebagai pengusung faham moderat ini, pertama yang harus diperbaiki adalah keyakinan kita agar tidak bersifat radikal, akan tetepi bersifat moderat.
Hanya saja, bagaimana kita kemudian mengembangkan konsep ASWAJA ini dalam tataran dunia nyata sekarang ini yang memang kita harus benar-benar siap untuk bertanding dan berlomba dengan berbagai macam konsep asing di luar ajaran Islam semisal konsep kapitalisme dan sosialisme di atas? Disinilah kelemahan umat Islam sekarang, lebih-lebih kelompok mayoritas yang notabenenya adalah pengikut ASWAJA. Mereka menderita penyakit intelektual, penyakit mental, penyakit idola dan masih banyak penyakit-penyakit kronis lainnya yang harus di obati dengan segera jika tidak ingin mati ditelan sejarah. Di sini ungkapan seorang Syakib Arsalan mendapatkan momentumnya bahwa: “Al-Islam Mahjubun Bil Muslimin”, jadi Islam itu yang menghalangi dia untuk lebih berkembang dan dinamis adalah kaum muslimnya sendiri. Contoh kecil adalah acara tahlilan yang kita lakukan selama ini, tentunya substansi tahlilan tidak hanya sekedar acara kumpul-kumpul yang kemudian diikuti membaca berbagai macam bacaan tanpa adanya sebuah pembangunan mental dan karakter manusia yang berjiwa tahlil itu sendiri. Karena acara kumpul-kumpul yang merupakan acara ceremonial dan tradisi—bagi saya—hanyalah sebuah simbol yang bertutur kepada kita agar membangun masyarakat yang bermental tauhid kuat dan punya solidaritas tinggi terhadap yang lainnya. Dari tahlil pula kita hendaknya memahami bahwa posisi ilmu sangat vital dan urgent dalam kehidupan seorang muslim, karena itu adanya sebuah lembaga pendidikan yang berkompeten dan punya visi serta misi yang jelas dengan menjadikan ajaran tauhid tadi sebagai sumber inspirasi adalah sebuah keharusan dalam rangka memuluskan jalan terbentuknya mentalitas tahlil yang kuat dalam masyarakat.
Dalam tataran ekonomi, kita hendaknya lebih mengedapankan pembangunan ekonomi menengah ke bawah yang memang itu merupakan basis mayoritas masyarakat Indonesia yang lemah. Akan tetapi karena lemahnya mental tauhid kaum muslimin, banyak kita temui mall-mall, supermarket, indomart dan semisalnya banyak berdiri dimana-mana dan diminati oleh hampir kebanyakan kaum muslimin, sehingga kaum papa dan para pekerja UKM pun akan semakin miskin dan kere, lagi-lagi yang untung adalah kaum borjuis yang sekarang pun saya kira juga sudah banyak kaum borjuis muslim. Di antara upaya membangun masyarakat kita agar menjadi masyarakat Madani adalah kita juga harus mulai membina dan mengembangkan orang-orang yang berpotensi dan memiliki kredebilitas, tanpa ada rasa saling dirugikan, akan tetapi semua itu adalah dalam rangka membangun masyarakat muslim yang lebih baik dan berkembang. Masih banyak sebenarnya yang ingin saya paparkan, akan tetapi karena waktu sudah malam dan saya sudah mulai lelah juga ngantuk, jadi saya cukupkan sampai sekian dulu tulisan ini, kapan-kapan kita sambung lagi diskusi dengan tulisan ini. Semoga kita tidak termasuk orang yang menjadikan tahlilan sebagai simbol belaka, bukankah begitu?




Kalisari, 1-Dz. Qa'dah-1434 H




1Tim Hidayatullah (2010), Spektrum Peradaban Islam, Surabaya: Optima. Hal: 194-195.
2Ibid. Hal: 189.
3Dalam dunia Islam pernah terjadi sebuah peristiwa sejarah yang hampir sama dengan polemik inkuisisi gereja kristen ini, yakni peristiwa dimana pemerintahan Abbasiyah yang pada waktu itu di bawah kepemimpinan Al-Ma'mun menetapkan Mu'tazilah sebagai sebuah aliran resmi negara. Di sana Al-Ma'mun menyuruh para pemimpin keagamaan—yang tentunya dari kalangan Mu'tazilah—untuk menguji setiap orang agar mau menerima idiologi bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Sehingga dalam sejarah Islam kita sering mendengar kisah Mihnah khalqil Qur'an (inkusisi kemakhlukan Qur'an) dan kepahlawanan seorang Imam Ahmad bin Hanbal yang tidak mau menuruti permintaan mereka sehingga dihukum cambuk. Lihat KH.M. Najih Maimoen (tt), Haqiqatu Ahlis Sunnah Wal Jama'ah bi Aqlamil Ulama Dzawil Bara'ah, Sarang: al-Maktabah Al-Anwariyah. Hal:29.
4Tim Hidayatullah, Op. Cit. Hal: 199.
5 Ibid. hal: 200
6 Ibid.

Senja Hari Di Kota Beirut

Written By Unknown on Tuesday, September 10, 2013 | 4:58 AM



Kala mentari mulai kembali ke peraduannya
Tenggelam perlahan ke dalam ufuk alam
Menitipkan cahaya merahnya pada langit malam
Guna ucapkan salam perpisahan
Pada tanah Beirut yang indah nan nyaman

Suasana pagi yang indah, di iringi hembusan angin lembut
Berhembus di antara bangunan-bangunan yang tinggi
Seakan menjadi saksi bisu, akan kehangatan kebersamaan
Dan keindahan persatuan di antara kita

Pergantian musim menambah indahnya canda dan tawa
Yang kita rangkai menjadi butiran-butiran mutiara kenangan
Kita tulis dan kita susun dalam album kenangan
Yang tak akan hilang, tak akan lekang oleh
Perputaran zaman dan gelombang kehidupan
Canda, tawa dan kebersamaan itu seakan baru tadi pagi
Menghiasi hari kita, mengisi lubuk hati kita dengan
Rasa cinta dan damai

Namun kala senja itu datang, kala mentari berpamitan
Meninggalkan alam, seolah canda, tawa dan kebersamaan
Tak ikut tenggelam ke dalam ufuk alam
Wahai kawan, bukanlah kami meninggalkan kalian
Namun, kita hanya berpisah sementara waktu
Janganlah kalian jadikan perpisahan ini akhir pertemuan kita
Melainkan jadikan perpisahan ini sebagai jembatan akan
Kelanjutan hubungan kita

Kawan, meskipun raga dan tubuh kita berpisah
Yakinlah jiwa dan hati kita tidak akan terbelah
Namun akan selalu tertanam di sana rasa cinta
Yang selalu tumbuh merekah

Kiranya beberapa bait-bait di atas sebagai pengantar akan kepulangan para teman-teman, terlebih kepada kedua sahabat dekatku, kang Dhiya' dan Gus Farid.
Suara merdu adzan yang berkumandang di menara masjid Burj Abi Haidar akan selalu mengingatkanku kepada kang Dhiya', di mana kita selalu bersama belajar, melantunkan ayat-ayat ilahi dengan dengan penuh rasa nyaman dan damai. Tak lupa, kita juga selalu bersama melantunkan matn-matn dari kitab ulama-ulama terdahulu. Meskipun waktu kebersamaan kami sangatlah terbatas, sangatlah sebentar, namun kebersamaan tersebut membawa pengaruh yang sangat positif dan peningkatan yang sangat signifikan bagi diri saya pribadi.
Perpisahan memang sesuatu yang tidak mungkin terelakkan kedatangannya, mau atau tidak pasti hal tersebut akan datang menghampiri kita. Perpisahan itu sangatlah menyakitkan terlebih dengan orang yang kita rasa dia telah memberikan arti penting terhadap hidup kita. Meskipun hal itu terasa berat bagi kita, namun kita harus tabah dan rela melepaskannya, mungkin barangkali perpisahan itulah membawa sisi positif yang lebih baik dari sebelumnya.
Banyak sekali kenangan-kenangan yang tertuang dalam secarik kertas bersama kang Dhiya', namun dari kenangan-kenangan manis tersebut, satu yang akan selalu terkenang bagi diri saya pribadi adalah ketika beliau dengan tulus dan ikhlas mengantarkanku dari bumi Beirut, Lebanon menuju ke kota suci Makkah melalui perantara “Lathaiful Isyarat”, sebuah kitab Ushul Fiqh karangan As-Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds, penjelasan dari Nadzam “Tashilut Thuruqat Li Nadzmil Waraqat”. Begitu indahnya perjalanan dari Beirut ke Makkah mengarungi bentangan samudera Ushul Fiqh, menyelami dalamnya samudera tersebut guna menemukan mutiara dalil-dalil Fiqh yang bersifat kolektif, meskipun banyak ombak-ombak yang menghalangi, menerjang dan menghampiri perjalanan kami yang pada akhirnya kami mampu melabuh sampai ke tepian dari samudera “Lathaiful Isyarat” ini dengan di bantu oleh kang Dhiya' dengan rasa ikhlas dan tanpa pamrih.
Sebelum mengarungi samudera “Lathaiful Isyarat” beliau juga sudah mengantarkanku berkunjung menikmati kejelian dan kedalaman pola berfikir As-Syaikh Abdurrahman Al-Akhdhari melalui karyanya yang berjudul “Sullamul Munawwaraq”, bagaimana beliau menguntai kumpulan-kumpulan pola berfikir yang sangat jeli dan dalam. Setelah merasa cukup atas kunjungan ini, barulah beliau mengajakku mengarungi samudera tersebut.
Pada akhirnya, datanglah waktu perpisahan antara kami, memori-memori ketika saat suka maupun duka secara perlahan akan tertuang dalam beberapa lembar kertas, hingga akhirnya lembaran-lembaran itulah yang akan menjadi obat penawar rindu di antara kami.
Ketika beliau memintaku untuk menulis suatu tulisan yang berisi nasehat atau kata-kata mutiara, rasanya hal itu sangatlah tak layak di tujukan untukku, apalagi melihat kapasitas diriku yang masih belum dikatakan mencapai kata maksimal. Namun, aku tetap berusaha membalas jasa beliau selama ini. Dengan susah payah aku berfikir, mungkin inilah nasehat atau harapan seorang adik pada kakaknya: “Kang, jaga diri sampean baik-baik. Jangan lupa doakan aku supaya apa yang aku cita-citakan bisa tercapai, perjalanan 4 tahun kedepan ini sangatlah berat tanpa keberadaan sampean di tempat ini. Jangan lupa doakan aku agar hafalan al-Qur'anku segera selesai dengan hafalan yang memuaskan dan kuat. Berusahalah merawat diri sampean dengan baik, karena cepat atau lambat sampean akan segera menempuh hidup baru bersama belahan tulang rusuk sampean. Kiranya hanya itu yang saya bisa sampaikan, mohon maaf kalau selama ini aku selalu menyusahkan dan merepoti sampean. Salamku untuk semua keluarga di Indonesia”. Akhirul kalam.

أستودعكم الله الذي لا يضيع ودائعه


Beirut, 27-Juli-2013 M

M. Muthahar. H.A.
 

Guru, Psikiater Dan Dokter

Written By Unknown on Thursday, September 5, 2013 | 11:51 PM

Suatu hari, seorang santri di salah satu pesantren terlihat berjalan mondar mandir, gurat-gurat kebingungan nampak jelas diwajahnya. Sebatang rokok samsoe yang dijepit jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya mengepulkan asap yang membumbung tinggi ke atas. Setiap detik waktu berjalan dengan lamban, asap-asap rokok keluar diantara kedua bibir mulutnya yang masih nampak merah muda, sebagai tanda bahwa pemiliknya bukanlah seorang perokok. Tanpa ia sadari, aku mendekat disampingnya dengan membawa secangkir kopi hangat dengan asap yang mengepul pula, tak kalah dengan asap rokok temanku tadi, aku sodorkan kepadanya: “minumlah, mungkin kehangatan kopi ini bisa sedikit meringankan beban dalam hatimu”, dengan mata tajam ia memandangiku, seniornya yang menjadi teman diskusi serta curhatnya dalam berbagai macam kajian di pesantren. Sruupp...suara sruputan kopi yang diminum dengan pelan dan penuh perasaan aku dengar muncul dari bibirnya. Tapi anehnya, setelah ia meminum satu sruputan kopi tadi, air mata meleleh dari kedua pelupuk matanya, semakin lama tambah deras saja air mata itu mengalir, lalu dengan nada yang tinggi dia berkata: “kang, saya baru saja dipukul pak guru di kelas tadi”, aku pun bertanya: “memangnya kenapa sampeyan kok dipukul pak guru? Sampeyan nakal to atau sampeyan tidak hapal pelajaran dikelas?”, “bukan karena itu semua kang, akan tetapi hanya gara-gara saya lupa memberi tanda silang (X) pada absensi yang menjadi tanggung jawab saya”, mendengar jawaban yang sedemikian rupanya, terbersit sebuah pertanyaan dalam hatiku: “manakah yang lebih bermanfaat bagi siswa, apakah sistem pembelajaran dengan kekerasan itu lebih bermanfaat atau sebaliknya? Yakni dengan kelembutan dan penuh kebijaksanaan”.
Yah, tentunya kita semua sudah mengetahui serta menyadari bahwa kemampuan dan karakter manusia itu berbeda antara satu dan yang lainnya. Dalam dunia pendidikan, perbedaan karakter dan kemampuan itu sangat nampak sekali pada diri para siswa dan siswi. Ada beberapa karakter anak didik dalam bergaul, baik dengan guru maupun teman lainnya dan disertai pula dengan kemampuan yang berbeda juga. Antara lain sebagai berikut:
  1. Kelompok siswa dengan kecerdasan yang super, bahkan bisa dikategorikan dalam tingkatan jenius, disertai dengan semangat yang tinggi untuk belajar dan berdiskusi, sehingga seorang guru tidak perlu untuk bersusah payah mengajarinya ataupun mengajaknya untuk mengikuti kegiatan yang ada, karena memang dia sudah aktif tanpa ada dorongan dari luar dirinya.
  2. Kelompok siswa dengan kecerdasan dan kemampuan akal yang sama, akan tetapi dia malas untuk belajar, mengikuti kegiatan dengan berbagai macamnya ataupun berdiskusi dengan teman-temannya. Karakter siswa yang demikian adalah bagaikan macan yang tertidur, seorang pendidik hanya perlu membangunkannya serta memberikan dorongan dan semangat agar dia rajin belajar dan aktif mengikuti berbagai kegiatan pembelajaran yang ada.
  3. Ada juga jenis siswa yang cerdas, hanya saja sikap kritis dalam dirinya menjadikan dia suka membangkang tarhadap aturan ataupun perintah gurunya. Murid dengan karakter seperti ini pun jangan kemudian disikapi dengan kekerasan, akan tetapi sikap kritis tadi kita arahkan pada hal yang benar dan seorang guru harus selalu berusaha agar siswa dengan karakter seperti ini menjadi manusia yang lembut dengan dihiasi akhlak yang terpuji.
  4. Kadang kita temui jenis anak didik yang rajin, lembut serta penurut, akan tetapi kemampuan akal yang dimilikinya biasa-biasa saja atau bahkan seringnya mereka masuk dalam kategori siswa yang lemah kamampuan akal dan lamban dalam berfikir, siswa dengan karakter seperti ini membutuhkan perhatian yang lebih, motivasi, dorongan semangat dan uluran tangan dari seorang guru.
  5. Ada juga jenis murid yang lemah kemampuan akalnya dan lamban dalam berfikir—dengan kata lain dia telmi atau telat mikir—ditambah lagi dia orangnya pemalas, tidak mau belajar ataupun mengikuti berbagai kegiatan yang ada. Jika seorang pendidik atau guru bertemu dengan siswa dengan karakter terakhir ini, maka dia harus punya jiwa yang super sabar dan selalu berdoa agar siswanya yang berkarakter seperti ini bisa baik serta sukses dikemudian harinya. Jangan kemudian dia dicaci, dihina atau sampai dipukuli, karena kadang-kadang siswa dengan karakter seperti ini bisa sukses dikemudian harinya, semua itu tidak lepas dari kegigihan, kesabaran serta keikhlasan dan ketulusan seorang guru.
  6. Dan yang lebih menantang lagi adalah jika seorang guru bertemu dengan jenis siswa yang telmi dan bodoh, ditambah lagi dengan akhlak yang tidak terpuji, dia suka membangkang dan tidak taat aturan. Bagi saya pribadi jika kita bertemu dengan siswa model seperti ini, yang pertama kali kita tanamkan dalam hati adalah jangan sampai kita merasa benci atau tidak suka terlebih dahulu atau negative thingking dulu, jangan pula kita putus asa lalu menjadikan kenakalannya sebagai dalih bagi guru agar boleh melakukan tindakan pemukulan atau kekerasan lainnya. Akan tetapi, kita ajak siswa dengan tipe seperti ini untuk berbicara dari hati ke hati, sebenarnya apa problem yang terjadi dengan diriya? Kenapa ia membangkang sedemikian rupa?
Demikian adalah sedikit ulasan tentang berbagai macam karakter dan jenis anak didik dalam dunia pendidikan, serta bagaiamana semestinya seorang guru menyikapi beda-bedanya karakter yang ada. Saya pribadi tidak memasukkan pemukulan dalam metode pendidikan. Karena bagi saya, sebesar apapun kerusakan yang terjadi, maka kerusakan itu hanya bisa diperbaiki dengan cara-cara yang penuh kebijaksanaan dan cara-cara yang damai, bukan dengan kekerasan. Kalaupun harus bersikap keras—dalam hal ini dengan pemukulan dan semisalnya—maka hendaknya seorang guru memperhatikan lagi niat dan tujuan dari dia memukul muridnya tadi. Jangan sampai kekerasan tadi muncul dari rasa benci, memusuhi atau bahkan dendam, karena hal yang demikian pun akan hanya meninggalkan perasaan dendam dan benci dalam hati si murid tersebut. Sehingga tidak aneh kalau kadang kita temukan si murid yang menjadi korban kekerasan tadi pun akan melampiaskan rasa sakit hatinya pada muridnya lagi, saat kelak dia menjadi seorang guru, yah...semua ini muncul dari kesalahan niat dalam bertindak. Disamping juga hanya akan menimbulkan sikap tunduk jika murid didepan gurunya, akan tetapi berani membantah, melawan dan bahkan tidak segan-segan untuk mencaci gurunya saat tidak ada didepannya. Tentunya hal seperti itu tidak kita inginkan. Seperti kasus teman saya di atas adalah hal yang tidak kita inginkan, lebih-lebih teman saya adalah orang yang cerdas, penurut dan aktif dalam berbagai kegiatan pendidikan, baik kegiatan intra pesantren maupun ektra pesantren, bahkan saking cerdasnya dia mampu menghapalkan kitab sebesar Fathul Qarib. Akan tetapi hanya karena adanya problem ringan yang bersentuhan langsung dengan gurunya seperti itu akhirnya ada keinginan dari dia untuk keluar pesantren setelah sebelumnya dia menghisap hampir 4 batang rokok, padahal saya kenal bahwa dia bukanlah perokok.
Semua hal diatas adalah karena mempertimbangkan bahwa mestinya seorang dai ila-llah—khususnya guru dalam bidang agama—adalah orang yang memiliki sifat welas asih dan memperhatikan kemaslahatan umat Islam, tanpa memperdulikan apakah umat tersebut adalah orang yang shalih ataupun pelaku ma'siat. Bahkan dikisahkan bahwa seorang Abu Muslim Al-Khaulani ketika melewati suatu kaum tertentu dia tidak mau mengucapkan salam pada kaumnya itu, saat ditanya kenapa beliau tidak mau mengucapkan salam, beliau jawab karena dia khawatir kaum tersebut tidak menjawab salamnya dan mereka mendapatkan dosa disebabkan oleh beliau. Semua ini dilakukan pada dasarnya adalah karena sangat welas asihnya beliau terhadap kaumnya tadi. Begitu juga Ma'ruf Al-Karkhi, saat beliau melewati sekelompok manusia yang sedang berkumpul-kumpul untuk minum arak, lalu ada yang berkata kepada beliau: “hendaknya anda mendoakan jelek kepada umat yang ahli ma'siat ini!”, maka seketika beliau mengangkat tangan dan berdoa: “ya Allah, sebagaimana engkau bahagiakan mereka dengan dunia, maka bahagiakanlah mereka dengan akhirat”, mendengar doa Ma'ruf tadi, nampak raut muka keheran-heranan pada wajah orang yang memintanya untuk berdoa tadi, lalu mereka berkata: “kami meminta agar anda mendoakan jelek untuk mereka, tapi kenapa malah anda mendoakan baik kepada mereka”, beliau pun menjawab: “siapa saja yang tidak melihat orang-orang yang durhaka itu dengan pandangan rahmat atau welas asih, maka dia sebenarnya telah keluar dari Thariqah kami”1, dan masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang tertulis dalam buku-buku agama yang kesemuanya menunjukkan bahwa seorang dai haruslah punya jiwa yang welas asih, bukan pemarah. Sehingga benar-benar bisa mempraktekkan ucapan baginda Nabi Muhammad: “berilah kabar kembira, janganlah jadikan orang-orang itu lari”. Kalau hal ini dipraktekkan terhadap umat Islam secara umum, lalu bagaimana dengan murid mereka sendiri, tentunya hal itu lebih lagi.
Dalam kondisi seperti inilah ungkapan syair Arab yang dikutip oleh Sayyid Ahmad Al-Hasyimi dalam bukunya Uslubul Hakim, menemukan momentumnya. Di sana dikatakan:
وعلاج الأبدان أيسر خطبا # حين تعتل من علاج العقول
mengobati tubuh manusia yang sakit itu lebih mudah dari pada mengobati hati yang sakit
Begitu juga pepatah yang mengatakan: “guru adalah dokter bagi muridnya”, karenanya dia harus mengetahui kondisi kejiwaan seorang murid untuk kemudian mengobatinya, sebagaimana seorang dokter harus mengetahui penyakit dari pasiennya. Jangan sampai pasien yang sakit kepala diberi obat promag yang gunanya untuk obat sakit perut. Jangan pula pasien yang mual-mual sakit perut dan mencret diberi obat sakit kepala atau malah dioperasi. Memang jika dilihat, sekilas problem seperti ini ringan dan biasa-biasa saja, akan tetapi jika dibiarkan tanpa ada penanggulangan yang tepat maka bisa-bisa menjadi penyakit yang kronis dan berbahaya dalam tubuh sebuah lembaga pendidikan, pelan tak terasa akan tetapi mematikan dan bisa membunuh secara tiba-tiba, sungguh tragis sekali hal seperti itu. Guru yang ditunggu-tunggu adalah guru yang memahami penyakit muridnya, memahami kejiwaan muridnya serta bisa mengobatinya, inilah guru yang sekaligus menjadi seorang psikiater dan dokter.
Lebih tragis lagi adalah sikap para guru yang hanya datang masuk kelas, menyuruh anak muridnya untuk membaca buku sendiri atau mengerjakan buku tugas atau hanya menjelaskan saja tanpa ada sebuah kelanjutan apakah si murid sudah benar-benar faham atau belum? Sudahkah si murid benar-benar bisa mencerna dan bahkan hapal terhadap materi yang dia sampaikan atau belum? Yah mendidik yang sebenarnya adalah sebuah tindakan mulia, sekarang hanya tinggal profesi belaka. Guru yang seharusnya selalu berusaha tulus dalam mengajar, sekarang kebanyakan—kalau tidak semua—bermental fulus. Jika para gurunya bermental yang demikian, lalu bagaimana nasib pemuda bangsa kita nantinya? Banyak orang yang mengira bahwa beribadah khusyu' di masjid itu lebih baik dari pada bekerja, sehingga pada tahun-tahun terakhir ini kita melihat banyak orang yang mencari uang dengan jalan menjadi para juru dai yang manggung ke sana dan ke mari. Padahal hal itu tidak benar, karena bagaiamanapun orang yang menjadikan agama sebagai bahan ataupun media untuk mencari duit maka dia telah berbuat kesalahan, karena agama adalah medan berjuang kita, bukan media untuk mencari duit dan kedudukan dimata masyarakat, akan tetapi untuk mencari kedudukan di akhirat nanti, bukan di dunia yang sebentar ini.
Para ulama terdahulu lebih mementingkan bekerja untuk mencukupi dirinya serta orang-orang yang menjadi tanggungan kewajibannya atau dengan tujuan agar tidak meminta-minta kepada orang lain, dari pada melakukan ibadah-ibadah fardhu yang waktunya masih lebar (muwassa'), lebih-lebih ibadah sunnah yang sama sekali bukan merupakan kewajiban. Banyak orang sekarang yang mengira hanya dengan mengikuti kumpulan dzikir Thariqah lalu dia bisa menjadi orang yang tinggi derajatnya di akhirat nanti, sementara keluarganya masih butuh nafakah yang menuntut dia untuk bekerja lebih giat lagi, semisal untuk anaknya yang belajar agar memahami pokok-pokok ajaran Islam yang benar atau agar bisa mencapai tingkatan seorang mufti dan bahkan kalau bisa mencapai tingkatan seorang Mujtahid dengan berbagai kreterianya. Bukankah Al-Imam An-Nawawi berkata dalam mukaddimah kitab Minhajut Thalibin: “belajar ilmu agama adalah sebaik-baiknya ketaatan dan kegiatan paling utama yang dilakukan seseorang untuk memanfaatkan waktunya yang paling berharga”?2, begitu juga dengan kerja, bahkan seorang Amirul Mu'minin Umar ibnul Khattab pun berkata: “janganlah kalian hanya duduk-duduk saja di masjid dan tidak bekerja untuk mencari rizqi, lalu dengan pongahnya berkata: ya Allah, berilah saya rizqi. Ini adalah tindakan yang bertentangan dengan sunnah dan kalian sudah tahu sendiri bahwa langit tidak mungkin menurunkan hujan emas ataupun perak”. Imam Ahmad bin Hanbal pun ketika ditanya tentang seseorang yang hanya duduk rumah atau di masjid saja tanpa mau bekerja lalu berkata: “saya tidak akan bekerja sama sekali sampai Allah sendiri yang akan memberikan rizqinya padaku”, maka Imam Ahmad berkata: “ini adalah orang yang tidak paham ilmu. Apakah dia tidak pernah mendengar bahwa baginda Nabi Muhammad berkata: Allah menjadikan rizqiku dibawah bayang-bayang pedangku”3. Bukankah mereka ini adalah ulama-ulama yang punya kapasitas tinggi dan sangat layak kita ikuti? Kalau bukan mereka yang kita ikuti, lalu siapa?





Sayung, 29-Syawal-1434 H
1Abdul Wahhab As-Sya'rani (tt), Tanbihul Mughtarrin, Surabaya: Syarikah Nur Asia. Hal: 47.
2 Yahya bin Syaraf An-Nawawi (tt), Minhajut Thalibin, Surabaya: Syarikah Al-Haramain. Vol: 1 Hal: 8-9. dalam menjelaskan hal ini, Al-Mahalli yang merupakan komentator atas kitab Minhaj berkata: “perkataan An-Nawawi itu karena memang amal taat itu ada yang fardhu dan ada yang sunnah, dan tentunya yang fardhu lebih utama dari pada yanag sunnah, sedang belajar dan menyibukkan diri dengan ilmu agama masuk dalam kategori fardhu kifayah”. Bahkan ada yang sampai fardhu 'Ain.
3Abdul Wahhab As-Sya'rani, Op. Cit. Hal: 126.

Bingkisan Lebaran Untuk Adek

Written By Unknown on Sunday, September 1, 2013 | 1:47 AM

Malam ini, gemuruh takbir bertalu-talu diiringi irama ketukan-ketukan bedug yang menggema, terbentuklah sebuah simfoni musik yang merdu nan ramai dimalam yang penuh khidmat ini, kakak tak tahu dek, sungguh kakak tak tahu, kenapa air mata ini tak jua kunjung berhenti, padahal malam ini adalah malam paling bahagia nan menggembirakan bagi umat Islam, kakak masih ingat dek bagaimana rasanya berlebaran jauh dari orang-orang yang kita cintai, jauh dari budaya yang selama ini memanjakan tubuh dan nafsu kita, jauh...jauh...dan jauh dari segala sesuatu yang mungkin sangat kita harapkan, dek...saat ini, di malam ini kakak teringat bagaimana kita dulu merayakan malam 'ied bersama di negeri antah berantah sana, kakak tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu malam ini, dan kakak pertama-tama ingin meminta maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa menemani adek malam ini.
Kakak tidak ingin banyak bicara atau banyak basa basi dek, karena surat ini pun hanyalah merupakan jawaban atas permintaanmu sebelum kakak pulang, akan tetapi kakak tidak bisa memenuhinya saat itu juga, karena waktu yang sangat terbatas dan fikiranku pun terforsir untuk khidmah pada sampean, Gus Lukman dan ustadz Innaka Kamal, jadi sulit untuk merealisasikan hal itu, nah sekarang inilah kakak baru ada waktu dan berusaha untuk menulis surat ini, semoga bisa selesai dan nantinya membawa manfaat bagi kita semua.
Dalam surat yang singkat ini ada beberapa hal yang ingin kakak bicarakan secara lebih khusus antara kakak dan anda dek, semoga saja hal tersebut nantinya akan bermanfaat bagi anda..ya paling tidak bisa anda jadikan sebagai “dzikra” bahwa anda pernah bertemu dengan orang yang seperti kakak, yang sak karepe dewe, gak bisa di atur, liar, sering ngamuk, sering ngakon yang tidak-tidak dan bahkan mungkin ada yang menyebut kakak orang Liberal..he..he..biarlah orang menyebut kakak bagaimana, yang penting bagi kakak adalah bagaimana nanti kalau kakak sowan dan kembali pada sang Kholiq.
Pertama, kakak ingin berbicara tentang arti sebuah persahabatan, kenapa kakak berbicara tentang hal ini? tak lain dan tak bukan adalah karena yang menjadikan anda bisa akrab dengan kakak, anda bisa kenal dengan kakak, anda mau mendengarkan ocehan dan celoteh kakak adalah makhluk yang disebut persahabatan ini, mungkin disana banyak orang yang mengaku berteman, konconan dan bersahabat, akan tetapi ia sendiri—bagi kakak—tidak faham apa itu arti sebuah persahabatan dan bagaimana menjalinnya atau bahkan anda sendiri sekarang sedang bingung untuk memulai persahabatan baru dengan orang lain, sehingga masih dalam kesendirian...he..he..kakak masih ingat dalam sebuah buku yang berjudul Tanbihul Mughtarriin (pengingat bagi orang-orang yang tertipu) buah karya Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya'rani disebutkan sebuah kata mutiara yang dinisbatkan kepada Abdullah bin Mas'ud, ungkapan itu berbunyi:
إذا صحبت أحدا لا تسأل عن مودته لك ولكن انظر ما في قلبك له و نفسك فإن ما عندك مثل الذي عنده على حد سواء
jika engkau berteman dengan seseorang, maka janganlah kau tanyakan tentang cintanya padamu, akan tetapi lihatlah hati dan dirimu sendiri (sudahkah anda mencintainya), karena apa yang ada dihatimu sama dengan apa yang ada dihatinya”.
Ungkapan seorang Ibnu Mas'ud diatas—bagi saya, entah bagi anda—merupakan satu pijakan yang yang luar biasa untuk memahami apa itu esensi dari sebuah kata “cinta” atau kata “persahabatan”. Kebanyakan orang—mungkin saya masuk didalamnya—hanya selalu mengeluh, mengaduh dan merasa susah jika berteman dengan orang-orang yang kurang dicocoki, lebih susah lagi jika mereka kumpul satu atap, maka lengkap sudah kesusahan itu, kalau tidak sabar-sabar bisa saja kita akan selalu mencaci atau bahkan akan menghujatnya. Hanya saja yang masih mengganjal dalam hatiku, kenapa ada semua cacian dan hujatan itu? Bukankah kadang atau bahkan seringnya, kita juga menemukan hal yang tidak kita cocoki dari teman yang kita cocoki? Karena menurut keyakinan saya, tidaklah mungkin manusia cocok dalam segala hal, sama plek tanpa ada perbedaan sama sekali, itu menurut saya adalah hal yang sangat sulit terjadi kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Coba saja kita renungi ayat suci Al-Qur'an di bawah ini:
لو أنفقت ما في الأرض جميعا ما ألفت بين قلوبهم
andaikan engkau (wahai Muhammad) menginfakkan semua apa yang ada di bumi ini, niscaya kau tidak akan mampu untuk menyatukan semua hati manusia”.
Jika ayat di atas adalah firman Allah terhadap makhluk terkasihnya yaitu baginda Nabi Muhammad, lalu bagaimana dengan kita yang hanya manusia biasa dan bukan apa-apa? Lalu yang jadi pertanyaan adalah mengapa kita bisa sabar terhadap orang yang kita cocoki disaat-saat dia tidak cocok dengan kita, sementara dengan yang lain kita tidak bisa sabar? Dari ungkapan Ibnu Mas'ud diatas pun kita juga bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa apa yang disebut “cinta” atau “persahabatan” selama ini banyak yang hanya berlandaskan egoisme semata, tidak lebih. Kakak tidak memfonis bahwa semua cinta dan persahabatan sekarang berlandaskan egoisme semata—dan semoga persahabatan dan kisah 'cinta' kita pun juga karena Allah—akan tetapi banyak kita temukan hal itu dalam lingkungan di mana kita hidup, bahkan dalam lingkungan asrama yang kita pernah hidup bersama sekalipun. Disana banyak kita lihat orang berteman dengan yang lain hanya demi kepentingan pribadi saja, ada yang karena ingin mendapatkan posisi dan kedudukan di mata orang-orang, ada yang karena ingin mendapatkan perhatian lebih dan bahkan ada pula yang hanya ingin menambah relasi, ujung-ujungnya semua itu hanyalah untuk kepentingan duniawi saja, tidak lain. Apakah tujuan-tujuan di atas salah? Jawabannya adalah tidak, akan tetapi apakah hanya itu saja tujuan kita bersahabat dengan seseorang? Sungguh rugi mereka-mereka yang hanya menjadikan hal-hal diatas dan semisalnya sebagai tujuan dalam bersahabat. Begitu halnya dengan “cinta”, apakah kita mencintai seseorang memang murni karena cinta ataukah hanya karena egoisme pribadi kita sendiri? Maukah kita mencintai orang yang memusuhi kita? Kalau dengan wanita, maukah kita mencintai seorang wanita bukan karena kecantikannya, bukan karena nasabnya, bukan karena hartanya yang sebenarnya semua itu adalah keuntungan yang akhirnya kembali pada diri kita sendiri. Mari pertanyaan-pertanyaan tersebut kita tanyakan pada diri kita pribadi, sudahkah kita berhias dengan sifat-sifat tersebut atau paling tidak kita berusaha untuk melakukannya. Jika kita renungi lebih dalam lagi, betapa agung dan luar biasanya sabda baginda Nabi Muhammad yang berbunyi:
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
dan saya kira ungkapan Ibnu Mas'ud sebelumnya tak lain hanyalah merupakan pantulan dari Misykatun Nubuwwah yang elok nan menawan ini. Walhasil, dari poin pertama ini kakak hanya ingin berteman dengan adek dan bersahabat dengan adek atas dasar “cinta” yang hakiki, cinta ini bukanlah cinta seorang lelaki pada kekasihnya, bahkan lebih dari itu semua, karena cinta ini adalah cinta seorang sahabat terhadap sahabatnya, cinta seorang kakak terhadap adeknya. Jika tidak ada hubungan darah dan hubungan nasab antara kita, maka biarkanlah hubungan kita adalah hubungan seiman, seagama dan senasab berupa 'nasab' ilmiah yang insya Allah lebih kekal dan abadi.
Kedua, saat kakak kemarin melihat kamu menangis sambil memelukku dek, kakak jadi teringat kejadian 2 tahun lalu yang hampir sama. Kakak masih ingat sekali bagaimana teman-temanku memeluk kakak sambil menangis dan kakakpun juga melakukan apa yang mereka lakukan, sungguh suasana haru yang menyelimuti hati kakak pada malam itu pun kakak rasakan saat kau menangis sambil memeluk kakak malam itu. Saya masih ingat sekali bagaimana dek Baim, Gus Shabbah, dek Jazuli dan masih banyak yang lainnya, mereka satu persatu memeluk kakak dengan diiringi air mata yang berlinang, sungguh dua kejadian dalam hidup kakak yang hampir sama dan semoga semuanya membawa berkah. Kalau kakak tidak salah, ada satu nasehat yang kakak sampaikan pada teman-teman dan para sahabat kakak pada waktu itu yang menurut kakak sangat tepat dan cocok jika dinasehatkan pada adek sekarang, nasehat itu adalah sebuah ungkapan yang mungkin sangat ringan dan tidak berbobot, akan tetapi kakak yakin bahwa suatu saat nasehat ini akan menjadi satu penghibur dan pelipur lara bagimu. Ungkapan tersebut adalah “temukan keramaian dalam kesendirianmu dan carilah kesendirian dalam keramaianmu”. Jujur dek, kakak tidak tahu dari mana ungkapan ini muncul dalam benak kakak sendiri, tapi yang jelas ungkapan ini secara tiba-tiba terbersit dalam pikiran kakak saat kakak disuruh oleh Gus Wafi ngajar di MA Gondan, Sarang. Waktu itu kakak seringnya hanya tidur di masjid pinggir laut, dekat daerah Gondan, kecamatan Sarang. Seringnya disana kakak sendirian, kalau tidak membaca ya sekedar tidur-tiduran saja, sambil menikmati semilir angin laut yang sangat nyaman itu, sungguh suasana yang satu sisi sangat nyaman, akan tetapi disisi lain hati ini pilu karena sebuah cobaan yang sebenarnya itu semua adalah Imtihan untuk menguji ketegaran, kesabaran dan kekuatan seorang Dliya' yang lemah dan hina ini untuk mengaplikasikan semua ilmu yang telah dipelajari selama ini dalam kehidupan nyata, lebih-lebih jika sudah belajar Ihya'-nya Al-Ghazali atau Hikam-nya Ibnu 'Athaillah, apakah itu semua hanya sebatas bacaan, ma'na gandul saja dan dapat sanad yang tertulis dengan rapi pada secarik kertas yang selanjutnya hanya dijadikan sebagai media anggak-anggakan pada santri yang lain? Kadang dalam jiwa kakak pada waktu itu menyusup rasa rendah diri, sehingga terbersit sebuah perasaan bahwa diri ini sangatlah kerdil, sangatlah kecil dan tidak layak untuk disebut sebagai seorang “santri” yang notabenenya adalah penjaga kesucian dari ajaran agama Islam ini. Dalam kondisi kejiwaan yang demikian inilah ungkapan di atas muncul dengan sendirinya dalam benak kakak, tanpa diminta untuk hadir atau bahkan dicari-cari dalam referensi-referensi kitab yang pernah kakak ngajeni di pesantren dulu, sungguh semua itu belum pernah kakak temukan, ada tidaknya kakak sendiri waktu itu belum tahu dan bahkan sampai sekarangpun kakak sendiri belum menemukan secara pasti, ada atau tidak ungkapan tersebut dalam kitab-kitab ulama kita. Akan tetapi kakak yakin bahwa ungkapan itu bersumber dari hal yang benar, bukan dari sesuatu yang hanya fantasi belaka, bukan pula ini seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab bahwa dia membawa hal yang baru yang belum pernah diketahui oleh orang-orang yang hidup sebelumnya, karena kakak bukan mengatakan tidak ada, akan tetapi belum ketemu.
Perasaan yang selalu muncul dalam hati kakak waktu itu adalah jangan sekali-kali kita mengharap jadi orang besar kalau kita tidak berani untuk sendiri. Kita siap sendiri walaupun tidak ada yang cocok dengan kita, tidak ada yang senang dengan kita, tidak ada yang simpati dengan kita dan masih banyak hal-hal lain yang kesemuanya menuju pada satu titik yang sama, yaitu calon orang besar harus siap untuk sendirian dalam kehidupannya. Sendiri di sini bukan berarti tidak ada teman sama sekali, akan tetapi arti dari kesendirian ini adalah anda siap untuk dimusuhi orang banyak dalam rangka mempertahankan apa yang anda yakini, karena setiap kebenaran yang disuarakan sebagai bentuk kritik terhadap sebuah otoritas yang sudah mapan, pastinya akan banyak mendapat rintangan, karena tentunya banyak 'kerikil' tajam yang ada dijalan anda, sehingga disinilah sebuah keimanan, ketawakkalan dan puncak ketauhidan seseorang diuji. Karena buah dari sebuah Tauhid yang kuat adalah ia tidak takut terhadap apapun kecuali pada Allah dan hal-hal yang memang Allah juga menyuruh kita untuk meminta pertolongan darinya. Dalam posisi seperti inilah, kata ungkapan diatas kakak artikan, yakni kita selalu bisa berusaha menemukan rasa nyaman dan ramai dalam kesendirian kita, karena disitu ada Ma'iyyatullah yang terejawantahkan dalam pertolongan, rasa nyaman (uns) dan tidak merasa takut pada hal apapun. Kata 'ramai' disini bukan berarti Allah bersama dan bareng-bareng dengan kita sebagaimana anda ketahui sendiri, akan tetapi kata 'ramai' adalah merupakan bentuk metafora dari rasa nyaman dan damai yang menghiasi dinding lubuk hati seseorang yang paling dalam. Bukankah anda sudah tahu sendiri bahwa menurut kebiasaannya, seseorang akan merasa damai, nyaman dan senang jika dia berkumpul dengan yang lain, lalu kenapa kita tidak menjadikan rasa damai kita, rasa nyaman kita dan rasa senang kita saat kita bersama-Nya dalam dzikir, munajat dan saat-saat kita tadarus Al-Qur'an maupun ilmu agama yang kesemuanya mempunyai muara yang satu, yaitu taqarrub pada Allah? Sudahkah kakak bisa melaksanakan apa yang ditulis ini? Jawabannya sudah wadhih bahwa kakak belum bisa, akan tetapi janganlah kemudian adek membuang mutiara-mutiara yang telah kakak ambil dari sumber hati yang paling dalam ini, untuk kemudian kakak untai dengan kata-kata yang entah sesuai dengan kaidah penulisan atau tidak ini dalam tong sampah, jangan dek! Akan tetapi ambillah yang bisa kau ambil, karena kebijakan atau hikmah adalah harta orang mukmin yang hilang, dia bisa menemukannya di mana saja dan pada siapa saja, walaupun melalui orang yang jelek seperti saya ini. Sekilas ulasan inilah kira-kira maksud dari ungkapan “temukanlah keramaian dalam kesendirianmu”, ulasan kakak ini tidak menutup kemungkinan akan adanya elaborasi dan interpretasi ulang yang berbeda sesuai dengan kemampuan rasionalitas, tekstualitas dan intuisi masing-masing dari kita.
Adapun ungkapan “carilah kesendirian dalam keramaianmu” yang merupakan bagian kedua dari wangsit (kalau bisa di sebut wangsit..hehehe) yang terbersit dalam hati kakak waktu itu adalah ajakan kepada diri kakak pribadi agar tidak merasa nyaman, merasa aman, tidak merasa bahagia dan senang saat berkumpul dengan makhluk, lebih-lebih dengan orang-orang yang kita cintai, karena pada dasarnya semua itu merupakan makhluk yang ujung-ujungnya pun akan punah dan rusak juga. Lalu mengapa kita terlalu bergantung pada makhluk yang tidak bisa memberi dan menciptakan manfaat ataupun bahaya sama sekali pada yang lain? Sebenarnya ada ungkapan yang lebih ekstrim lagi dari ungkapan saya di atas, yaitu ungkapan baginda Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya yang berbunyi:
لا يدخل أحدكم الجنة بعمله, قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: ولا أنا إلا أن يتغمدني الله برحمته
tidaklah kalian bisa masuk surga dikarenakan amal perbuatan kalian. Para sahabat bertanya: “lalu bagaimana dengan engkau duhai Rasulullah?”, “saya pun juga tidak, andaikan Allah tidak melindungiku dengan rahmat-Nya”.
Coba kita merenung bersama, bukankah amal itu juga makhluk? Kalau urusan masuk surga saja baginda Nabi memberi sebuah batasan yang sangat ekstrim bahwa amal seseorang tidaklah sama sekali bisa menjadi penolong baginya masuk surga, lalu bagaimana dengan yang lain? Dari semisal misykatun nubuwwah seperti inilah muncul mutiara Hikam yang dengan indah nan elok itu. Semisal ungkapan dibawah ini:
من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل
dari semua inilah dek, kita hendaknya merasa bahwa rasa nyaman kita, rasa senang kita dan rasa bahagia kita hendaknya jangan didasarkan pada makhluk, karena suatu saat makhluk akan hilang, akan sirna dan tidak menutup kemungkinan bahwa makhluk yang selama ini kita jadikan sandaran, ternyata dalam waktu yang lain malah dialah pertama kali yang memusuhi, melawan dan manjadikan kita susah sendiri, makhluk apapun itu. Kakak kira ungkapan yang terbersit dalam jiwa kakak di atas tidaklah berlebihan, karena setelah kakak renungi, semua itu ternyata bereferensi dari ungkapan para ulama, shufiyah dan orang-orang bijak diatas.
Walhasil, satu hal yang ingin kakak pesankan dalam poin kedua ini. Janganlah engkau takut untuk sendirian, karena orang besar adalah orang yang siap untuk sendiri, karena pada dasarnya memang dia tidak akan bersandar kecuali hanya pada Allah semata, hanya pada Allah dia temukan kenyamanannya, hanya pada Allah dia temukan kebahagiaannya dan hanya pada Allah dia temukan kedamaiannya. Kiranya sampai disini dulu bingkisan ini saya tulis, mungkin agak telat kalau disebut sebagai bingkisan lebaran, karena lebaran telah lewat beberapa hari yang telah berlalu, akan tetapi saya yakin adek bisa mengambil sedikit manfaat dari tulisan sederhana ini. Tetap semangat dek ya dalam menggapai cita-citamu, jaga kesehatan, udahlah jangan puasa dawud lagi cukup senin kamis, masih ada hal lain yang lebih penting untuk kau kerahkan tenagamu untuknya, semisal hapalan Al-Qur'an yang selama ini kau idam-idamkan dulu. Lagi pula kakak sudah mulai menguap dan ngantuk, karena dalam keheningan malam kakak tulis surat ringkas dan sederhana ini, sebagai media dialog, diskusi dan silaturrahim fikri dengan panjenengan. Cukup sekian, nanti bisa kita lanjutkan lagi diskusinya lebih intens, doakan agar semua yang kakak cita-citakan dapat tercapai serta diridhai oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Salam untuk Gus Lukman serta Ustadz Innaka, jangan lupa mintakan doa untuk saya ya....hehehehe. Semoga kita di ridhai-Nya. Wassalam.




Sayung, 16 Syawal 1434 H
Dliyaul haq



NB: Maaf ya dek, bingkisannya telat. Semoga tetap bermanfaat dan terasa pas untuk lebaran.
Powered by Blogger.
Advertise 650 x 90
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger